x

Direktur Keamanan Nasional Korsel, Kim Kwan-jin (kanan), Menteri Unifikasi Hong Yong-Pyo (kedua dari kanan), berjabat tangan dengan Hwang Pyong So (kiri), pejabat Korut untuk Tentara Rakyat Korea , dan Kim yang Gon, pejabat senior Korut bertanggung j

Iklan

Gusrowi AHN

Coach & Capacity Building Specialist
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bekerjasama sebagai Gaya Hidup

Mengedepankan kerjasama bukanlah cara berpikir para pecundang. Sebaliknya, itulah cara berpikir para pemenang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada akhir 2015 ini, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan mulai berlaku. Yang pertama kali muncul di pikiran banyak orang yang ‘aware’ dengan ini adalah meningkatnya persaingan Sumber Daya Manusia di kawasan ASEAN dalam memperebutkan lapangan pekerjaan yang ada. Perekonomian yang lebih ekspansif lintas negara-negara ASEAN juga menjadi ulasan, perhatian dan perbincangan di banyak forum diskusi dan seminar.

“Persaingan” dan “Kompetisi” menjadi kata-kata yang semakin nyaring dikumandangkan dan dinyatakan oleh banyak orang. Kata-kata ini menjadi semacam ‘perspektif’ yang kemudian mempengaruhi sikap, perilaku dan tindakan mereka dalam menyongsong MEA. Pertanyaan saya, apakah 2 kata ini saja yang akan ‘populer’ di dalam menyongsong MEA? Tentunya tidak. Namun begitu, saya tertarik mengulasnya.

Mendengar dua kata tersebut tersebut rasanya akan cukup intimidatif bagi siapapun yang menggunakannya sebagai perspektif dalam menyongsong datangnya MEA. Karena kata “Persaingan” dan “Kompetisi” memiliki ruh yang sama. Orang yang berpikir tentang 2 kata tersebut akan selalu dibawa ke alam pemikiran “menang” dan “kalah”. Sehingga, di dalam memaknai MEA ini, mereka menganggapnya sebagai ‘ajang’ untuk bertarung dan berkompetisi memperebutkan peluang dan keterbatasan sumber daya yang ada, yang akan menentukan pemenang dan pecundangnya. Jika pemikiran ini yang dimunculkan paling atas, berbagai kekhawatiran dan rasa was-was akan selalu menghantui.

Lawan dari 2 kata itu adalah “kerjasama” atau “kolaborasi”. Ini adalah pola pikir “menang-menang”. Apa kira-kira yang akan mendominasi pemikiran kita, jika pendekatan ini kita gunakan untuk? Mengapa kita harus bekerjasama? Mungkinkah kita bekerjasama dalam memperebutkan peluang dan keterbatasan Sumber Daya yang ada? Apa yang kita perlukan untuk bisa bekerjasama? Sederet pertanyaan demikian menuntut kita untuk menjawabnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melakukan transformasi dari pemikiran ‘kompetisi’ ke ‘kolaborasi’, bukanlah perkara mudah. Apalagi, apa yang kita hadapi jelas-jelas nyata adanya. Tanpa mentalitas kompetitif, banyak dari kita yang meyakini, bahwa kita tidak akan mampu survive di tengah persaingan yang ada. Pemikiran semacam inilah yang akan sering menggelitik dan menggoda, sehingga kecenderungan kebanyakan dari kita akan berpikir kompetitif.

Untuk bisa memiliki pikiran ‘kolaboratif’ setidaknya ada 2 hal mendasar yang harus diyakini. Pertama, pemikiran kolaboratif memberikan ‘gambaran’ masa depan yang lebih baik. Karena, masing-masing orang akan saling memikirkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Kedua, menjadi kolaboratif artinya menjadi bagian dari masyarakat yang plural dan beragam. Sehingga, bekerjasama dan berjejaring dengan banyak orang, adalah cara paling strategis untuk bisa berbagi pengalaman, pembelajaran dan peluang dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi.

Tentunya, transformasi ke arah pemikiran yang kolaboratif, karena memang tidak mudah, harus dilewati dengan pengalaman-pengalaman hidup yang mendukung. Seperti, pengalaman bertemu dengan orang-orang yang berbeda pandangan, membiasakan diri untuk berpikir ‘menang-menang’ dalam menghadapi persoalan, berpikiran terbuka terhadap berbagai ide, pemikiran, dan pendapat orang lain, dan masih banyak lagi. Pengalaman-pengalaman tersebut saya yakin akan memperkaya cara kita dalam memandang masalah, hambatan, tantangan dan peluang yang ada di depan mata kita.

Mengedepankan kerjasama (kolaborasi) bukanlah cara berpikir para pecundang. Dengan menguatkan pemikiran kerjasama, maka kita sedang melakukan proses ‘mitigasi’ terhadap apapun dampak (positif atau negatif) dan hasil dari pengalaman yang kita alami.  Karena, hal pertama yang akan muncul di dalam pemikiran kita adalah “bagaimana kita bisa bekerjasama?”, dan bukan “Bagaimana aku bisa mengalahkanmu?”

Jika hal tersebut menjadi gaya hidup kita sehari-hari, saya meyakini seberat dan se-kompetitif apapun MEA bisa kita lalui dan lewati dengan baik. Karena tertanam di alam bawah sadar, “kita tidak sendiri menghadapinya, dan selalu ada orang lain yang bisa kita ajak bekerjasama untuk menghadapinya.” #gusrowi  

 

 

Ikuti tulisan menarik Gusrowi AHN lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler