x

Iklan

Nadia Felicia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rajah Tubuh yang Bikin 'Nagih'

Tancapan jarum-jarum mesin tato membuat sebagian pemilik tato mengaku ketagihan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jakarta - Torehan tinta permanen pada lapisan dermis kulit tubuh Eko Priyatmono (40) ada empat buah dan Azalea Phinata (22) punya 13 buah. Tersebar di area tubuh masing-masing, tato dengan gambar berbeda-beda itu kini menjadi identitas mereka. Lebih dari itu, tato-tato itu menjadikan kulit tubuh masing-masing pekerja media itu kini bagai “diary” yang akan selalu dibawa.

Namun, bukan gambar permanen pada tubuh mereka yang menarik perhatian, melainkan perkataan keduanya tentang rasa sakit usai kulit tubuhnya dirajah.

“Rasa sakitnya itu nagih,” kata lelaki yang akrab disapa Mono itu seraya menunjukkan tato bertuliskan nama anaknya di lengan dalam kanannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Senada, perempuan muda yang akrab disapa Lea itu mengatakan, “Rasa sakitnya berbeda dari tusukan jarum saat disuntik atau ambil darah. Ini sakitnya enak dan nagih, tapi sulit jabarinnya.”

Pendapat serupa terdengar dalam sebuah adegan program tayangan di satu televisi swasta. Di antara desing mesin tato yang sedang merajah pergelangan tangannya, seorang perempuan berambut panjang dan berkacamata berkata, “Ini tato kesekian saya. Saya buat tato lagi karena rasa sakitnya nagih.”

Perkataan ketiga pemilik tato itu memantik penasaran dari kontras: rasa sakit yang bikin ketagihan. Sebab, umumnya orang menghindari rasa sakit, apalagi yang berulang.

Dokter sekaligus pemilik klinik kecantikan House of Herbal Skinovation, Juliana Yu, menjabarkan proses tato sebagai berikut, “Sebuah alat [serupa] pulpen [dengan mesin rotor], dicelupkan ke dalam tinta khusus, kemudian dicoret-coretkan pada bagian epidermis kulit tanpa melukai jaringan serabut di dalam lapisan dermis. Pengerjaannya menggunakan jarum kecil yang digerakkan oleh mesin, sehingga bergerak cepat. Tentu akan menimbulkan rasa sakit.”

Mengenai rasa ketagihan yang diklaim ketiga pemilik tato tadi, dr Juliana tidak mengatakan ada korelasi medis secara langsung. Menurutnya, rasa ketagihan yang dirasakan usai memiliki tato cenderung terkait pada kepuasan yang sedari awal ingin ditonjolkan

“Pada dasarnya, seseorang yang mendapatkan tato pada area tubuh tertentu ingin menyampaikan pesan. Misalnya, kesan seksi atau menunjukkan jadi bagian dari sebuah kelompok sosial tertentu. Semua ini murni psikologis. Terkait ketagihan, saya melihatnya dari sisi rasa sakit yang terbayarkan,” imbuh dr Juliana.

Dokter yang memiliki klinik di kawasan Thamrin Residence itu menjelaskan lagi, pembuatan tato adalah suatu tindakan yang berawal dari rencana, kemudian menciptakan perbedaan pada tubuh. Sehingga, wajar ketika terjadi kekagetan atau syok ringan. “Lama-kelamaan, usai masa penyembuhan dan si pemilik merasa puas, bisa muncul rasa ingin tambah tato lagi supaya lebih keren. Begitu terus terjadi. Kira-kira kronologinya seperti itu,” jelasnya.

Sepaham dr Juliana, dokter spesialis kulit sekaligus pemilik klinik kecantikan RKD'S Clinic, dr Ratna Komala Dewi, di waktu terpisah, mengatakan, “Rasa kangen [karena sakit ditato] itu relatif. Kalau yang sudah insaf biasanya kapok [ditato], makanya minta dihilangkan, apalagi saat mau menjalankan ibadah, seperti umrah atau haji.”

Ketika ditanya apakah ada pengaruh hormon tertentu yang kadang diproduksi otak saat tubuh merasa sakit, dr Komala berpendapat tidak ada. Menurutnya, adiksi untuk membuat tato lebih dari satu dan rasa sakit saat proses penatoan cenderung karena gaya hidup. “Ingin terlihat keren saat [atau usai] ditato. Lebih karena puas setelah melihat hasilnya, dan tidak ada kaitan medisnya (adiksinya),” imbuh dia.  

Tato pertama Mono berupa burung gagak, yang menurutnya, mengandung arti kadang hidup tak selalu tahu arah, selain itu juga hewan unggas perlambang kecerdasan. Tato pertama Lea berupa tulisan “t’es jolie (kamu cantik)” di dekat ibu jari tangan kanannya. Buat Lea, frasa itu sebagai pengingat bahwa ia cantik apa adanya. Keduanya sepakat, butuh waktu dan pemikiran mendalam sebelum memilih bentuk tato, bukan sekadar untuk kesenangan sementara.

Hal ini merefleksikan cara pandang hidup dari pengalaman yang dihadapi masing-masing. Semacam identitas, curahan hati, atau pemikiran yang akan selalu mereka bawa, tak hanya di dalam hati, namun dipilih untuk dipatri pada kulit.

Mengenai rasa sakit yang menimbulkan ketagihan, bisa jadi sifatnya subjektif para pemilik tato tersebut. Namun, satu yang pasti, rasa sakit ketika jarum-jarum kecil mesin tato menancap dan menggoreskan tinta permanen pada kulit tak membuat keduanya gentar, sebab mereka masih berencana menambah rajahan. Mono akan menambah satu buah, sementara Lea sudah punya daftar 13 buah gambar lagi yang siap ditorehkan pada halaman “diary”-nya.

Ikuti tulisan menarik Nadia Felicia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler