x

Tiga gerobak sapi melaju dengan latar depan areal persawahan di Bantul, DIY, 6 September 2015 ANTARA/Regina Safri

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Ada Tanah, Tak Ada Kehidupan

"No Land No Food, No Land No Life," demikian tema yang diusung oleh Aliansi Semarang untuk Reforma Agraria (ASuRa) dalam memperingati Hari Tani Nasional

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"No Land, No Food, No Land No Life," demikian tema yang diusung oleh Aliansi Semarang untuk Reforma Agraria (ASuRa) dalam memperingati Hari Tani Nasional. Mereka para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung dalam ASuRa merasa prihatin. Krisis agraria di Indonesia semakin parah. 
 
Menurut Rumiyati, wakil dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, bencana ekologis yang sekarang mendera Indonesia, tak lepas dari krisis agraria.
 
"Persoalan asap dan kekeringan terus melanda," kata Rumiyati. 
 
Bencana asap yang melanda sebagian besar pulau Sumatera dan Kalimantan misalnya, kata Ruwiyati telah mengakibatkan tak kurang dari 25.535 orang jatuh sakit. Bahkan diantaranya ada yang meninggal. Kekeringan juga melanda 12 propinsi. Di Jawa Tengah saja misalnya, dari 16 kabupaten yang terancam kekeringan, 8 diantaranya mengalami kekeringan yang meluas. Sebagai gambaran, dari 256 desa di Kabupaten Blora, 158 desa mengalami krisis air. 
 
" Gagal panen pun tidak hanya sebagai ancaman, namun sudah terbukti," kata dia.
 
Meningkatnya angka kemiskinan pun katanya, seolah menjadi potret umum pedesaan di Indonesia, seiring penurunan kuantitas rumah tangga petani. Krisis pangan dan ancaman gizi buruk menanti di pelupuk mata. Sungguh sebuah fakta yang memprihatinkan. Dan ancaman ekologis lainnya juga tak kalah mencemaskan.
 
" Celakanya, ini lebih dikarenakan berbagai mega proyek yang dibuat Pemerintah," katanya.
 
Desriko Malayu Putra, aktivis Greenpeace Indonesia yang tergabung dalam ASuRa juga mengamini. Desriko mencontohkan kasus proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berada di Jawa Tengah. Kata dia, satu PLTU saja bisa mengancam kelangsungan hidup banyak orang. Sedangkan faktanya ada tiga yang sudah dan akan beroperasi. Dirinya pun tak dapat membayangkan, bagaimana kehancuran ekologis yang bakal menimpa daerah sekitar proyek tersebut.
 
Putut Prabowo, aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) juga satu suara. Kata dia, pangkal muasal krisis agraria tidak bisa dilepaskan dari paradigma ekonomi-politik yang dijadikan sistem oleh rezim yang berkuasa. Sistem itu adalah investasi, monopoli tanah dan politik upah murah tenaga kerja. Tiga hal ini mewujud dalam program MP3EI. Dan yang ia sayangkan, sistem ini tiada berubah sedikitpun meski rezim berganti.  
 
" Semenjak program ini dilancarkan sebagai obat untuk mengatasi persoalan ekonomi Indonesia, krisis agraria pun meningkat tajam," katanya.
 
Ia ambil contoh program distribusi lahan 9 juta hektar yang dilansir pemerintah melalui berbagai regulasi pertanahan. Atau program 1 milyar rupiah dana desa melalui UU Desa dan Program Ketahanan Pangan. Kata dia, program-program itu tampak seperti kebijakan yang pro rakyat. Padahal justru yang kemudian terlihat adalah wataknya yang pro imperialis, tatkala disandingkan dengan regulasi MP3EI.
 
" Koridor Jawa semisal yang memposisikan pulau ini sebagai destinasi pendorong industri dan jasa nasional," kata dia. 
 
Dengan dalih program tersebut, kata Putut, pembangunan infrastruktur, berbagai ijin pertambangan dan pendirian pabrik serta berbagai proyek properti dengan segala cara dikeluarkan. Kasus yang menimpa rakyat di kawasan Karst pun masih nyaring di telinga. Maka konflik rakyat dan pengusaha-pemerintah pun tak terelakkan. 
 
Sementara Mazaya Latifasari, pegiat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, memaparkan, sepanjang tahun 2014 sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan konflik mencapai 2.860.977 hektar. Konflik-konflik itu melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga. Penggusuran dan perampasan tanah yang menimpa rakyat baik di kota maupun desa, berkurangnya sumber-sumber pangan dan ekonomi rakyat karena alih fungsi hutan dan lahan pertanian, kerusakan ekologis hulu-hilir adalah dampak langsung yang dirasakan oleh rakyat. Dampak lain adalah derasnya arus mobilitas rakyat ke kota-kota besar di Indonesia maupun migrasi ke negara-negara pasar kerja. Ini melanggengkan politik upah murah. 
 
" Inilah yang juga menyebabkan tuntutan-tuntutan kenaikan upah dan jaminan pekerjaan yang disuarakan kaum buruh dan golongan pemuda, mahasiswa, pelajar laksana menggantang asap," tuturnya.
 
Karena itu kata Mazaya, semua elemen yang tergabung dalam ASuRa menyerukan beberapa point tuntutan kepada pemerintah. Pertama, nyatakan asap dan kekeringan sebagai bencana nasional. Kedua, tolak pembangkit energi berbahan fosil, bangun pembangkit energi terbarukan. Ketiga, stop penggusuran dan perampasan lahan. Keempat, stop kekerasan dan kriminalisasi rakyat dalam seluruh konflik agraria. Kelima, selesaikan semua konflik agraria.
 
" Keenam, laksanakan reforma agraria sejati," katanya.
 
Disarikan dari siaran pers yang dikirimkan Walhi Jateng via email, 27 September 2015
 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB