x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memahami Perilaku Konsumen Lewat Etnografi

Etnografi dapat membantu pebisnis memahami lebih dalam perilaku konsumen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagaimana bentuk charger telepon seluler yang cocok untuk konsumen China? Pertanyaan ini suatu ketika pernah mengusik perusahaan produsen telepon seluler, sebab konsumen di Negeri Tirai Bambu ini diketahui ingin menyederhanakan proses interaksi mereka dengan produk. Nggak mau ribet.

Dari studi etnografi akhirnya ditemukanlah charger dengan desain mangkuk untuk menggantikan kabel konektor sehingga hanya dengan “menjatuhkan” MP3 Player ke dalam mangkuk, proses pengisian baterai bisa dimulai. Gagasan charger berbentuk mangkuk ini berasal dari mangkuk China yang lazim digunakan untuk makan sehari-hari.

Riset etnografi pada mulanya biasa dilakukan oleh para antropolog untuk mempelajari budaya sebuah suku. Antropolog tinggal selama beberapa waktu dalam komunitas suku tersebut untuk mengamati perilaku mereka. Dari hidup bersama suku ini, antropolog memperoleh gambaran tentang bagaimana kebiasaan berburu, berkeluarga, tata cara perkawinan, cara-cara berkomunikasi, ragam bahasa, atau upacara penguburan seorang warga suku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Etnografi muncul dari studi-studi antropologi budaya pada awal abad 20 melalui studi perbandingan budaya yang dilakukan Boas, Malinowski, Radcliffe-Brown, dan Mead. Etnografi lantas tumbuh sebagai alat untuk “menukik secara mendalam” (go deep) dan memahami mengapa konsumen melakukan suatu tindakan dengan mengamati mereka dalam lingkungan alamiah.

Melalui beberapa tahapan, pendekatan studi mereka diadopsi oleh perusahaan-perusahaan di zaman modern yang memiliki penciuman tajam terhadap kekuatan metode etnografi. Perusahaan seperti P&G, Nike, Phillips, dan Apple sudah lama mengerjakan riset etnografi, karena studi etnografi membantu mereka memahami perilaku orang, misalnya bagaimana kebiasaan mereka memakai telepon seluler atau bersepatu.

Langkah perusahaan-perusahaan itu mungkin dapat dengan mudah dimengerti sebab produk mereka berhubungan langsung dengan konsumen. Tapi, bagaimana dengan Intel?

Sebagai produsen prosesor, Intel tidak berhubungan langsung dengan konsumen. Namun Intel mengerahkan antropolognya untuk memahami bagaimana masyarakat hidup di era teknologi. Pemahaman inilah yang jadi landasan Intel untuk mengembangkan strateginya dalam mengembangkan teknologi. Misalnya, ketika mereka memikirkan apakah cara orang menggunakan komputer di rumah berbeda dengan di tempat kerja. Inilah yang mendorong Intel untuk menciptakan prosesor yang hanya cepat, tapi juga memudahkan penggunanya dalam mengoperasikan komputer.

Dibandingkan dengan Focus Group Discussion (FGD) yang lazim dipakai, teknik etnografi memiliki kekayaan dalam hal dimensi, warna, dan sentuhan manusiawinya. Sebagaimana metode kuantitatif lainnya, seperti survei dengan perntayaan terstruktur yang sudah disiapkan jawabannya, FGD diselenggarakan dalam setting buatan, di dalam suatu ruangan, dengan topik-topik pembicaraan yang sudah ditentukan.

Dalam setting yang alamiah, etnografi memungkinkan peneliti menggali banyak hal yang berada di luar perkiraan. Saat mengamati responden di rumah mereka, seorang etnografer dapat melihat bagaimana kebiasaan konsumen menggunakan komputer: berapa lama, untuk keperluan apa, dipakai oleh ayah, ibu, dan anak atau masing-masing punya sendiri, dan seterusnya. Di tempat tinggalnya, konsumen dengan bebas menceritakan pengalamannya, kesulitannya dalam mengoperasikan komputer, dan apa keinginannya. Hal-hal yang selama ini tersembunyi dapat digali.

Teknik kuantitatif lainnya, seperti survei dengan kuesioner, tidak akan cukup memberikan wawasanmengenai persepsi konsumen terhadap suatu produk atau jasa. Dalam kuesioner, konsumen tidak cukup memiliki ruang untuk mencurahkan pengalamannya, pandangannya, maupun perasaannya. Lagi pula, bisa saja konsumen mengisi kuesioner secara asal-asalan, asalkan memperoleh suvenir.

Etnografi memungkinkan penggalian lebih jauh perspektif pelanggan, sebab peneliti dapat berinteraksi langsung dengan responden, mengamati kegiatannya, berdialog secara terbuka. Kekayaan cara inilah yang memungkinkan etnografer menggali, mendalami, dan memahami bagaimana sikap, persepsi, dan nilai-nilai konsumen, serta pola budaya yang membentuk perilaku konsumen.

Dalam Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among Five Traditions, John Creswell menyebutkan etnografi adalah deskripsi dan interpretasi atas suatu kelompok budaya atau kelompok sosial. Peneliti mempelajari pola-pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup mereka. Tak heran bila sebuah riset etnografi membutuhkan waktu panjang, sebab peneliti mesti terjun dalam kehidupan sehari-hari kelompok yang diteliti. Ia juga harus mewawancara banyak sekali orang untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai kelompok tersebut. Ia juga harus mengkaji perilaku, bahasa, dan interaksi di antara warga kelompok itu.

Walaupun cara-cara mengumpulkan data terus berkembang dalam wilayah kualitatif, namun terdapat empat tipe dasar informasi yang dihimpun: observasi (mulai dari non-partisipan sampai partisipan), wawancara (mulai dari semi-terstruktur sampai open-ended), dokumen (pribadi maupun publik), dan material audio-visual (termasuk foto, videotape, compact disk).

Pendekatan semacam itu memberi kesempatan kepada periset untuk mendalami latar belakang konsumen dalam interaksi sehari-harinya dengan produk. Periset memperoleh potret apa adanya sebab riset dilakukan di habitat asli konsumen, bukan habitat buatan seperti forum FGD, di mana konsumen juga hanya bisa menyampaikan perspektifnya secara terbatas.

Rekaman video di sebuah toko serba ada, misalnya, dapat digunakan sebagai materi untuk mempelajari perilaku konsumen saat berada di dalam toko. Dari rekaman akan terlihat apa yang mula-mula mereka kerjakan, bagaimana mereka memilih produk yang akhirnya dibeli, bagaimana mereka membanding-bandingkan harga, mereka membayar dengan uang tunai atau kartu kredit, apakah konsumen berbelanja sendiri atau bersama keluarga.

Dari rekaman itu bisa diketahui perilaku unik, misalnya jika batal membeli suatu produk, konsumen akan menaruh produk yang sudah ada di keranjangnya itu di mana saja, bukan di rak tempat ia mengambil produk itu. Atau, konsumen lebih cenderung mendatangi produk yang berlabel diskon terlebih dulu dibandingkan produk lainnya.

Etnografi memungkinkan interaksi timbal balik antara produsen dan konsumen. Di satu sisi, produsen mengenal lebih dekat konsumennya, di sisi lain konsumen dapat memberi masukan apa yang mereka inginkan kepada produsen. Konsumen tidak diperlakukan semata sebagai pengguna yang pasif. (sumber foto: eetimes.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu