x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Segarkan Model Bisnis Sebelum Terlambat

Cepat atau lambat, seluruh bisnis, yang paling berhasil sekalipun, akan memudar. Kecuali mereka yang segera menyesuaikan diri terhadap perubahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selalu ada kisah di balik setiap keberhasilan dan kegagalan bisnis. Kadang-kadang kisah tentang gagasan yang hebat, sering pula perihal ide yang buruk. Terkadang ini kisah mengenai manajemen yang berwawasan jauh, lain kali ihwal manajemen yang berpikiran pendek. Betapapun hebat atau buruknya, hampir selalu keberhasilan atau kegagalan itu mengisahkan tentang perubahan. Perubahan di pasar, perubahan produk atau jasa, perubahan strategi, yang mengubah kegagalan menjadi keberhasilan, atau sebaliknya.

Kapasitas perusahaan untuk beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan tidak terduga sudah sering dibicarakan. Namun, mengelola adaptabilitas bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, padahal perubahan terus berlangsung, bahkan semakin cepat. Dalam realitas, semakin bertambah banyak perusahaan yang keluar dari bisnis lebih cepat dibandingkan masa-masa sebelumnya.

Pada 1957, Standard & Poor’s mengembangkan daftar perusahaan terkemuka dari 90 menjadi 500. Dari perusahaan yang masuk dalam daftar S&P 500 tahun itu, hanya 74 perusahaan saja yang masih ada pada 1997. Artinya, tingkat kematian rata-rata perusahaan ini mencapai lebih dari 10 perusahaan per tahun. Tingkat mortalitas ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagaimana terlihat, dari daftar S&P 500 tahun 1957 tersebut, kurang dari 25 perusahaan saja yang mampu bertahan hingga 50 tahun kemudian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cepat atau lambat, seluruh bisnis, yang paling berhasil sekalipun, akan memudar. Kecuali, ya kecuali, mereka yang peka terhadap perubahan dan bergerak cepat untuk menyesuaikan diri. Tak semua pelaku bisnis siap menghadapi kemungkinan yang tidak menyenangkan: tersingkir dari persaingan atau bahkan ambruk.

Dihadapkan kepada kenyataan yang tidak menyenangkan ini, pelaku bisnis dipaksa untuk menyegarkan kembali diri usaha mereka secara periodik. Kemampuan untuk berpindah dari tahapan matang suatu bisnis ke tahap pertumbuhan berikutnya adalah yang membedakan high performer dari mereka yang ada di puncak tapi hanya untuk sementara waktu dan kemudian kinerjanya merosot.

Banyak organisasi yang gagal menyegarkan diri menemui konsekuensi untuk ambruk. Sebagaimana ditunjukkan oleh Mattew S Olson dan Derek van Bever dalam bukunya, Stall Points, begitu suatu perusahaan mengalami kemandegan dalam pertumbuhannya, maka perusahaan itu memiliki peluang kurang dari 10% untuk memulihkan diri sepenuhnya. Inilah yang menjelaskan mengapa dua pertiga perusahaan harus berhenti karena diakuisisi atau bangkrut. Di Indonesia, kasus serupa banyak terjadi. Meskipun tidak sampai bangkrut, PT Pos Indonesia termasuk yang relatif terlambat menyesuaikan diri terhadap perubahan ketika era surat elektronik masuk dan disusul kemudian oleh berbagai jenis media sosial. Bisnis kurirnya menghadapi tantangan dari banyak pemain yang mengandalkan kecepatan pengiriman.

Tidak kurang banyak penjelasan mengenai kemandegan perusahaan ini, dari persoalan eksekusi yang buruk, salah membaca keinginan konsumen, fokus bisnis yang keliru, hingga skala bisnis yang tidak memadai. Setelah melakukan riset tentang watak high performer dalam bisnis, Olson dan van Bever menyadari bahwa penjelasan tadi kehilangan sesuatu yang krusial, yaitu mereka terlambat mengubah model bisnis mereka.

Di tingkat global, perbincangan mengenai model bisnis kembali menghangat. Dalam wawancaranya dengan Sarah Cliffe, Redaktur Pelaksana Harvard Business Review, guru besar Columbia Business School Rita Gunther McGrath menyebutkan tiga alasan pokok yang melatari menghangatnya perbincangan itu. Pertama, meningkatnya kecepatan setiap hal. Siklus hidup produk dan siklus desain menjadi lebih singkat. Ketika laju perubahan kian cepat, orang-orang menyadari bahwa mereka perlu segera melihat hal besar berikutnya.

Kedua, kompetisi di dalam industri. Kompetisi datang dari tempat-tempat yang tidak terduga. Tidak seorangpun mengantisipasi bahwa iPad akan menyingkirkan banyak jenis display devices—seperti bingkai foto elektronik—dari bisnis. Atau Yahoo! yang kelabakan ketika tiba-tiba muncul Facebook dan Twitter yang menawarkan pengalaman berbeda dalam berkomunikasi.

Dan ketiga, munculnya model bisnis yang menawarkan pengalaman pelanggan yang lebih baik ketimbang sekedar produk yang bagus. Pengalaman konsumen menjadi unsur yang sangat menentukan keberhasilan suatu produk atau jasa. Orang tidak lagi mau menggunakan sebuah produk hanya karena produk itu bisa berfungsi dengan baik. Konsumen ingin merasakan pengalaman yang mengasyikkan saat menggunakan produk tersebut. (Foto: indeks saham perusahaan, tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB