x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ingin Bangga Punya Rupiah

Nilai rupiah kian terpuruk di hadapan dolar AS. Masyarakat menanti apakah Efek Jokowi bekerja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pelan tapi pasti, rupiah terus merangkak naik. Tentu saja, ini kabar yang mendebarkan, karena ini berarti rupiah semakin tidak berdaya menghadapi dolar AS. Bahkan, hari ini (Kamis sore, 20 Agustus 2015), media mengabarkan bahwa dolar AS ditutup pada angka Rp 13.885 setelah sempat tembus Rp 13.900. Sejak tahun 1998, belum pernah reputasi rupiah selunglai ini. Munginkah dolar AS akan menembus angka Rp 14.000, atau bahkan melompat lebih tinggi lagi?

Analisis tentang sebab-musababnya sudah banyak disampaikan. Ekonom mengatakan minimnya katalis positif membuat rupiah semakin tidak berkutik di hadapan dolar. Ekonomi mengalami pelambatan, angka pertumbuhan ekonomi tak setinggi yang diharapkan. Ada pula yang menyebutkan bahwa orang-orang menunggu apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh The Fed, bank sentral AS. Negara ini dianggap punya prospek ekonomi yang bagus, sehingga dolar diburu.

Hari ini, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan banyak dana asing mengarus ke luar, sementara dana luar yang masuk begitu minim. Pelemahan rupiah, kata Menko, juga disebabkan oleh efek psikologis dari devaluasi yuan, mata uang China.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Analisis rasanya sudah cukup. Saat ini masyarakat menanti dengan harap-harap cemas tindakan apa yang akan ditempuh pemerintah dan Bank Indonesia. Orang yang menyimpan dolar berusaha menahannya, bagaimana dengan yang tak punya dolar (seperti saya) yang mulai merasakan dampaknya? Pemegang dolar AS tak ingin asetnya tergerus sehingga tak mau melepasnya.

Kecemasan semakin bertambah ketika menjumpai harga-harga mulai bergerak naik. Di eceran, kemarin pedagang menjual 1 kilogram ayam Rp 40 ribu, lebih tinggi dibanding bulan puasa dan Lebaran. Harga telor ayam, tentu saja, ikut terkerek naik. Harga daging sapi, kata pedagang, masih bertengger di angka Rp 135 ribu per kilogram. Maknanya, bahkan di dalam negeri pun, untuk mendapatkan seekor ayam negeri dan sekilogram daging sapi kita harus mengeluarkan uang rupiah lebih banyak lagi. Apakah para peternak menikmati kenaikan harga itu sehingga kesejahteraan mereka bertambah baik? Jika tidak, lantas siapa yang menikmati kenaikan harga itu, sebab para pedagang justru dirugikan lantaran pembeli berkurang?

Apakah dalam perkara uang ada nasionalisme di dalamnya? Saya tidak tahu. Tapi sangat mungkin mereka yang berbicara lantang tentang nasionalisme, kedaulatan ekonomi, ketahanan pangan, harga diri bangsa, hingga nasib rakyat menyimpan pula dolar AS dalam jumlah banyak. Mereka niscaya sangat rasional dalam memahami cara berpikir ekonomi: mana yang lebih menguntungkan, itulah yang diambil.

Setelah Presiden Joko Widodo merombak kabinetnya, masyarakat menanti apa dampak positif dari perombakan itu. Pak Joko berharap pemerintah menjadi lebih solid sehingga program dapat berjalan—jadi, ketimbang Menko dan Wapres bersilat lidah di depan publik lebih baik bekerja memperbaiki kondisi ekonomi agar masyarakat bangga memegang rupiah.

Masyarakat menanti munculnya Efek Jokowi, yang dulu semasa kampanye pemilihan presiden sering disebut-sebut karena keterpilihan Jokowi dianggap bakal memengaruhi ekonomi secara positif. Masyarakat menunggu bahwa itu bukan cerita pengantar tidur belaka, sebab tantangan berat benar-benar di depan mata: rupiah yang terus tertekan dan harga pangan yang merangkak naik. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler