x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Meja Dapur dan Momen Kepenulisan Murakami

Dua karya permulaan Haruki Murakami diterbitkan dalam bahasa Inggris, Agustus ini, dalam satu buku: WIND/PINBAL. Murakami mengisahkan momen kepenulisannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Memories warm you up from the inside. But they also tear you apart.” 
--Haruki MurakamiKafka on the Shore

 

Urutan historis yang lazim bagi anak muda Jepang ialah kuliah hingga lulus jadi sarjana, lalu bekerja, dan kemudian menikah. Jamak saja. Tapi Haruki Murakami memilih jalan yang sebaliknya: menikah, mulai bekerja untuk menghidupi diri dan isterinya, lalu berusaha keras untuk lulus dari perguruan tinggi.

Karena membenci gagasan bekerja untuk perusahaan, Murakami memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Ia membayangkan sebuah tempat di mana orang datang mendengarkan rekaman musik jazz, minum kopi, makan kudapan, dan ngobrol. Sambil menjalankan bisnis semacam ini, Murakami berharap bisa santai menikmati musik favorit dari pagi hingga malam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Mewujudkan angan-angan itu tidak mudah,” kata Murakami. Selama tiga tahun pertama pernikahan, Murakami dan isterinya melakukan beberapa pekerjaan sekaligus agar bisa menghidupi keluarga dan membayar kuliah. Syukur bisa menabung. Setelah uang terkumpul, mereka membuka kedai kopi kecil di Kokubunji, pinggiran Tokyo, pada 1974, tempat para mahasiswa hangout.

Agar kedai tidak sepi, Murakami mengusung piano dari rumah orangtuanya dan menawarkan live music di akhir pekan. Musisi lokal senang ada tempat bermain. Meski bisnis mulai bergulir, Murakami dan isteri harus membayar utang terus-menerus: ke bank dan orang-orang yang sudah berbaik hati meminjamkan uang.

“Hingga di suatu larut malam kami menemukan sejumlah uang tergeletak di jalan. Anehnya, jumlahnya persis dengan yang kami perlukan untuk membayar utang yang jatuh tempo besok hari. Kebanyakan orang Jepang akan melakukan hal yang semestinya dan menyerahkan uang itu kepada polisi. Tapi dihadapkan situasi mepet seperti itu, kami tak bisa hidup dengan sentimen semacam itu,” kata Murakami.

Murakami bekerja keras sejak pagi hingga malam. Ia dan isterinya lalu pindah ke dekat pusat kota Tokyo, di Sendagaya, menyewa ruang yang bisa menyimpan grand piano—yang menyebabkan utang mereka membengkak. “Kami tak punya waktu untik menikmati hari-hari bebas anak muda,” tutur Murakami. “Tapi saya selalu menyempatkan diri membaca buku, betapapun sibuk dan lelahnya. Tak ada yang bisa menjauhkanku dari kesenangan membaca.” Di akhir usia 20an, kehidupan mereka mulai memperlihatkan tanda-tanda stabil, meski masih punya utang dan pendapatan naik turun.

Hingga suatu ketika, April 1978, Murakami menonton pertandingan baseball di Stadion Jingu, tak jauh dari tempat ia tinggal dan bekerja. Di tengah sorak sorai penonton itulah, mendadak terpikir oleh Murakami: “Saya bisa menulis novel.”

Murakami mengaku hingga kini masih dapat mengingat kembali sensasi itu. Ia merasa seolah sesuatu tercurah dari langit dan ia berhasil menangkapnya dengan tangan. Ia tidak mengerti mengapa itu terjadi, sekarang sekalipun. Apapun alasannya, hal itu sudah terjadi. “Itu seperti wahyu,” tulis Murakami. “Atau mungkin pencerahan merupakan kata yang paling mendekati. Yang bisa saya katakan, kehidupan saya berubah secara drastis dan permanen ketika itu.”

Sejak itu, setiap malam sepulang bekerja, Murakami mulai menulis di meja dapur. “Sekitar enam bulan atau lebih saya menulis Hear the Wind Sing. Ini karya pendek, lebih menyerupai novela ketimbang novel,” ujar Murakami. Memerlukan waktu berbulan-bulan dan upaya keras agar naskah bisa selesai. Sebagian karena ia hanya punya waktu terbatas untuk mengerjakannya, tapi masalah yang lebih besar ialah, kata Murakami, “Saya tidak punya petunjuk bagaimana menulis novel.”

Ketika Murakami membaca draf naskahnya, ia merasa tidak terkesan. Tulisannya memang memenuhi syarat formal sebuah novel, tapi agak membosankan. Ia lalu merenung: “Salah besar jika saya beranggapan orang seperti saya—yang tidak pernah menulis apapun—bisa menulis sesuatu yang brilian,” tuturnya. Ia berusaha mengatasi masalah ini. “Berhentilah menulis sesuatu yang canggih,” kata saya kepada diri sendiri. “Lupakan gagasan preskriptif tentang ‘novel’ dan ‘sastera’ dan dengarkan perasaanmu maupun pikiranmu ketika ia mendatangimu, dengan bebas, dengan cara yang kamu sukai.” Tapi ternyata, kata Murakami lagi, melakukan hal itu juga tidak mudah.

Kira-kira setahun sejak momen di Stadion Jingu itu, saat Murakami sudah memasuki usia 30, ia ditelpon editor jurnal sastra Gunzo. Ia diberitahu, Hear the Wind Sing, karya pertamanya masuk dalam daftar pendek calon penerima penghargaan bagi penulis baru. “Sejujurnya, saya sudah tak ingat lagi bahwa saya pernah mengirim Hear the Wind Sing ke Gunzo. Begitu saya menyelesaikan manuskrip dan menitipkannya pada orang lain, hasrat saya untuk menulis pun mereda.” Karya pertama ini terbit pada 1979.

Tahun berikutnya, Murakami menyelesaikan Pinball, 1973. “Saya masih menjalankan jazz bar, jadi Pinball saya tulis larut malam di meja dapur,” kata Murakami. Tak lama setelah menyelesaikan Pinball, ia memutuskan untuk sepenuhnya jadi penulis dan menjual bisnis mereka. “Saya segera mengerjakan novel panjang pertama, A Wild Sheep’s Chase, yang saya anggap sebagai permulaan karier saya sebagai novelis.”

Betapapun begitu, dua karya pendek permulaan itu berperan penting dan berharga bagi kehidupan Murakami, dan sama sekali tak tergantikan. “Mereka menghangatkan hati saya dan mendorong diri saya,” kata Murakami.

Hingga kini, Murakami masih ingat dengan sangat jelas perasaannya ketika ilham turun dari langit 37 tahun yang silam di Stadion Jingu. “Saya selalu mengingat sensasi itu ketika saya berpikir apa maknanya menulis sebuah novel, bagaikan ingatan yang mengajari saya untuk memercayai bahwa ada sesuatu bersama diri saya, dan memimpikan kemungkinan yang ditawarkan. Betapa mengagumkan, sensasi itu masih di samping saya hingga hari ini.”

***

Haruki Murakami memulai karier kepenulisannya dengan dua novel pendek, yaitu Hear the Wind Sing dan Pinball. Dua novela itu Agustus 2015 ini terbit kemballi dalam satu buku dengan judul: WIND/PINBALL: Two Novels—ini merupakan publikasi pertama kedua karya awal Murakami dalam Bahasa Inggris, 36 tahun setelah terbit dalam Bahasa Jepang. Dalam pengantar karya inilah, The Birth of My Kitchen Table Fiction, Murakami mengisahkan kembali pengalamannya menemukan momen kepenulisannya. Dan cerita di atas adalah penuturan kembali saya dari petikan pengantar Murakami dalam WIND/PINBALL.

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB