x

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Rizal Ramli. TEMPO/Aditia Noviansyah

Iklan

Mardiyah Chamim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Topan Badai Bernama Rizal Ramli

Saatnya pemerintahan merapatkan barisan. Menteri Rizal, berhentilah memantik kegaduhan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jurus 'ngepret' Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli sedang banyak disorot dan memicu kegaduhan.

Kabinet yang gaduh adalah hal yang paling tidak kita butuhkan, terutama di saat perekonomian sedang penuh gejolak. Sayangnya, itulah yang sedang terjadi kini. Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, lagi-lagi, memicu kebingungan publik. Dia menggebrak ke sana-sini menebar komentar pedas, tetapi kerap tidak tepat sasaran. Seperti dewa yang sedang mabuk.

Sejak dilantik menggantikan Indroyono Soesilo, Agustus lalu, Menteri Rizal rajin menebar gelombang panas. Rizal mengkritik pembelian pesawat PT Garuda Indonesia, menyebut pengadaan listrik 35 ribu megawatt sebagai proyek mustahil, dan mengecam harga listrik prabayar. Yang paling fenomenal adalah silang pendapatnya dengan Direktur Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II R.J. Lino. Tanpa pemberitahuan, Menteri Rizal mendatangi kawasan Pelindo, dan secara demonstratif mengebor beton penghalang jalur kereta api ke pelabuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pak Menteri berdalih, komentar panasnya adalah penanda keterbukaan informasi yang disukai investor. Agaknya dia lupa ada jurang lebar antara keterbukaan dan kekacauan. Sudah tentu, kekacauan informasi dengan mudah membuat publik, terutama investor, mencium situasi yang tidak solid di pemerintahan.

Pak Menteri belum juga berhenti memantik kegaduhan. Kali ini dia menyerang Pertamina yang akan membangun gudang timbun minyak di seluruh Indonesia, senilai US 2,4 miliar. Padahal, gudang ini dibangun atas permintaan Presiden Joko Widodo yang menginginkan daya tampung persediaan minyak naik dari 20 hari menjadi 30 hari. Namun, menurut Rizal, seharusnya yang membangun gudang timbun itu adalah pemasok minyak dan bukan Pertamina.

Seperti telah diulas majalah Tempo, 30 Agustus 2015, tak semua pernyataan Rizal keliru. Proyek listrik 35 ribu megawatt, misalnya, memang kelewat ambisius. Pemerintah harus lebih realistis, terutama karena hingga kini belum ada terobosan yang berarti di bidang kelistrikan. Pada kasus PT Garuda, efektivitas pembelian pesawat berbadan besar juga layak dipertanyakan kembali.

Namun, kritik Rizal juga tak selalu valid. Pada kasus pulsa listrik prabayar, misalnya, Rizal secara simplistik menyamakan rupiah yang dibayar dengan daya listrik yang didapat konsumen. Padahal, dalam sistem prabayar, pelanggan diuntungkan bisa membeli pulsa pecahan kecil dengan konsekuensi ada biaya administrasi tambahan. Belakangan, Menteri Rizal meminta maaf dan mengoreksi pernyataannya.

Gebrakan badai Rizal Ramli ini membikin kita bertanya-tanya. Mungkin Pak Menteri belum sepenuhnya sadar bahwa dia sekarang bukan lagi seorang aktivis yang berdiri di luar gelanggang? Dia ada di dalam barisan pemerintah. Tidak sepatutnya dia menembak sejawatnya sendiri. Jalur kereta api yang terhalang area pelabuhan, misalnya, semestinya bisa dirundingkan secara elegan. Seorang menteri jelas bukan orang awam yang tanpa otoritas, dan sebaiknya wewenang itu digunakan dengan lebih strategis.

Rizal perlu diingatkan bahwa reshuffle, yang mengantarnya pada kursi menteri, bertujuan membuat kabinet yang lebih solid dan efisien. Seperti kapal di tengah samudera, nahkoda dan awak kapal seharusnya seirama jika tak mau kapal terombang-ambing di tengah ancaman badai krisis perekonomian global. ***

Ikuti tulisan menarik Mardiyah Chamim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu