x

Dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Gedong Tinggi, rumah pedesaan Andries Hartsinck tuan tanah di Batavia abad ke-18, kini terlihat kecil dari lantai 5 Gedung Tempo.

Iklan

Retty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gedong Tinggi di Palmerah Barat

Gedong Tinggi, sesuai namanya adalah gedung yang tinggi di abad ke-18, menjadi tak terlihat dan seakan bersembunyi dalam keriuhan jalan Palmerah Barat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suara klakson mobil dan motor bersahut-sahutan, ditimpali oleh lengkingan peluit tukang parkir serta raungan knalpot sepeda motor yang mencoba melintasi kemacetan jalan Palmerah Barat. Segala macam usaha ada di kiri kanan jalan yang tak pernah sepi ini. Di kejauhan tampak sebuah gedung tinggi yang mencolok dengan warna merahnya. Itulah gedung baru Tempo, yang menjadi tempat dihasilkannya majalah dan koran Tempo. Siapa sangka di seberangnya ada gedung bersejarah yang lebih dahulu dipanggil Gedong Tinggi?

Seorang peserta Pelatihan Menulis Feature menyebut gedung baru Tempo sebagai Gedung Jangkung.  Walaupun tidak jangkung benar, tetapi dari tingkat lima kantor Tempo barulah bisa terlihat posisi Gedong Tinggi.

Gedong Tinggi dahulu adalah vila Andries Hartsinck, seorang petinggi VOC di Batavia, yang menjadi tuan tanah perkebunan di Palmerah. Menurut Mahandis Yoanata Thamrin dalam tulisannya di National Geographic Indonesia, bangunan bergaya Nederlandsch-Indische ini diperkirakan dibangun sekitar tahun 1790-an. Sayangnya batu penanda pembangunan sudah tidak terlihat lagi di lokasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Beberapa waktu yang lalu, ada orang Belanda yang datang ke mari. Mereka membawa buku berisi gambar gedung ini. Sepertinya mereka keturunan tuan tanah dulu,” ungkap Rashid, pegawai Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) yang berkantor di depan Gedong Tinggi.

Saat pertama kali mengikuti pelatihan di gedung baru Tempo, penulis merasa takjub melihat pemandangan kota Jakarta yang terlihat dari jendela-jendela kaca yang mengelilingi gedung. Mungkin seperti itu pula ketakjuban pengunjung Gedong Tinggi zaman dahulu ketika berdiri di balkon lantai dua vila perkebunan itu.  Menurut Herman, pegawai SPKT lainnya, julukan Gedong Tinggi muncul karena bangunan karya arsitek W.J. van de Velde ini adalah bangunan tertinggi saat itu. “Dari balkon bisa melihat cukup jauh karena dulu hanya ada perkebunan. Sekarang banyak bangunan…,” ungkap Herman.

Gedung ini dilindungi oleh Undang-undang Monumen STRL 1931 no. 238. Ia berada dalam pengawasan Pemerintah DKI Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah. Sayangnya kondisi gedung kurang terawat. Beberapa tembok tampak rusak. “Itu dipatok burung gereja,” kata Herman. Lantai atas terkadang saja digunakan bila diperlukan ruang besar untuk pertemuan dalam pelatihan hansip dan sabhara.

Untuk ke lantai atas memang tidak mudah, harus melalui tangga yang berada di sisi kanan gedung. Tangga tersebut agak kecil sehingga kurang nyaman untuk penggunaan massal.

Nama Palmerah sendiri berhubungan dengan pemilik Gedong Tinggi, karena Hartsinck yang memberi warna merah pada patok-patok tanahnya (waktu itu disebut Pal), sehingga muncul nama Pal Merah.

Saksi sejarah Palmerah berdiri tegak membisu. Apakah ia menantikan usianya berakhir karena terkikis kelapukan? Atau tergusur seperti rumah Andries Hartsinck lainnya? Mungkin juga sebenarnya ia menjerit minta perhatian tetapi suaranya kalah oleh deru kendaraan yang melaju di Palmerah Barat.

Ikuti tulisan menarik Retty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler