x

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menjaga 11 sasaran pembangunan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. TEMPO/Suryo Wibowo

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perda Istimewa DIY Diskriminatif

Pengesahan Perda Istimewa mengenai pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY dinilai diskriminatif. Pasalnya, hanya bisa diisi laki-laki.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) mengenai tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY menetapkan Gubernur dan Wakil Gubernur harus laki-laki. Landasan hukum yang digunakan, UU Keistimewaan, Bab IV yang mengatur Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, pada Bagian Kesatu mengenai Persyaratan, Pasal 18, ayat (1) point m yang berbunyi, "menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak."

Perdais itu serta merta mengundang banyak polemik, terkait dengan persoalan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik, salah satunya, hak untuk dipilih dalam menempati posisi jabatan publik. Perdais bisa dikategorisasikan bertentangan dengan berbagai Undang Undang di atasnya, termasuk UU Keistimewaan. Misalnya, dalam Bagian Kedua tentang Tujuan pada Pasal 5 ayat (5) point e yang menyaratkan adanya kesetaraan sebagai tujuan pemberlakuan UU Keistimewaan.

Masih setingkat UU, Perdais ini juga dinilai bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pada titik tertinggi Perdais juga bertentangan dengan UUD 1945, yang mengamanatkan kesemaan derajat setiap warga negara dalam berbagai bidang kehidupan, yang di antaranya dalam bidang politik. Maka tak mengherankan, meski Sultan HB X secara publik menyatakan Perdais tidak diskriminatif, tetapi GKR Hemas, dengan tegas pula menyatakan Perdais diskriminatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kekuasaan Keraton

Secara teoritis, berdasarkan pembacaan atas berbagai kebijakan setara UU dan UUD 45, Perdais ini sangat mudah digugurkan melalui mekanisme Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi (MK) karena Perdais benar-benar merugikan hak politik perempuan. Kelompok-kelompok peremuan sangat dengan mudahnya melakukan gugatan dan dengan peluang kemenangan hampir seratus persen.

Tapi tampaknya tak akan sesederhana itu. Persoalan Perdais itu terkait secara langsung dengan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang secara otomatis diisi oleh Sultan dan Pakualam, sebagaimana ditetapkan dalam UU Keistimewaan. Perdais yang menetapkan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus laki-laki sangat terkait erat dengan masalah suksesi kepemimpinan di Keraton Yogyakarta.

Dalam paugeran di Keraton masih berlaku secara turun temurun Sultan harus berjenis kelamin laki-laki. Sehingga ketika Perdais membuka ruang Gubernur dan Wakil Gubernur bisa dijabat perempuan, secara otomatis Perdais berposisi vis a vis terhadap paugeran Keraton, sehingga memungkinkan Sultan seorang perempuan.

Maka membaca Perdais bersifat diskriminatif dengan perspektif gender dan dalam semangat perjuangan penyetaraan perempuan dan laki-laki bukanlah persoalan yang teramat rumit. Seorang aktivis pemula saja dengan sangat fasih menunjukkan kelemahan Perdais ini. Tetapi bukan menjadi persoalan mudah, manakala dikaitkan dengan tradisi Keraton mengenai posisi Sultan yang harus laki-laki. Sebuah tradisi yang tak mungkin mudah untuk diubah, selain berbagai pihak di Keraton sangat mungkin memiliki kepentingan-kepentingan di balik fenomena Perdais secara tekstual.

Sikap Bijak

Dengan pembacaan Perdais seperti ini, sikap bijak memang patut ditunjukkan berbagai kalangan dalam mendiskusikan dan menyikapi Perdais. Publik harus memberi ruang yang cukup bagi pihak-pihak yang berkepentingan di Keraton untuk melakukan dialog-dialog yang jernih. Menemukan jalan keluar yang cerdas, sehingga tak mencederai tradisi Keraton, tetapi tak juga mencederai gerakan penghapusan tindak diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia, dan khususnya di DIY.

Tentu bukan persoalan yang mudah. Tetapi para pakar kebudayaan di negeri ini, setidaknya di Yogyakarta, tentu bisa menyumbangkan pemikiran-pemikiran kritis, mencarikan pijakan-pijakan kultural dalam melacak nilai-nilai budaya terkait dengan kepemimpinan perempuan di Keraton, sambil merumuskan ruang-ruang politis yang tak merugikan keluarga Keraton lainnya.

Para aktivis gerakan perempuan bisa melakukan konsolidasi cerdas, sehingga bisa turut membantu persoalan blunder terkait dengan benang kusut yang melilit antara persoalan suksesi Keraton dengan paugerannya, Perdais sebagai ranah politis yang dimandatkan dalam UU Keistimewaan, dan kemunduran gerakan penghapusan tindak diskriminasi terhadap perempuan sebagai ranah perjuangan keadilan gender.

 

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler