x

Iklan

irwan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lika-liku Lahan Taman BMW, Antara Kenyataan dan Harapan

Skandal Lahan Taman BMW Semakin Gaduh Saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hingga September 2015 ini, persoalan lahan Taman BMW terus menjadi polemik dan menjadi perhatian publik. Persoalan lahan itu terus melebar dari masalah hukum baik perdata maupun pidana; masalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN); masalah pelanggaran HAM; masalah ruang terbuka hijau; masalah keolahragaan; masalah kompetisi para pengembang; hingga juga menyentuh ke ranah yang bersifat politik bahkan fitnah. Masalah lahan Taman BMW telah lama menjadi tontonan dan keprihatinan warga Jakarta. Ibarat sebuah pertarungan, ini seperti cerita pertarungan antara David dan Goliath.

Semua permasalahan yang terkandung di lahan Taman BMW itu sudah banyak dan sudah lama di publikasikan media baik elektronik, media cetak, sosmed dan media online. Dan mungkin awak media pun sudah mulai “bosan atau jenuh” memberitakannya. Oleh karenanya dapat disimpulkan sudah hampir seluruh warga Jakarta dan atau sebagain warga Indonesia tahu mengenai persoalan lahan ini. Dan oleh karena itu pula masalah ini sudah seharusnya memperoleh penyelesaian yang tuntas atau solusi dari pihak-pihak terkait utamanya penegak hukum, Pemprov DKI Jakarta dan Podomoro Grup.

Sebagaimana diketahui persoalan menyangkut dugaan KKN lahan Taman BMW sudah hampir 5 (lima) tahun yang lalu dilaporkan ke KPK, namun KPK hingga saat ini tidak memberi tindakan apapun terhadap Laporan yang pernah mereka terima. Di lain pihak terdapat gugatan PTUN atas 2 (dua) Sertifikat Hak Pakai (11,7 Hektar dari 26,5 Hektar) An. Pemprov DKI Jakarta tengah masuk ranah hukum Kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan belum memproleh kekuatan hukum yang tetap (Inkracht). Di masyarakat muncul Mahkamah Intelektual (29 Agustus 2015) yang dipelopori oleh Mantan Wagub DKI Jakarta Prijanto. Mahkamah Intelektual ini muncul akibat banyak pihak yang telah terkooptasi oleh yang namanya duit dan kekurangpercayaan terhadap sistem peradilan yang ada.

Dibawah ini kami mencoba kembali mengulas masalah Taman BMW ini sebagai bahan pengingat ulang dan mungkin menambah sedikit hal-hal yang mungkin belum diketahui publik seputar masalah lahan ini. Moga-moga tulisan ini menjadi pendorong warga semakin banyak berpartisipasi dalam usaha penyelesaiannya. Dan bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dengan masalah lahan ini, dengan tulisan ini juga semoga menjadi lebih terbuka menuju penyelesaian masalah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masalah lahan Taman BMW ini sesungguhnya sudah mencuat sejak tahun 1992. Ada beberapa perkara hukum yang ada di tanah itu, yakni gugatan pembatalan nilai pembebasan yang dilakukan oleh PT. Buana Permata Hijau (Perusahaan Developer) dengan Pemprov DKI Jakarta tahun 1993. Gugatan itu hingga ke Pengadilan Tinggi dengan amar putusan NO (perkara tidak diterima), pokok perkaranya pembatalan SK Nilai Pembebasan Lahan di DKI Jakarta. Putusan Pengadilan Tinggi ini akhirnya tak berlanjut dan dan diam begitu saja. Kemudian ada gugatan klaim lahan Taman BMW atas dasar Eigendom oleh Donald Guillame Cs. (Ahli waris dari yang bernama Sa’amah, Pemilik Eigendom Nomer 309 bertahun 1930-an seluas 30 Hektar/300.000M2). Perkara Eigendom inipun berujung pada Laporan pidana akibat pemalsuan berbagai surat oleh Donald Guillame Cs dan berujung pada putusan pemidanaan (penjara) kepada Donald Guillame cs. Eigendom ini secara hukum administrasi pertanahan dan aktual memang tidak bisa menguatkan dalilnya sesuai ketentuan Hukum Agraria yang berlaku dulu dan saat ini di pengadilan bahwa tanah Taman BMW itu berasal dari Eigendom 309 tersebut.

Di sisi lain ada klaim lahan Taman BMW dari penggarap bernama Edy Gunawan Cs. (Ahli Waris Penggarap bernama Moh. Zakaria/Pensiunan TNI AD) dengan mengklaim pemilikan lahan di Taman BMW itu seluas 7 hektar. Klaim garapan ini tidak pernah masuk dalam ranah peradilan, jadi hanya bersifat pengakuan saja dan lebih banyak bersifat penguasaan lapangan dalam rangka pemanfaatan lahan untuk kepentingan pribadi/lapak-lapak daur ulang sampah/penyewaan2 lahan buat usaha gubuk2. Klaim terakhir muncul dari yang mengaku pemilik lahan bernama Lim Kit Nio dan sekitar September 2014 mendaftarkan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dasar klaim kepemilikan lahan Taman BMW adalah Eigendom. Anehnya perkara ini berhenti karena pada saat akan di gelar sidang peradilan para Penggugat beberapa kali dipanggil Pengadilan Negeri untuk bersidang tidak pernah bisa hadir. Sungguh aneh Penggugatnya tak mau hadiri sidang, jadi buat apa digugat?. Akibatnya gugatan ini berhenti begitu saja.

Pada tahun 2008 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melakukan gugatan perbuatan melawan hukum dan ganti rugi sekitar Rp. 8 Milyar atas kerugian bangunan yang dirusak Tim Satpol PP atas rumah-rumah milik para pemberi kuasa. Gugatan ganti rugi ini melawan Pemprov DKI Jakarta mewakili sekitar 250 korban gusuran paksa. Gugatan ini dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pada tingkat pertama hingga tingkat banding gugatan ini dimenangkan Pemprov DKI Jakarta. Dan menurut infonya LBH Jakarta mengajukan Kasasi namun belum diperoleh infonya bagaimana putusan MA terhadap gugatan warga korban gusuran paksa tersebut. Objek gugatan LBH Jakarta ini adalah ganti rugi atas kehilangan rumah dan kerugian lain akibat bongkar paksa dari warga yang bermukim di lokasi lahan Taman BMW di sisi kolong tol. Jadi pada saat pembongkaran paksa itu terdapat 2 (dua) kelompok warga, yakni kelompok Taman BMW yang membangun gubuk di areal 26.5 Hektar (sekitar 700-an gubuk/rumah) dan kelompok Pinggir Danau, yakni warga yang mendiami (pemilik bangunan) areal sekitar 20 hektar (sekitar 800-an rumah) yang berposisi sebelah timur danau. Kelompok ini mengklaim mereka bukan termasuk warga penghuni Lahan Taman BMW yang menjadi target penggusuran pada saat itu (umumnya berada di sekitara kolong jembatan layang tol).

Warga korban gusuran paksa dilahan 26.5 Hektar (Kelompok Taman BMW) tidak pernah melakukan gugatan hukum secara formal, cuma pernah mengadu ke Komnas HAM dan diadvokasi PBHI dan lain-lain LSM. Dan kebanyakan saat ini menjadi penghuni dan membuat gubuk-gubuk di luar pagar  Lahan Taman BMW sebelah utara (di sepanjang bawah sutet PLN) sejak 2008 hingga saat ini.

Proses hukum yang juga pernah berjalan mengenai lahan Taman BMW ini adalah di Kejaksaan Agung pada tahun 2009. Kejaksaan Agung pernah melakukan penyidikan dengan memanggil berbagai pihak termasuk memanggil dan mem-BAP direksi PT. Agung Podomoro. Penyidikan terhadap kasus ini berhenti begitu saja dan menurut salah seorang Penyidik bernama TS Limbong (sudah pensiun), berhentinya penyidikan ini adalah akibat adanya tekanan atasannya pada saat itu. Pada september 2015 ini, mantan Jaksa ini kembali mengungkapkan ke publik bahwa lahan Taman BMW itu bermasalah oleh karena Kewajiban Podomoro untuk mensertifikatkan tidak dilaksanakan (ingkar janji). Faktanya yang mensertifikatkan lahan ini adalah Pemprov DKI Jakarta bekerjasana dengan Badan Pertanahan (BPN) Kodya Jakarta Utara bukan Podomoro, dan itupun yang baru disertifikatkan baru seluas 11,7 Hektar dalam 2 (dua) Sertikat Hak Pakai An. Pemprov DKI Jakarta yang saat ini tengah pula diperiksa perkaranya di Mahkamah Agung (MA). Selebihnya lahan Taman BMW ini belum bersertifikat sebagaimana diwajibkan dalam BAST (Berita Acara Serah Terima) kewajiban pembayaran Fasus Fasum 7 Pengembang yang dikoordinir PT. Agung Podomoro pada Juli 2007.

Pemprov DKI Jakarta dalam penerbitan 2 (dua) Sertifikat Hak Pakai Juli 2014 mendasarkan penerbitan hak tanah berasal dari tanah negara. Demikian dituliskan di atas sertifikat tersebut. Dan pemberian Hak Pakai didasarkan atas melanjutkan pemberian Hak Pakai yang pernah diberikan pada tahun 2003, Hak Pakai mana habis masa berlakunya selama 3 (tiga) tahun, artinya berakhir tahun 2006. Maka setelah tahun 2006 muncullah BAST pada Juli 2007 seluas 26,5 Ha sebagai pembayar hutang 7 (tujuh) Pengembang sebanyak Rp. 737 Milyar yang ditandatangani Gubernur DKI jakarta saat itu Sutuyoso dan Dirut Podomoro Triatma Haliman. Memang menjadi kabur bahwa jika penerbitan Sertifikat Hak Pakai An. Pemprov DKI Jakarta pada Juli 2014 itu berdasar atas melanjutkan pemberian Sertifikat Hak Pakai tahun 2003, maka tentu bukan berdasar BAST itu. Sebab di BAST itu jelas-jelas disebutkan PT. Podomoro harus menyerahkan ini kepada Pemprov DKI dalam bentuk telah bersertifikat dan Podomoro menjamin tanah yang serahkannya itu tidak dalam keadaan bersengketa. Namun Podomoro Cs. gagal mensertifikatkannya akibat data-data pendukung pembebasan lahan yang dilakukan Podomoro atas lahan Taman BMW itu kebanyakan bodong dan sengketa di lahan itu bermunculan kemudian. Demikian fakta yang berkali-kali telah di publikasikan oleh Mantan Wagub DKI Jakarta Prijanto. Bodongnya bukti-bukti pembebasan lahan yang dilakukan Podomoro itu berdasarkan penelitian/fakta lapangan dan kesaksian-kesaksian yang ada. Berbagai kejanggalannya pun telah diungkapkan ke publik termasuk kejanggalan luas dan letak tanah yang di serahkan berdasarkan BAST itu. Demikianpun media sudah memberitakannya secara luas dan berkali-kali.

Selanjutnya masalah lahan Taman BMW ini oleh Mantan Wagub dilaporkan ke KPK sejak tahun 2013 yang lalu. Bukti-bukti pun tentu sudah diserahkan kepada KPK. Cuma hingga saat ini KPK sesuai pernyataan terakhir masih menyatakan menelaah perkara ini dan belum meningkatkannya pada tahap penyidikan. Terakhir bahkan KPK pernah menyatakan bahwa sudah cukup bukti masalah Taman BMW ini untuk dilanjutkan ke tingkat penyidikan akibat di dalam terkandung KKN dan memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang dari pejabat Pemprov DKI Jakarta. KPK ini pun sudah berkali-kali didesak agar segera melakukan pemanggilan kepada pihak-pihak yang di duga terlibat dalam masalah lahan itu. Itupun hingga saat ini tak ada tindaklanjutnya.  Warga Jakarta masih menunggu aksi KPK menindaklanjuti Laporan dugaan KKN tersebut.

Mengupas sedikit tentang BAST Juli 2007. Bahwa disebut di BAST tersebut 7 (tujuh) Pengembang yang dimotori oleh PT. Agung Podomoro mempunyai hutang uang sebagai pembayar Fasus Fasum kepada Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp. 737 Milyar. Hutang uang itu dibayar dengan tanah yang di klaim sudah dibebaskan/dibeli oleh Podomoro dan 6 Pengembang lainnya. Catatan dari 7 Pengembang itu, 2 Pengembang yakni PT. ASTRA dan PT. BROTHER membantah punya kaitan dengan kewajiban fasus fasum di Lahan Taman BMW sesuai BAST itu, kewajiban Fasus Fasum sudah mereka lunasi tidak dengan BAST tersebut.

Luas tanah di BAST itu adalah 26,5 Ha (265.000 M2). Maka harga tanah yang dibebaskan Podomoro itu dibandrol seharga Rp. 2,8 Juta/M2 (tahun 2007 itu). Setelah di survey bukti lapangan bahwa tak ada orang yang menerima pembayaran tanah. Adapun pihak-pihak yang di klaim menerima pembayaran sebagaian mengatakan tak merasa punya tanah disana, sebagian lagi mengatakan tak pernah menerima uang sepeserpun dari Pengembang. Patutlah Podomoro Grup tidak bisa mensertifikatkan tanah itu karena bukti-bukti yang tidak akurat tadi.

Di pengadilan di PTUN Jakarta, Dirut Podomoro membuat surat pernyataan tertulis per Juni 2014 yang isinya menyatakan bahwa persertifkatan dengan 2 (dua) Sertifikat Hak Pakai An. Pemprov DKI Jakarta seluas 11,7 Ha pada Juli 2014 itu semua biayanya dari Podomoro. Surat Pernyataan ini terasa aneh dan janggal karena diadakan dalam rangka memperkuat dalil kewajibannya di BAST itu (kewajiban Podomoro mersetifikatkan, agar tak disebut ingkar janji). Pada saat yang sama ada fakta lain, yakni tanah itu dulu dibebaskan pada tahun 1990 oleh BP3L Sunter (Lembaga Pemprov DKI Jakarta yang dibentuk untuk pembebasan lahan dalam rangka pembuatan ruang terbuka hijau). Jadi logikanya yang bayar harusnya Pemprov DKI Jakarta melalui BP3L Sunter, bukan Podomoro. Logika lainnya adalah jika benar Podomoro sudah membebaskan lahan itu tahun 1992, maka harusnya Podomoro memiliki bukti kuitansi pembayaran-pembayarannya. Oleh karena mungkin kuitansi pembayaran itu tidak ada atau sengaja ditutup2i, maka dibuatlah alibi baru dengan surat pernyataan Dirut Podomoro pada Juli 2014 itu. Janggalnya bukti Surat Pernyataan ini adalah sebagai bukti yang dimajukan BPN sebagai pengganti bukti pembayaran lahan oleh Podomoro pada 20 tahun yang lalu. Tentu ini kurang diterima akal sehat. Tapi faktanya itulah lah yang dijadikan BPN sebagai salah satu bukti melawan dalil Penggugat yang ingin membatalkan Sertifikat Hak Pakai itu.

Pada tingkat PTUN DKI Jakarta, Majelis Hakim memutuskan memenangkan PT. Buana Permata Hijau dan menyatakan batal sertifikat Hak Pakai itu. Kemudian BPN dan Pemprov DKI Jakarta melakukan upaya Banding dengan Memori Banding yang sama dengan Jawabannya pada saat sebagai Tergugat di Pengadilan TUN DKI Jakarta. Oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi TUN DKI Jakarta putusan PTUN DKI Jakarta itu dinyatakan membatalkan Putusan PTUN DKI Jakarta dan seterusnya memutuskan menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (NO). Dalam situasi ini langkah hukum yang bisa dilakukan oleh PT. Buana Permata Hijau adalah melakukan Kasasi, menggugat kembali ke Pengadilan yang lebih berkompeten (Misal Pengadilan Negeri untuk bersifat perbuatan perdata melawan hukum). Namun yang dipilih PT. Buana saat ini adalah Kasasi dan tengah menunggu Putusan MA.

Mengenai isi persisnya Surat pernyataan Dirut Podomoro itu belum diketahui secara detil. Surat pernyataan ini apakah untuk pembayaran pembuatan sertifikat saja atau juga termasuk klaim pembayaran pembebasan lahan seluas 26,5 Hektar....? Belum jelas karena surat ini disembunyikan untuk konsumsi publik dengan alasan yang tidak jelas pula oleh para pihak yang berperkara.

Selanjutnya, merujuk pada sejarah pembebasan lahan, bahwa pada masa Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto (Pencetus ide pembuatan Taman BMW Tahun 1980an) menurut penelitian dan publikasi sebuah lembaga LSM Pemerhati Lingkungan dimana pada masa itu Pemprov DKI Jakarta membebaskan dan membangun lahan itu menjadi taman yang asri indah dan rimbun dengan APBD DKI Jakarta hampir menelan biaya Rp. 250 Milyar. Jika benar, tentu fakta dan catatan tentang ini pasti ada dalam dokumen milik DKI Jakarta. Dan pula jika benar Pemprov DKI Jakarta masa Wiyogo sudah membayar pembebasan lahan itu dengan dana APBD DKI, maka pembebasan lahan yang mana yang dilakukan BP3L Sunter dan Podomoro tahun 1992 ini ?. Kalau sudah terbukti pada masa Gubernur Wiyogo sudah membayar pembebasan lahan itu, maka lahan itu seharusnya sudah tercatat dan sah menjadi aset Pemprov DKI Jakarta. Tantu aset ini bersifat aset jalur hijau atau Taman.

Perlu diketahui bahwa Lahan Taman BMW seluruhnya seluas 66 Hektar. Hal ini disampaikan karena yang selalu menjadi konsumsi publik adalah hanya tanah sekitar 26,6 Hektar (lahan peruntukan pembangunan Stadion). Dan yang disebut Taman BMW pun saat ini terdapat pengkaburan lokasi dimana jika kita berjalan-jalan ke lahan bermasalah ini kita tidak akan menemukan plang nama Taman BMW. Saat ini yang diberi Plang Taman BMW oleh Pemprov DKI Jakarta adalah lahan kosong yang ditanami pohon-pohon yang berada persis di depan Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Jl. RE. Martadinata), paling tidak hanya seluas 2 atau 3 hektar saja. Di lahan yang sedikit itu memang berpagar dan ditanami pepohonan dan saat ini disekitarannya telah disewakan pula entah oknum siapa sebagai tempat penjualan bunga-bunga. Lahan kosong itulah yang diberi Pemprov DKI Jakarta dengan merek Taman BMW. Ini jelas bermaksud menghilangkan fakta bahwa Taman BMW yang sesungguhnya adalah seluas 66 Ha (lahan kosong berpagar dan danau). Tindakan ini jelas pula dalam rangka mengelabui dan pembodohan rakyat Jakarta. Atau , entah apa maksud terselubung dibalik penamaan lahan depan pengadilan itu menjadi Taman BMW, yang pasti Suku Dinas Pertamanan Jakarta Utara sudah pula membuat berbagai anggaran untuk Taman BMW itu. Jika demikian motifnya hanya dalam rangka mengkuras anggaran pertamanan Kodya Jakarta Utara saja. Taman BMW inipun mungkin selalu jadi bancakan oknum2 PNS Kodya Jakarta Utara. Nanti dibagusin terus dirusak dibagusin lagi, terus di rusak lagi. Begitu terus menerus hingga anggaran habis untuk taman yang tak jelas manfaat dan keindahannya itu. Yang pasti hanya bermanfaat buat kantong si PNS itu saja. Mungkin penamaan lahan itu menjadi Taman BMW adalah bersifat numpang “ngetop” akibat riuhnya persoalan Taman BMW ini di media-media, maka Suku Dinas agar tidak susah negosiasi anggarannya ditaruhlah namanya Taman BMW. Bagi Saya yang lebih pas untuk merek taman itu adalah Taman BMW MINI alias TAMIMI. J

Kembali ke masalah Taman BMW pada masa Gubernur Wiyogo. Kemungkinan besar pembebasan lahan pada masa Wiyogo itu juga bermasalah sehingga tetap bermunculan klaim mengklaim dan gugat menggugat, sehingga pada suatu ketika Wiyogo sudah tidak menjabat Gubernur lagi, Taman BMW yang rimbun dan rindang itu dibabat dan dihancurkan oleh oknum-oknum dan tentu pembabatan ini sepengetahuan DKI Jakarta pada masa itu. Pembabatan ini dilakukan oleh orang dan ahli waris yang mengklaim sebagai pemilik lahan tersebut dangan alasan sebagai pemegang hak garap yang belum diberi penggantirugian pembebasan lahan. Pembabat hutan kota itupun tidak pernah di proses secara hukum.  jadilah lahan itu menjadi rusak, tak terawat dan pada masa Presiden Megawati akibat krisis monoter rakyat diperbolehkan rmemanfaatkan lahan2 kosong untuk bercocok tanam, maka berbondong-bondonglah warga miskin dan dikoordinir untuk becocok tanam di lahan tersebut. Hingga pada akhirnya mulai pertengahan 2006 lahan itu oleh petani2 sayur mayur diperjualbelikan kepada oarang-orang dan spekulan tanah kecil-kecilan dan menjadi gubuk2 dan bangunan2 semi permanen sebagai hunian warga miskin kota. Akhir 2007 akupasi lahan ini semakin tak terkendali dan pemilik lahannya bukan lagi warga miskin kota tapi calo dan spekulan-spekulan tanah. Pada Agustus 2008 di bongkar secara paksa dengan bernuansa pelanggaran HAM. Pembongkaran ini juga akibat provokasi Badan Pertanahan (BPN) pada masa itu yang meminta pengosongan lahan kepada Pemprov DKI Jakarta untuk pengukuran dan pembuatan sertifikat (berita pembongkaran paksa inipun sangat luas terberitakan oleh media2 di Ibukota). Belakangan Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso sekitar Maret 2014 pernah menyatakan bahwa pembongkaran paksa yang pernah terjadi di lahan taman BMW Agustus 2008 itu adalah salah sasaran. Jika salah sasaran tentu warga korban gusuran paksa itu punya hak menuntut balik pada Pemprov DKI Jakarta atas kerugian yang ditimbulkannya.

Fakta lainnya adalah terkait gugatan PT. Buana Permata Hijau di PTUN DKI Jakarta terhadap 2 (dua) Sertifikat Hak Pakai An. Pemprov DKI Jakarta seluas 11,7 Ha. Bahwa di sertifikat tersebut jelas disebut asal tanah adalah tanah negara dan dalil BPN membantah gugatan itu adalah adanya Konsinyasi uang ganti rugi di Pengadilan Negeri Jakarta Jakarta Utara tahun 1992 senilai Rp. 1.1 Milyar untuk seluas kurang lebih 7 Hektar lahan milik PT. Buana Permata Hijau/PT. Narpati. Konsinyasi ini dilakukan akibat gugat menggugat SK Penetapan harga ganti rugi oleh Pemprov DKI Jakarta yang waktu itu menetapkan harga pembebasan lahan Rp. 14.000 (empat belas ribu rupiah) per meter yang PT. Buana dan PT. Narpati keberatan dengan harga itu. Perkara tersebut juga berujung pada amar putusan tidak diterima (NO). Dalam posisi kasus NO seperti itu faktanya tidak ada gugatan lanjutan baru atau Kasasi dan pihak Pemprov DKI tetap mengkonsinyasi ganti rugi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Terhadap Konsinyasi itu sesuai ketentuan yang berlaku Pengadilan Negeri Jakarta Utara pun tidak melakukan proses lanjutan terhadap Konsinyasi itu. Jadi umumnya kasus lahan Taman BMW yang sempat ada di pengadilan dan terputus begitu saja entah karena alasan apa.

Konsinyasi ini memang menjadi dalil perlawanan BPN menjawab gugatan Penggugat. Oleh karenanya di persidangan PTUN DKI Jakarta Penggugat memajukan saksi ahli (pakar pertanahan). Saksi ahli berpendapat Konsinyasi Tahun 1992 itu tidak sah jika uang pembebasannya berasal dari Podomoro. Jika suatu pembebasan lahan dilakukan swasta maka tidak disebut ‘pembebasan’ lahan, tapi ‘ganti rugi’ lahan. Sebutan pembebasan lahan adalah konteks untuk lembaga Pemerintahan seperti Pemprov DKI Jakarta, maka jika dilakukan swasta disebut ‘membeli’ lahan. Jika memang yang membebaskan adalah Pemprov DKI Jakarta pada tahun 1992 maka tentu uang pembebasannya harus dari APBD DKI Jakarta bukan uang dari Podomoro. Lebih lanjut saksi ahli mengatakan konsep Konsinyasi tidak dikenal dalam tindakan pembebasan lahan saat itu. Dan lagi pula dipersidangan tak ada bukti2 pembayaran lahan Taman BMW itu kepada pihak-pihak manapun oleh Pemprov DKI Jakarta.

Sesuai sejarahnya yang mungkin membayar para penggarap lahan itu dahulu adalah BP3L Sunter itu. Dan Podomoro hanya mengajukan bukti pembayaran lahan yang dilakukannya langsung dari para penggarap hanya terlampir di BAST antara Pemprov DKI Jakarta dan Podomoro Juli 2007. Faktanya bukti2 pembayaran lahan lampiran BAST tersebut terungkap umumnya bodong semua. Jadi memang seperti berputar-putar tentang bukti pembayaran lahan, dibayar ke siapa-siapa, semua menjadi tidak terang dan penuh kejanggalan.

Menurut pengakuan Mantan Gubernur DKI Sutiyoso pun tentang lampiran2 bukti pembayaran itu muncul belakangan setelah BAST ditandatangani (selang beberapa minggu baru diserahkan) dan bukti2 itupun belakangan setelah diteliti banyak yang bodong. Jadi tanah siapa dibayar siapa oleh siapa dan berapa? Semua ini gelap dan dibiarkan begitu saja. Logikanya jika hutang 7 Pengembang ke Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp. 737 Milyar maka tentu nilai tanah yang harus dibebaskan 7 Pengembang itupun harus setara dengan itu yakni senilai Rp. 737 Milyar juga. Nah, jika tanah yang dibebaskan (dan harus pula sudah disertifikatkan) hanya bernilai Rp 100 Milyar misalnya dan diserahkan ke Pemprov DKI Jakarta, maka artinya 7 Pengembang itu masih punya hutang Rp. 673 Milyar kepada pemprov DKI Jakarta. Maka logika rakyat mengatakan Lahan Taman BMW seluas 26,5 Hektar itu dikasi bandrol harga oleh Podomoro per meternya Rp. 2,8 juta, maka klop lah Podomoro menyerahkan lahan Taman BMW kepada Pemprov DKI Jakarta lahan seluas 26,5 Hektar dan hutangnya lunas semua. Pertanyaan apakah lahan itu pada saat itu tahun 2007 seharga Rp, 2,8 juta per meter...? Ini gampang di cek berapa biasa orang menjual lahan disekitar itu pada saat tahun 2007.  Pertanyaan selanjutnya adalah belum terang darimanakah asal muasal sehingga 7 Pengembang ini harus membayar Rp 737 Milyar ke DKI sebagai Fasus Fasum.  Angka Rp. 737 Milyar itu hitung2an darimana...? Ini semua belum jelas bagi rakyat.

Sekilas dari hal-hal diatas, sesungguhnya dapat dinilai secara hukum BAST itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya. Namun tentang ini Pemprov DKI Jakarta harusnya membuat keputusan. Dilalahnya hingga saat ini Pemprov DKI seperti malas melakukannya, diam, bahkan kok terkesan menutupi masalah ini. Adapun menurut yang pernah terjadi adalah pemprov DKI Jakarta pernah berkirim surat kepada Podomoro Tahun 2009 agar segera memenuhi janjinya mensertifkatkan lahan tersebut. Namun hingga saat ini Podomoro faktanya tidak mensertifikatkannya. Yang belakangan muncul sertifkat diajukan sendiri oleh Pemprov DKI Jakarta melalui BPN Jakarta Utara.

Perlu kiranya BAST tersebut dibatalkan atau di dalilkan batal demi hukum atau batal dengan sendirinya. Selanjutnya Pemprov DKI Jakarta menilai ulang atau menagih ulang kewajiban Fasus Fasum ke-7 Pengembang itu karena beberapa pasal dalam ketentuan BAST itu diingkari oleh 7 Pengembang. Keberlakuan BAST itu tidak perlu diuji materil lagi. Yang perlu diuji adalah apakah BAST itu produk hukum perdata (tunduk pada hukum perjanjian), ataukah BAST itu sebentuk putusan TUN...? Namun melihat subjek dan isinya BAST itu lebih kepada perbuatan hukum perdata dalam lapangan hukum perjanjian. Selanjutnya apakah ada dasar hukum menggugat untuk membatalkan BAST itu menggunakan Civil Sue atau Class Action dari warga DKI Jakarta...? Mari kita kaji bersama kaum intelektual hukum tentunya. Pertanyaan lanjutan adalah jika BAST itu batal, tanah siapakan jadinya lahan Taman BMW itu?.

Di persidangan PTUN itu juga, Podomoro mengklaim telah membayar lahan tersebut dengan uang yang berasal dari PT. Podomoro. Jika demikian, maka namanya bukan pembebasan lahan tapi pembelian/ganti rugi lahan karena dilakukan oleh swasta layaknya membeli lahan milik orang lain. Dan jika uang pembebasan lahan benar berasal dari Podomoro, maka tidak tepat pula Pemprov DKI Jakarta menggunakan istilah Konsinyasi. Logika jika antar swasta atau pribadi tak cocok harga dalam konteks jual beli barang maka ketidakcocokan itu bukan berakhir pada Konsinyasi, sebab konsinyasi dimaksudkan untuk kepentingan pembebasan lahan yang merupakan tindakan pemerintah (lembaga negara) bukan lembaga swasta demi kepentingan umum. 

Maka dalil BPN dalam penerbitan Sertifikat Hak Pakai mendasarkannya pada Konsinyasi menjadi tidak tepat rasanya dan tidak sesuai dengan fakta yg sebenarnya. Konsinyasi yang dilakukan pada tahun 1992 itu faktanya belumlah pula memenuhi prosedur Konsinyasi sesuai ketentuan yang berlaku.  Sesuai ketentuan, Konsinyasi tidak sekedar menitipkan uang di Pengadilan, Konsinyasi masih harus menempuh prosedur lainnya. Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak melaksanakan prosedur lanjutan itu bahkan hingga saat inipun. Akibatnya Penetapan Konsinyasi tahun 1992 itu pun berstatus batal dengan sendirinya atau batal demi hukum. Tentu akan berimbas pada batal dengan sendiri BAST Juli 2007 itu.

Menjadikan Konsinyasi itu sebagai dalil dasar menerbitkan Sertifikat tanah di lahan Taman BMW sebagai wujud carut marutnya kesalahan berbagai bukti-bukti pembayaran lahan itu oleh Podomoro dan semakin membuat logika terbalik-balik dalam prosedur dalil bukti pembebasan lahan itu. Penerbitan sertifikat Hak Pakai itu disinyalir lebih kepada desakan politik dari Gubernur Jakarta waktu itu Jokowi dalam rangka janji pencanangan peresmian pembangunan Stadion Taman BMW.

Dalil lain yang dipergunakan oleh BPN melegalkan penerbitan sertifikat itu adalah mendesak karena demi kepentingan umum yakni pembangunan Stadion untuk umum. Dalil ini sangat “klise” mengingat ukuran kepentingan umum sangat subjektif dan ketentuan peruntukan tanah untuk kepetingan umum ini diatur tersendiri dengan aturan tersendiri pula. BPN memang ingin mengelabui dalil pembelaan dengan “membajak” situasi kekinian masalah Taman BMW itu dengan situasi pembebasan lahan itu di tahun 1992.  Tentu dasar dan dalil kekinian tanah itu karena rencana pembangunan stadion, namun tahun 1992 itu dalilnya bukan stadion tapi untuk ruang terbuka hijau. Bahkan pembajakan lahan ini menjadi pembayaran fasus fasum 7 Pengembang menjadi hal tersendiri pula.

Sederhananya adalah, tahun 1980-an lahan dibebaskan untuk pembangunan Taman BMW, tahun 1992 lahan dibebaskan untuk ruang terbuka hijau, tahun 2007 lahan dibebaskan untuk pembayaran fasus fasum 7 pengembang, tahun 2015 ini lahan dibebaskan untuk pembuatan stadion. Jadi disinilah sedikit lika liku besar lahan Taman BMW itu.

Bahkan kepentingan umum versi BPN itu akan berhadapan pula dengan kepentingan umum bahkan lebih penting, yakni kepentingan umum untuk pemberantasan KKN di lingkungan Pemprov DKI Jakart.  Jakarta bersih dari KKN malah lebih memiliki nilai kepentingan umum yang lebih tinggi dibanding pembangunan sebuah stadion itu. Ditambah lagi umumnya stadion itu lebih berkesan hura-hura anggaran negara. Stadion itu lebih berpotensi menimbulkan berbagai macam kerusuhan baru supporter bola di wilayah Jakarta Utara (catatan : jangan remehkan ancaman NJ Mania Suppoter Persitara Jakarta Utara yang mengatakan jika Pemprov DKI Jakarta membangun Stadion dan menyerahkannya kepada Persija/Jakmania akan mungkin terjadi banjir darah). Bahkan pula pembangunan itu kelak lebih menguntungkan kepentingan pribadi segelintir oknum perusahaan pemenang tender proyek pembangunan stadion.

PT. Podomoro mengklaim bahwa uang pembebasan lahan itu berasal dari PT. Podomoro bukan APBD DKI Jakarta. Ini akan sejalan dengan skenario adanya BP3L Sunter sebagai lembaga eksekutor/verifikator pembebasan lahan. Oleh karena BP3L Sunter ini sudah bubar, maka muncullah surat pernyataan Dirut Podomoro Juni 2014 sebagai bukti klaim pembayaran Podomoro atas lahan tersebut. BPN sebagai Tergugat memajukan Surat Pernyataan Dirut Podmoro ini sebagai salah satu bukti menguatkan dalil sahnya prosedur menerbitkan Sertifikat Hak Pakai.  Podomoro juga mengakui kepemilikan lahan PT. Buana Permata Hijau dilahan Taman BMW itu seluas 6,9 Hektar namun Podomoro mengakui sudah membayarnya tahun 1992 dan uangnya di Konsinyasikan di Pengadilan Jakarta Utara. Saksi-saksi yang dimajukan di persidangan ini umumnya tidak mengetahui secara jelas bagaimana letak-letak lahan Taman BMW ini, karena saksi ini umumnya adalah pegawai yang rata-rata baru bekerja paling lama 8 tahun di Podomoro. Secara detil memang bukan pelaku pembebasan lahan tahun 1992 itu. Mereka hanya saksi pengukuran Juli 2014 saja (saksi pengukuran yang tidak tertulis di sertifkat, yang tertulis di sertifikat sebagai saksi pengukuran adalah PNS DKI Jakarta bukan pegawai Podomoro, namun Pemprov DKI Jakarta malah memajukan pegawai Podomoro ini sebagai saksi pengukuran dan batas-batas lahan/ini kejanggalan tersendiri pula yang terungkap di persidangan PTUN DKI Jakarta) dengan dalil pengetahuan letak-letak lahan yang sangat minim, dan saksi yang sifatnya hanya mendengar dari pihak lain saja.

Carut marut masalah lahan Taman BMW ini akhir-akhir ini pun ditimpali pula dengan rencana Jakarta sebagai Tuan Rumah ASIAN GAMES 2018 di Jakarta. Penimpalan itu sebagai bahan untuk mendesak BPN bersegera menerbitkan sertifikat agar pembangunan stadion itu segera pula dilaksanakan. Pemprov DKI Jakarta sudah menganggarkan biaya pembangunan Stadion di APBD DKI Jakarta Rp. 1,5 Trilyun (Multiyears). Isu mendesaknya pembangunan Stadion ini selalu muncul dari pejabat-pejabat Pemprov DKI Jakarta namun faktanya sering pula pejabat ini tidak konsisten dengan pernyataan-pernyataannya di publik. Faktanya saat ini belum ada langkah apapun untuk rencana pembangunan itu (semua masih pernyataan wacana). Beberapa kali pula DPRD DKI Jakarta mencoret penganggaran pembangunan stadion ini di APBD DKI Jakarta dan berkali-kali pula Pemprov DKI selalu memasukkan kembali item biaya pembangunan ini di setiap tahun anggaran. DPRD DKI pernah sekali mem-pansuskan masalah lahan Taman BMW ini dengan rekomendasi pembatalan pembangunan hingga ada penyelesaian masalah tanahnya, namun rekomendasi itu tidak pernah dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta.

Pemprov DKI Jakarta berencana mengkebut pembangunan stadion itu sejak tahun 2013 lalu. Tapi tak ada tanda-tanda akan lelang walau dalam item terkait sekecil apapun. Yang ada hanya proyek pembuatan plang peringatan di lahan kosong itu dengan baliho besar bertuliskan di lahan ini akan di bangun stadion bertaraf internasional dan beberapa plang kepemilikan. Tentang nama stadion pun belum ada yang pasti apa nama stadion ini kelak. Jadi intinya semua masih wacana, bahkan rencana Pemprov DKI Jakarta menjaga lahan itu dengan menggunakan Satpol PP pun tidak terealisasi. Masalah asap para pembakar sampah pun yang dikeluhkan warga sekitar lahan kosong itu tak pernah diurus. Pembakaran masih berlangsung sampai saat ini tanpa ada tindakan apapun. Intinya Pemprov DKI yang dimana-mana forum selalu mengklaim itu lahan miliknya, dalam kenyataannya hanya sikap sebagai pemilik  saja, dalam pemeliharaan lahan itu Pemprov DKI Jakarta berprilaku layaknya bukan pemilik lahan.

Apakah stadion akan dibangun segera...? Pemprov DKI meyakinkan diri sanggup segera membangun stadion itu selesai dalam 2 (dua) tahun kedepan dengan alasan ASIAN GAMES 2018 sudah dekat. Apakah stadion ini nanti benar-benar bisa dikebut peresmiannya mengingat lahan yang masih labil/lunak (awam melihat masih perlu pemadatan/pematangan/pengurukan yang tinggi) dan perlunya AMDAL yang konprehensif. Ini menjadi pertanyaan publik. Mungkin rencana pembangunan dan wacana percepatan itu disinyalir dalam rangka menutupi dosa-dosa KKN yang bergelut seputar pengadaan dan atau pembebasan lahan itu. Dan seiring itu juga para pejabat DKI dan pihak-pihak lain selalu menjadikan masalah ini sebagai banjakan untuk kepentingan pribadi bermotifkan pemerasan baik secara kasar maupun secara halus, suap dan KKN lainnya. Yang lebih memiriskan terkadang dalam isu pembangunan stadion ini “membajak” pula Persija dan Jakmania yang haus memiliki stadion sebagai bahan polesan untuk memproleh dukungan moril. Pemprov DKI Jakarta sesungguhnya belum terlihat tulus dengan janji mereka pada masyarakat sepakbola itu, karena faktanya selalu berakhir pada ingkar janji.

Umumnya dalam lika liku masalah lahan ini memang tidak bisa dipungkiri yang selalu muncul adalah fragmatisme dari berbagai pihak entah dari siapapun karena niat “menyelesaikan masalah” tidak pernah  ada. Yang melulu muncul adalah niat “mempermasalahkan masalah” dengan berbagai macam motif dan cara. Anehnya pula Podomoro yang menjadi pihak sentral dalam permasalahan ini melulu lebih memilih diam saja dan menampung segala aspirasi pihak-pihak yang meributkannya tanpa ada gerakan apapun untuk bicara dan muncul meluruskan dan menyelesaikan masalah. Podomoro pun lebih senang “memelihara masalah” ini. Boleh dikatakan dalam persoalan ini Podomoro seperti terlihat menjebak Pemprov DKI Jakarta yang harus menyelesaikan masalah ini. Hal ini menimbang hingga saat ini yang teramati oleh publik Podomoro berlaku cuek dan menempatkan persoalan ini hanya melulu persoalan rakyat Jakarta dan Pemprov DKI Jakarta saja. Barangkali dalam buku Podomoro telah ada kesimpulan hutang fasus fasum sudah lunas tahun 2007. Jadi apapun masalah sesudah itu menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.

Perlu diketahui pula jika merunut koreksi harga tanah di DKI Jakarta per Agustus 2015 ini, maka untuk wilayah Jakarta Utara sesuai Press Release Podomoro selaku pelaku utama pengembang pertanahan, harga tanah di Jakarta Utara adalah Rp. 70 juta hingga Rp. 80 juta per meternya. Dapat dibayangkan lahan Taman BMW itu jika seluas 26,5 Hektar (265.000 M2) sama dengan nilainya saat ini sekitar Rp. 20 Trilyun. Jika kelak ada suatu keputusan membatalkan BAST Juli 2007 itu maka Podomoro tetap memiliki kewajiban hutang Fasus Fasum ke DKI Jakarta Rp. 737 Milyar. Tentu hutang itu tidak bertambah nilainya sesuai walau harus dibayar tunai saat ini. Mungkinkah ada skenario Podomoro akan setuju BAST itu batal dengan catatan tanah seluas 26,5 Hektar itu dikembalikan kepada Podomoro oleh Pemprov DKI Jakarta dan Podomoro mengganti Fasus Fasumnya Rp 737 Milyar itu kepada DKI Jakarta saat ini dalam bentuk tunai (uang cash).  Ini bisa saja terjadi menurut logika rakyat. Sehingga beralihlah permasalahan Podomoro menyelesaikan urusannya dengan para pengklaim tanah itu (membeli ulang seharga kesepakatan antar swasta) dan oleh karena Pemprov DKI akan membangun stadion di lahan tersebut maka Pemprov DKI Jakarta membeli lagi lahan itu kepada Podomoro dengan harga kekinian Rp. 20 Trilyun. Atau bisa jadi lahan untuk stadion oleh Pemprov DKI Jakarta dialihkan dari lahan Taman BMW itu ke lokasi lain semisal Kemayoran (sebagaimana pernah disebut Ahok). Maka jika ini terjadi Podomoro memperoleh rezeki nomplok dengan membebaskan tanah hampir disebut gratis dan memilikinya, dan memperoleh keuntungan Rp. 20 Trilyun plus kelak di lahan itu akan dibangun apartemen atau bangunan hunian mewah. Ini hanya dugaan dan perkiraan rakyat saja dan bukan mustahil, lagian skenario ini logis-logis saja, toh urusannya kan sekedar isu hutang fasus fasum yang dianggap lunas atau belum lunas yang terlanjur tersebar di publik. Atau kelak Pemprov DKI memperoleh aset tanah termahal yang pernah dimiliki yakni aset tanah senilai Rp. 20 Trilyun. J

Begitulah kira-kira beberapa lika-liku yang publik awam tahu terkait masalah lahan Taman BMW itu. Sebagai sebuah permasalahan, kembali rakyat menginginkan ‘penyelesaian masalah’ bukan ‘mempermasalahkan masalah’ atau bahkan bukan ‘memelihara masalah’. Solusi konfrehensif mendesak diciptakan menuju proses penyelesaian. Media telah banyak berperan mengungkap segala masalah ini kepada publik. Usaha pengungkapan dengan bersitegang mengurai kesalahan dan kebenaran sudah selesai seharusnya. Tiba saat untuk penyelesaian.

Hukum itu rigid namun hukum juga menyatakan bahwa perdamaian adalah hukum yang tertinggi. Rakyat berharap pihak-pihak yang terkait di lahan Taman BMW itu mengedepankan moral dan kepentingan yang lebih besar di masa depan dalam proses penyelesaiannya. Kebijaksaan dituntut dari semua pihak yang berperkara di lahan itu. Stadion itu jangan terus menjadi wacana yang makin lama makin terlihat seperti angan-angan (mimpi). Rakyat memang butuh stadion tapi penyelesaian masalah ini menurut survey yang pernah dilakukan lebih utama dipilih rakyat dibanding stadion itu. Berilah rakyat dua hadiah sekaligus yakni dengan selesainya masalah itu dan realisasi pembangunan stadion sesegera mungkin. Semangat penyelesaian adalah tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna, uang bukan segala-galanya, khilaf dan salah adalah sifat manusia, ambisi juga sifat manusia, damai itu indah, namun adalah jiwa yang menerima kesalahan atau kekhilafan dan memperbaikinya sesungguhnya itu lebih utama dari segala lika-liku masalah yang menggeluti lahan Taman BMW itu dan itu pula yang rakyat tunggu-tunggu. Bangsa ini sudah penuh dengan skandal dan kebobrokan, tak pada tempatnya kita lagi merasa kuat sedang melawan dolar pun seluruh bangsa ini keok... JApalah lagi yang harus kita lakukan...? Apalah lagi yang Tuan-Tuan tunggu dan harapkan...?. Jika seperti diatas kita mentamsilkan masalah lahan Taman BMW ini seperti sebuah pertarungan David dan Goliath, maka dalam sejarahnya di Kitab Suci dengan realitas, kecerdikan (ilham Tuhan) David mengalahkan Goliath; Walaupun Syaiton (Iblis) berhasil menang dalam membelokkan Iman manusia, namun Tuhan tidak pernah menyatakan Syaiton (Iblis) itu sebagai Pemenang. Semoga semua pihak berbijaksana mengakhiri dan menyelesaikan polemik ini. J

Demikian dan dengan terlebih dahulu memohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan atau kurang akurat dalam tulisan ini. Semoga bermanfaat dan menginspirasi. Wallahu A’alam bis-Shawabi.

Wassalam.

Merdeka...!

Jakarta, 6 September 2015

Tertanda,

Warga DKI Jakarta.

 

Ikuti tulisan menarik irwan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler