x

Iklan


Bergabung Sejak: 1 Januari 1970

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hari Kesehatan Jiwa: Dignity in Mental Health

Tahukah Anda tanggal 10 Oktober itu hari apa? Bagi yang belum tahu,tanggal 10 Oktober adalah Hari Kesehatan Jiwa sedunia, pertama kali diadakan tahun 1992

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahukah Anda tanggal 10 Oktober itu hari apa? Bagi yang belum tahu, tanggal 10 Oktober adalah Hari Kesehatan Jiwa sedunia yang pertama kali diadakan pada tahun 1992 kemudian diperingati setiap tahun sampai sekarang. Tahun ini, tema Hari Kesehatan Jiwa adalah Dignity in Mental Health. Sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai tema, akan dituliskan sedikit mengenai definisi penyakit/gangguan jiwa dan macamnya agar kita mendapatkan sedikit landasan pemikiran dan memahami sudut pandang penulisan artikel ini.

Selama ini masyarakat mengasosiasikan sakit/gangguan jiwa dengan istilah gila atau gendheng (dalam Bahasa Jawa), linglung, hilang akal, dan kondisi sejenisnya. Berikut ini adalah definisi sakit/gangguan jiwa yang dikutip dari berbagai sumber:

  1. Penyakit mental merupakan akibat dari tidak mampunya orang menghadapi kesukaran-kesukarannya dengan wajar atau tidak sanggup ia menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.[1]
  2. Gangguan jiwa adalah kesulitan yang dihadapi oleh seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap diri sendiri.[2]
  3. Penyakit jiwa (psikosis) adalah penyakit yang menyebabkan kepribadian seseorang terganggu dan selanjutnya menyebabkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar dan tidak sanggup memahami problemnya.[3]
  4. Gangguan jiwa (neurosis) adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun mental.[4]
  5. Segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang.[5]
  6. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit[6], maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (QS: al-Taubah:125)

Para ahli berpendapat bahwa antara penyakit jiwa dan gangguan jiwa, keduanya tidak berbeda dalam macamnya, namun hanya berbeda dalam tingkat saja, yang berarti bahwa gangguan adalah keadaan yang lebih ringan daripada sakit jiwa.[7]

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara umum, orang dengan gangguan jiwa ringan masih mampu hidup di tengah-tengah masyarakat. Dirinya pun juga masih bisa menyadari bahwa ada sesuatu yang salah di dalam jiwanya. Sedangkan orang dengan gangguan jiwa berat seringkali tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang salah di dalam jiwanya. Ia merasa bahwa dirinya normal. Padahal, segala sisi kepribadiannya menunjukkan kegoncangan dan ketidakserasian, baik dalam hal perasaan, pengenalan diri, motivasi, interaksi sosial, dan sejenisnya. Sehingga orang-orang di sekitarnya dapat dengan mudah mengenali adanya sesuatu yang salah dan tidak beres itu.

Tanda-tanda penyakit mental/gangguan kejiwaan antara lain adalah kecemasan (anxiety) dan ketegangan (tension) yang berlebihan, rasa tidak puas terhadap perilaku diri sendiri, berlebih-lebihan dalam menanggapi permasalahan yang sedang dihadapi, ketidakmampuan untuk berfungsi secara afektif dalam menghadapi permasalahan.[8]

Contoh-contoh gangguan kejiwaan adalah Skizofrenia[9], Skizoafektif[10], Dissociative Identity Disorder (DID)[11], Self-Injury Disorder[12], Gangguan Kepribadian Antisosial[13], Homoseksual[14], Anoreksia nervosa (gangguan pola makan)[15], Bulimia nervosa[16], Obsessive Compulsive Disorder (OCD)[17], Bipolar Disorder[18], Paranoid[19], dan lain-lain.

Gangguan kejiwaan juga akan menyebabkan berbagai macam penyakit jiwa lainnya seperti iri hati, dengki, hasud, ketakutan tak beralasan, sedih tak beralasan, kecemasan tak beralasan, marah-marah tanpa alasan, bimbang, ragu-ragu, was-was, frustasi, perasaan tertekan, putus asa, depresi, delusi[20], minder, sombong, penimbun kompulsif[21]dan sebagainya.

Sedangkan masalah-masalah gangguan mental yang berkaitan dengan genetika antara lain Sindrom Down[22], Autisme[23], Skizofrenia (lihat penjelasan pada footnote 9), Bipolar disorder (lihat penjelasan pada footnote 18), ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)[24]

Ada beberapa yang tergolong sebagai penyakit jiwa tetapi tidak saya masukkan ke dalam tema artikel ini, “tidak mendiskriminasi orang-orang dengan masalah kesehatan mental/jiwa”, karena penyakit-penyakit mental/jiwa ini bukanlah jenis perilaku bermartabat yang layak dirangkul oleh warga dunia dan memang sudah selayaknya didiskriminasi juga dijauhi karena bersifat sangat merugikan, merusak, dan membahayakan, yaitu Psikopat[25], korupsi, membunuh, merampok, menipu, memfitnah, perilaku kejahatan kriminalitas lainnya, dan sejenisnya.

Berkaitan dengan tema Hari Kesehatan Jiwa 2015, Dignity in Mental Health, menurut WHO, dipilihnya tema ini tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran warga dunia tentang apa yang dapat dilakukan untuk memastikan orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental dapat menjalani hidupnya secara bermartabat mengingat banyak orang di dunia yang mengalami masalah kesehatan mental diperlakukan secara diskriminatif, diberi stigma buruk dan dikucilkan oleh masyarakat, bahkan sering mendapatkan perlakukan yang melecehkan baik secara fisik maupun psikis. Intinya, hak asasi mereka sebagai manusia sering diabaikan.[26]

Selama ini sudah sering kita dengar berita-berita tentang banyaknya kasus diskriminasi yang tidak seharusnya terhadap orang-orang dengan masalah kesehatan mental, misalnya penderita bipolar disorder yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri, penderita sindrom down yang dikucilkan oleh lingkungannya, orang-orang dengan kelainan homoseksual yang distigma buruk dan tidak diorangkan oleh masyarakat, dan sebagainya.

Contoh diskriminasi lainnya, bahkan oleh pemerintah sendiri, yaitu pasal 57 ayat (3) huruf a di Undang-Undang Pilkada, yang mengatakan bahwa seseorang yang dapat didaftar sebagai pemilih adalah seorang yang sedang tidak terganggu jiwa atau ingatannya. Padahal, sepert dikutip dari Kompas.com, menurut Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti, “pengidap gangguan jiwa, termasuk gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, tak berbeda dari orang lain. Selalu ada stigma dan asumsi di masyarakat kalau penderita gangguan jiwa tidak bisa memilih. Padahal, dengan bantuan obat-obatan dan dukungan sosial masyarakat, mereka dapat menjalani hidup seperti orang pada umumnya. Undang-undang itu (juga) tidak menyebutkan kalau orang yang koma di ICU tidak bisa memilih. Karena orang gangguan jiwa yang sedang dalam posisi gaduh gelisah, itu kan kondisi sementara. Tidak lama. Jadi sesudah itu ya dia biasa lagi.”[27]

Diskriminasi kadangkala juga datang dari kalangan medis sendiri seperti dituturkan oleh Prof Dr dr. Syamsulhadi, SpKJ yang dikutip dari health.detik.com “Tidak hanya oleh orang awam, tapi juga teman-teman sesama dokter yang tidak mengerti (tentang kesehatan jiwa), masih ada perlakuan seperti ini.”[28]

Diskriminasi tidak akan pernah menolong orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental/gangguan kejiwaan, karena hal tersebut justru membuat mereka menarik diri dari masyarakat. Mereka bisa menjadi antisosial dan lebih nyaman hidup dengan dunianya sendiri. Sehingga kondisinya justru akan semakin buruk dari waktu ke waktu.

Kita sebagai warga masyarakat di manapun berada, seharusnya tidak secara serampangan melabelkan istilah sakit jiwa, gila, edan, dan semacamnya. Dalam kapasitas apakah kita bisa dengan mudahnya mengatakan si A gila, si B tidak waras, si C sakit jiwa, si D stress,  si F kelainan, dan sejenisnya? Apakah kita adalah seorang psikiater (ahli jiwa)? Ada orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kepakaran apapun dalam ilmu jiwa, hanya berdasarkan ilmu “pe-de” dan ke-ngawuran-nya, lantas menstigma orang lain dengan sebutan sakit jiwa, tidak waras, gila, kelainan, dan sebagainya. Seorang psikolog dan psikiater saja pasti akan dengan sangat hati-hati (berdasarkan keilmuannya) ketika menetapkan diagnosa bahwa seorang pasien positif mengidap kelainan, penyimpangan, atau gangguan mental (kejiwaan).

Stigmatisasi gangguan/sakit jiwa yang dengan sangat mudahnya dilabelkan dalam lingkungan sosial masyarakat adalah sesuatu yang kejam dan justru bisa memperparah keadaan karena membuat orang yang merasakan bahwa dirinya memiliki gejala kelainan atau penyimpangan kejiwaan merasa takut untuk mengakui bahwa dirinya sakit dan tidak menerima kenyataan bahwa dirinya sakit sehingga tidak segera datang ke psikolog atau bahkan ke psikiater agar bisa mendapatkan pertolongan yang tepat untuk gejala sakit atau penyimpangannya. Ia merasa takut akan dikucilkan, takut tidak diterima di lingkungan masyarakatnya (bahkan oleh keluarganya sendiri), juga takut akan menjadi bahan ejekan, olok-olokan, dan gunjingan kalau orang lain sampai tahu bahwa ia memiliki kelainan atau penyimpangan. Sehingga hal tersebut akan berdampak buruk terhadap dirinya sendiri, gejalanya semakin hari semakin parah. Ia akan semakin tenggelam dalam penyakit dan penyimpangannya karena tidak mendapatkan terapi atau pertolongan yang tepat sesuai kebutuhannya. Akibatnya, begitu gejalanya sudah parah sehingga orang-orang di sekelilingnya bisa menyadari adanya ketidakberesan pada dirinya, maka pertolongan itu sudah terlambat, terapi pun menjadi sangat berlarut-larut. Oleh karena itu, kita sebagai sesama warga masyarakat bisa berbuat hal-hal bermanfaat untuk ikut membantu warga masyarakat lain yang memiliki masalah dengan kesehatan mental/jiwanya dengan menahan lidah agar tidak mengucapkan stigma-stigma tanpa dasar kelimuan.

Kadangkala seseorang yang merasakan jiwanya sehat memandang rendah kepada orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental/jiwa, kemudian dengan entengnya mengatakan si A sakit jiwa, tidak waras. Padahal orang yang suka merendahkan orang lain adalah orang yang sombong dan takabur. Kesombongan sendiri juga merupakan penyakit jiwa yang bisa menghancurkan diri sendiri. Artinya, orang berpenyakit jiwa teriak sakit jiwa.

Maka, sebisa mungkin kita hilangkan budaya gampang memberi stigma sakit jiwa, tidak waras, gila, dan sebagainya kepada orang lain, karena kita pun juga harus menengok ke dalam jiwa kita sendiri apakah kita ini sudah benar-benar bebas dari segala macam penyakit jiwa. Apakah kita sudah bebas dari penyakit jiwa iri, dengki, hasud, takabur, sombong, dan sebagainya. Jangan sampai kita dengan percaya diri memberikan stigma sakit jiwa kepada orang lain padahal kita sendiripun mengidap salah satu penyakit jiwa tersebut. Janganlah menjadi si berpenyakit jiwa teriak sakit jiwa kepada orang lain. Lebih baik menjadi jiwa yang sehat yang ikut membantu menyehatkan jiwa orang lain, agar hidup bisa bermanfaat untuk orang lain.

Selamat Hari Kesehatan Jiwa 2015!

 

Seluruh materi dalam artikel ini boleh digunakan dengan mencantumkan sumbernya secara jelas. Mulai menjadi jiwa yang sehat dari diri sendiri. Jadilah penulis yang amanah dengan tidak mencuri hasil pikiran dan tulisan orang lain. Karena mencuri adalah salah bentuk penyakit jiwa yang berbahaya. Mari kita menjadi penulis berjiwa sehat, karena penulis berjiwa sehat akan membuat kita menjadi penulis yang bermartabat.

 

Artikel ini juga dipublikasikan di Blog Pribadi Penulis.



[1] Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. CV. Haji Masagung. Jakarta. Cet. XV, 1989. hlm. 24

[2] Ancok, Djamaludin., dan Fuad Nashori Suroso. Psikologi Islami Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Cet. II, 1995. hlm. 91

[3] Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. Op.Cit., hlm. 56

[4] Ibid., hlm. 24

[5] Quraish Shihab, Muhammad. Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Cet. XI, 2000. hlm. 189

[6] Penyakit: maksudnya adalah penyakit batiniah kekafiran, kemunafikan, keragu-raguan, was-was, dan sebagainya

[7] Fahmi, Musthafa. As-Shihah An-Nafsiyah fil Usrati wal Madrasati wal Mujtama’i. terj. Zakiah Daradjat. Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat. Bulan Bintang. Jakarta. Jilid II, Cet. I, 1977. hlm. 58-59

[8] Kanfer, Frederick H., and Arnold P. Goldstein. Helping People Change: A Textbook of Methods (4th ed.). New York. Pergamon Press. 1991.

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler