x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Kembali Aldous Huxley

Novel Brave New World diangkat oleh Steven Spielberg ke layar televisi. Visi provokatif Huxley dalam novel ini kembali diperbincangkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di atas tempat tidurnya, dan tidak lagi mampu berbicara, 1963, Aldous Leonard Huxley menuliskan permintaan terakhir kepada istrinya, Laura Archera: “LSD, 100 µg, intramuscular.” Setahun sebelumnya, Island—yang ia tulis di tengah-tengah kesehatannya yang memburuk sebab ia menderita kanker—terbit. Island, novel utopian ini, adalah cermin negatif dari novel dystopian karyanya, Brave New World.

Karya mashur Aldous Huxley ini segera diangkat oleh sutradara Steven Spielberg menjadi serial televisi. Sejak lima tahun silam, karya-karya Aldous Huxley yang visioner memang kembali menarik perhatian—khususnya para pembaca baru. Di Eropa Timur, namanya menanjak. Salah satu alasan mengapa karya Huxley ‘kembali’ ialah karena membaca lagi karya-karyanya merupakan ikhtiar yang bernilai—bukan untuk apa yang ia lakukan di masa lalu, melainkan untuk kehidupan kita di masa depan.

Huxley menggabungkan banyak ketegangan dari panggung intelektual kontemporer, khususnya sains dan agama. Di sisi keilmuan, Aldous Huxley adalah cucu Thomas Henry Huxley, pembela Charles Darwin dan orang yang ‘menemukan’ kata ‘agnotisme’ (1869). Sebagai ilmuwan yang pemikirannya melampaui bidang biologi, Thomas Huxley meletakkan fondasi kultural bagi pandangan-dunia keilmuan Barat pada masa sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Julian Huxley, kakak Aldous, seorang biolog-evolusioner terkenal yang melihat aspek mental dan material dari realitas sebagai dua sisi dari koin kosmis yang sama. Aldous sampai pada posisi yang hampir identik, yang ditarik bukan dari sains melainkan dari mistisisme komparatif, dan digambarkan dalam karyanya yang masih popular, The Perennial Philosophy (1945). Inspirasi utama Aldous agaknya Advaita Vedanta, filosof India klasik yang memengaruhi pemikiran dan praktek Hindu pada abad ke-19 dan selanjutnya memengaruhi penerimaan kaum intelektual dan seniman Amerika abad 20 terhadap Hinduisme.

Aldous berkenalan dengan gagasan Vedanta saat bergabung dengan Vedanta Society, ketika ia tinggal di AS. Namun Aldous bersikap curiga kepada guru dan segala macam dewa, dan akhirnya ia meleburkan diri ke arus-dalam doktrin dan praktek yang dia temukan di antara ‘agama-agama Asia’, yang, ia nyatakan dalam Island (novel terakhirnya, terbit 1962, setahun menjelang kematiannya): “Kebijakan sadar yang baru… yang sekilas terlihat secara profetis dalam Zen dan Taoisme dan Tantra.”

Pandangan-dunia itu—yang dihubungkan oleh Aldous dengan pemujaan fertilitas purba, studi seksualitas di Barat modern, dan biologi Darwin—muncul dari penolakan atas semua dualisme tradisional; yakni, menolak sistem agama atau moral yang memisahkan yang duniawi dan yang ilahi, materi dan pikiran, seks dan spirit, kemurnian dan polusi. Kebijakan baru Huxley terfokus pada partikularitas pengalaman momen-ke-momen sebagai tempat “kebahagiaan yang bercahaya.”

Neuroscience merupakan bagian kunci dari visi itu. Di masa-masa akhir kehidupannya, Aldous masuk semakin dalam kepada Buddhisme Tantra dan neurophysiology. Secara konsisten ia berpendapat bahwa kesadaran disaring dan ditranlasikan oleh otak melalui proses neurofisiologis, linguistik, psikologis, dan kultural yang kompleks. Inilah yang disebut ‘tesis filter.’

Aldous Huxley sangat tertarik pada riset fisik (J.B. Rhine, pendiri laboratorium parapsikologi di Duke University, adalah kawan baiknya), dalam magnetisme hewan (kadang-kadang ia mempraktekkan di rumah), beragam praktek terapi alternatif, dan yang mungkin paling mashur, potensi spiritual dari tanaman dan obat-obatan yang memengaruhi pikiran. Korespondensinya dengan kawannya yang psikiater, Humprey Osmond, menghasilkan neologisme dalam bahasa Inggris ‘psychedelic’—ketenangan jiwa karena terpengaruh oleh obat bius. Ia memang menikmati LSD dan dianggap pionir dalam penggunaan obat bius ‘untuk mendapatkan pencerahan.’ Dan hasilnya adalah literatur awal mengenai potensi mind-manifesting dalam tanaman dan bahan kimia psikotropis, The Doors of Perception (1954).

Aldous sedemikian yakin pada potensi substansi psychedelic, sehingga di saat-saat terakhir kehidupannya, ia meminta agar disuntikkan 100 mikrogram LSD ke dalam pembuluh darahnya. Dalam biografi Aldous, This Timeless Moment (1975), Laura Archera menyebutkan, Aldous menuliskan pesan itu: “LSD, 100 µg, intramuscular.”

Visi Aldous itu belum tertuang pada 1932, ketika ia menerbitkan apa yang kemudian terkenal, Brave New World. Kisahnya seputar peradaban masa depan yang menghasilkan kebahagiaan melalui rezim bioteknologi tinggi di mana manusia direkayasa secara genetik dalam tabung uji, lalu disosialisasikan ke dalam sistem kasta yang kaku. Rezim ini menghapus keluarga inti, menegakkan seksualitas bebas yang dilepaskan dari prokreasi, dan pasokan “tablet soma” dari pemerintah—nama soma diambil dari makanan persembahan peramal Vedic pada zaman India kuno—yang mengantarkan kebahagiaan dalam kekosongan-pikiran. Keibuan merupakan hal terlarang di brave new world ini, dan individualitas sangat dianjurkan. Novel ini menggambarkan monokultur yang superfisial dengan stratifikasi sosial, penekanan sistematis atas individualisme, dan pasokan obat-obatan yang tak terbatas.

Brave New World adalah cermin-berlawanan dari dunia yang dikisahkan Aldous 30 tahun kemudian dalam Island. Novel ini merupakan jawaban utopian Huxley atas warisannya sendiri yang dystopian, dan berkisah seputar jurnalis Barat, Will Farnaby, yang kapalnya karam di pulau Pala. Didirikan oleh Buddhis Tantra India (Raja Tua) dan dokter Skotlandia yang menjadi sahabatnya, budaya Palanian adalah sintesis Timur dan Barat yang menjawab monokultur otoritarian dalam Brave New World. Setelah berjarak puluhan tahun, barangkali kita dapat menimbang bahwa Island dan Brave selayaknya dibaca bersama. Nicholas Murray, dalam An English Intellectual, 2003, mengatakan bahwa Aldous telah memikirkan bertahun-tahun tentang bagaimana menghasilkan ‘Utopia yang bagus’ untuk mengimbangi gambaran Brave New World.

Dalam biografi Aldous yang terbit 2002, Dana Sawyer menyebutkan, karya Aldous dapat dibaca sebagai upaya sepanjang-hayat untuk menjawab panggilan kakeknya pada agnostisme. “Saya masih seorang agnostik,” tulis Aldous, “yang bercita-cita menjadi gnostik—namun gnostik pada tingkat mistis, gnostik tanpa simbol, kosmologi, atau pantheon (kuil bagi semua dewa).”

Tempat-tempat persinggahan hidup Aldous nyaris selalu menjadi latar belakang cerita-ceritanya. Pengalamannya bekerja di pabrik kimia Brunner and Mond di Billingham, Teeside, 1920, menjadi sumber ilham bagi Brave New World. Aldous menjadi kawan dekat Remsen Bird, presiden Occidental College. Ia lama berada di sekolah ini, yang kemudian muncul sebagai Tarzana College dalam novel satirisnya After Many a Summer Dies the Swan (1939). Novel ini meraih James Tait Black Memorial Prize untuk fiksi.

Di kawasan pertanian itu, Aldous menjalani perawatan mata dengan Bates Method di bawah bimbingan Margaret Corbett. Aldous mengaku, penglihatannya membaik. Untuk pertama kali dalam waktu lebih dari 25 tahun, ia mampu membaca tanpa bantuan kacamata. Bahkan, ia mencoba mengendarai mobil. Keberhasilannya dalam melihat ia rayakan dengan menulis The Art of Seeing yang diterbitkan di AS (1942) dan Inggris (1943). Menurut Laura, dalam biografi Huxley, This Timeless Moment, “Memperoleh kembali penglihatannya merupakan salah satu pencapaian besar dalam kehidupan Aldous.”

Laura menggambarkan pekan terakhir—dari 15 hingga 22 November 1963—sebagai ‘periode aktivitas mental yang intens bagi Aldous.’ Hingga hari terakhirnya, ia ‘belum mengakui secara sadar fakta bahwa ia mungkin segera akan meninggal.’

Begitulah, setelah pencapaiannya, pada 22 November 1963 pukul 11:45 Laura menyuntikkan LSD ke dalam pembuluh darah Aldous. Sore harinya, penulis ini menemui ajal di usia 69 tahun. Liputan media atas kematiannya dibayang-bayangi oleh pembunuhan Presiden John Kennedy pada hari yang sama serta kematian penulis Inggris C.S. Lewis, pencipta Narnia. Kejadian yang berbarenngan ini mengilhami Peter Kreeft untuk menulis buku Between Heaven and Hell: A Dialog Somewhere Beyond Death with John F. Kennedy, C. S. Lewis, & Aldous Huxley (Kreeft 1982).

Abu Huxley ditaburkan di pemakaman keluarga di Compton Village Cemetary, Guildford, Surrey, Inggris. “Born into the rain,” kata Aldous kepada New York Herald Tribune pada 1952 (seperti dikutip sebagai pembuka biografi Aldous Huxley, An English Intellectual), “I have always felt a powerful craving for light.” ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler