x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahok, Indikator Pemilih Rasional

Ahok tampil sebagai antitesis primordialisme

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keberhasilan Basuki Tjahaja Purnama yang akrab kita kenal sebagai Ahok meniti tangga politik di Indonesia dapat dipandang sebagai cerminan dari semakin cerdasnya masyarakat dalam menggunakan hak politiknya. Agak berlawanan dengan tesis sinis dan pesimis sejumlah pengamat yang kerap menegaskan bahwa mayoritas rakyat Indonesia belum siap dengan sistem demokrasi karena masih berpegang kuat pada ikatan-ikatan primordial (identitas kedaerahan, kesukuan dan religius). Ahok tampil sebagai antitesis primordialisme dan tulisan ini akan mengkilas balik secara singkat perjalanannya menerobos sekat-sekat primordial itu untuk menunjukkan esensi dari politik: membawa kemaslahatan bagi semua masyarakat tanpa peduli latar belakang suku, agama dan daerahnya.

Kalkulasi Politik Rasional

Saya mulai mengenal Ahok ketika dia baru mulai meniti karier politiknya. Kami bertemu sebagai sesama kader Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) pimpinan Dr. Sjahrir (Alm.). Dia berniat maju sebagai calon DPRD Belitung Timur dari PIB. Tekadnya untuk maju dan bertarung di dunia politik tidak bisa lepas dari realitas pahit di daerahnya: rakyat miskin dan para pejabat korup. Dia ingin mengubah keadaan dan satu-satunya jalan efektif untuk mengubah keadaan itu adalah melalui politik. Tapi sebelum dia sampai pada tekad dan keputusan tersebut ada sebuah kisah singkat yang mendahului.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ayah Ahok, Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam), dikenal sebagai dermawan di kampungnya. Dia sering membantu masyarakat miskin. Tapi lama kelamaan ayahnya sadar bahwa bantuan yang dia berikan kepada orang-orang miskin tersebut tidak akan mengubah keadaan. Masyarakat tetap miskin. Banyak yang tidak mampu membayar biaya berobat, biaya sekolah dan aneka kesusahan lainnya. Sementara fasilitas-fasilatas umum yang disediakan pemerintah tidak kunjung membaik. Maka dia juga mulai berpikir keras untuk mengubah keadaan itu.

Waktu itu Ahok berniat melarikan diri ke luar negeri karena tidak tahan lagi dengan kesemena-menaan penguasa yang menutup tempat usahanya. Dalam keadaan galau itu, ayahnya memberi saran agar Ahok sudi terjun ke dunia politik dan memperjuangkan nasib rakyat. Ayahnya memberi sebuah kalkulasi politik yang sangat rasional: andai kamu punya uang Rp 1 Miliar dan berniat membantu masyarakat dengan uang itu. Jika masyarakat yang butuh bantuan ada 2000 orang, masing-masing hanya dapat Rp. 500 ribu, itu hanya cukup untuk biaya hidup beberapa minggu. Setelah itu habis. Tetapi jika uang Rp 1 miliar tersebut digunakan untuk berpolitik, bayangkan jumlah uang di APBD yang bisa dikuasai untuk kepentingan rakyat.

Kalkulasi politik ayahnya mulai membuka wawasan Ahok akan pentingnya dunia politik. Terdorong oleh tekad kuat untuk membantu masyarakat miskin dengan mengubah sistem, dia akhirnya memantapkan langkah untuk meniti karier sebagai politisi. Singkat cerita, dia terpilih sebagai anggota DPRD Belitung Timur pada tahun 2003. Kurang lebih satu tahun kemudian dia berhasil menduduki kursi Bupati Belitung Timur.

Selama menjabat sebagai Bupati Ahok berhasil  melakukan program-program yang dianggap banyak orang tidak mungkin: pendidikan gratis 12 tahun, mengasuransikan semua warga Belitung Timur (sampai operasi caecar, obat-obatan, ambulans bahkan santunan kematian), pengaspalan jalan hingga pedalaman, memperbaiki ribuan rumah warga yang hampir roboh. Program-program itu menghabiskan sekitar APBD Rp. 200 Milyar. Maka benarlah kalkulasi ayahnya, jalan politik jika dilaksanakan dengan benar akan membantu rakyat dalam skala jauh lebih besar. Itu jauh lebih efektif daripada sekedar memberi bantuan uang secara langsung. Martin Luther King Jr, juga pernah berujar dan menjadi salah satu inspirasi bagi Ahok dalam menjalankan tugasnya: “Belas kasihan sejati lebih dari sekedar melemparkan koin untuk pengemis”.

Keinginan Ahok untuk membantu masyarakat dalam cakupan lebih luas menjadi stimulus utama dalam perjalanan karier politiknya ke tingkat lebih tinggi. Dia terpilih sebagai angota DPR RI dan kemudian sekarang menjadi Gubernur Jakarta (akan dibahas dalam tulisan selanjutnya).

Sesuai dengan tema tulisan ini, sangat menarik memperhatikan perkembangan wawasan politik masyarakat di tengah iklim demokrasi yang berkembang sekarang ini. Mengutip kata-kata Andi Noya, host acara talkshow Kick Andi, “Saya juga heran kenapa seorang warga keturunan Tionghoa seperti Pak Ahok bisa terpilih di Manggar yang mayoritas suku Melayu Muslim”. Keheranan Andi dan mungkin juga kita adalah juga bentuk kegembiraan karena ternyata masyarakat kita semakin cerdas melihat figure-figur yang bersih, dan memiliki kapasitas dalam memperjuangkan hak-hak mereka daripada berpedoman pada ikatan-ikatan primordial. Kita bersyukur memiliki figure seperti Ahok yang telah memberi teladan bahwa pemimpin yang bekerja dengan benar pada akhirnya akan memenangkan pertarungan. Ini tentu pendidikan politik yang sangat berharga.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB