x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Konsumsi Rokok Penduduk Indonesia yang Mengkhawatirkan

Tingginya konsumsi rokok masyarakat Indonesia tentu saja amat merisaukan. Pasalnya, ongkos yang harus dibayar akibat dampak buruk yang ditimbulkan oleh kon

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Statistik konsumsi rokok dunia pada 2014 kembali meneguhkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara konsumen rokok terbesar sejagat. Sepanjang tahun lalu, konsumsi rokok dunia mencapai 5,8 triliun batang, 240 miliar batang (4,14 persen) di antaranya dikonsumsi oleh perokok Indonesia. Angka konsumsi rokok ini menempatkan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi rokok terbesar ke empat dunia setelah China (2,57 triliun batang), Rusia (321 miliar batang), dan Amerika Serikat (281 miliar batang) (Koran Tempo, 30 September).

Statistik konsumsi rokok masyarakat Indonesia tersebut nampaknya sejalan dengan tingginya prevalensi merokok di tanah air. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2011 memperlihatkan bahwa jumlah pengguna tembakau, baik berupa rokok maupun penggunaan lainnya tanpa asap (smokeless form), mencapai 61 juta orang atau mencakup sekitar 36 persen dari total penduduk Indonesia. 

Tingginya konsumsi rokok masyarakat Indonesia tentu saja amat merisaukan. Pasalnya, ongkos yang harus dibayar akibat dampak buruk yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok sangat mahal. Di negeri ini, kebiasaan merokok telah membunuh 225 ribu orang setiap tahun. Sementara itu, lebih dari 97 juta masyarakat Indonesia—yang bukan perokok—saban hari terpapar asap rokok sehingga berisiko menderita berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh asap rokok, yang konon mengandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada saat yang sama, biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk berbagai penyakit yang dikaitkan dengan penggunaan tembakau mencapai Rp11 triliun setiap tahun. Sementara itu, data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan meski penerimaan cukai rokok mencapai 55 triliun pada 2010, pengeluaran makro akibat rokok justru mencapai Rp245,41 triliun, yang mencakup pembelian rokok dari masyarakat (Rp138 triliun), hilangnya produktivitas akibat cacat di usia muda (Rp105,3 triliun), dan pengeluaran untuk perawatan medis (Rp2,11 triliun). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh rokok lebih besar ketimbang manfaat ekonomi yang dihasilkan.

Porsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga perokok juga cukup dominan sehingga mengurangi porsi pengeluaran untuk kebutuhan yang esensial dalam pengembangan derajat kapabilitas masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan asupan protein. Pada 2005, misalnya, pengeluaran untuk produk tembakau—termasuk rokok— mencapai 11,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga perokok, lebih tinggi dari pengeluaran untuk pendidikan (3,2 persen), kesehatan (2,3 persen), serta sumber asupan protein seperti ikan, daging, dan susu (11 persen). Celakanya, sebanyak 68 persen rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk rokok (Susenas, 2009)

Prevalensi merokok pada penduduk kelompok usia muda juga sangat tinggi. Hasil Global Youth Tobacco Survey 2014 menunjukkan bahwa 19 persen penduduk pada kelompok umur 13-15 tahun adalah perokok. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan dalam jangka panjang akibat kebiasaan merokok pada penduduk usia muda merupakan potensi yang hilang (potential loss).

Persoalan semakin pelik karena prevalensi merokok pada masyarakat miskin ternyata juga sangat tinggi. Hal itu tercermin dari tingginya pengeluaran penduduk miskin yang dialokasikan untuk membeli rokok.  Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sumbangan pengeluaran untuk rokok  terhadap garis kemiskinan menempati posisi kedua setelah pengeluaran untuk beras.

BPS mencatat, pada Maret 2015, kontribusi pengeluaran untuk rokok terhadap garis kemiskinan mencapai 8,24 persen di perkotaan dan 7,07 persen di pedesaan, jauh lebih tinggi dibanding kontribusi pengeluaran untuk pendidikan yang hanya sebesar 2,46 persen di perkotaan dan 1,39 persen di pedesaan. Itu artinya, masyarakat miskin negeri ini lebih banyak menghabiskan uang untuk rokok ketimbang urusan pendidikan.

Ironisnya, meski dampak buruk konsumsi tembakau/rokok sudah sangat jelas, belakangan ini sejumlah wakil rakyat di parlemen justru mendorong legalisasi rokok kretek sebagai  warisan budaya yang harus dilestarikan dan dipromosikan agar tidak hilang ditelan zaman.

Wacana untuk memasukkan pasal kretek dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan sebagai bagian dari budaya nasional yang harus dilestarikan tentu saja kontraproduktif dengan upaya pemerintah yang sedang serius mengendalikan produk tembakau sesuai amanat Undang-Undang Kesehatan 2009. Jika pasal kretek jadi diundangkan, tingkat konsumsi rokok masyarakat bakal sulit ditekan. Pasalnya, sekitar 90 persen perokok Indonesia menggunakan rokok kretek.

Kita mafhum bahwa industri rokok  memiliki kontribusi yang tidak sedikit terhadap perekonomian, baik dari sisi penerimaan cukai rokok maupun penyerapan tenaga kerja. Bahwa budidaya tanaman tembakau melibatkan banyak rumah tangga. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan  total jumlah rumah tangga tembakau mencapai 817,01 ribu rumah tangga. Kita paham pula bahwa bagi masyarakat Indonesia, mengkonsumsi rokok kretek merupakan tradisi turun temurun yang telah berlangsung lama, meskipun eksistensinya sebagai warisan budaya bangsa yang putut dilestarikan masih harus diperdebatkan.

Namun demikian, mengingat total kerugian yang ditimbulkan sangat besar, sudah semestinya semua elemen negeri ini memiliki komitmen yang kuat dan serius dalam menekan konsumsi rokok masyarakat. Hal tersebut harus diwujudkan melalui regulasi yang ketat maupun kampanye tentang bahaya rokok yang lebih intensif, bukan malah melegalkan bahkan mempromosikan rokok sebagai bagian dari budaya bangsa yang harus dilestarikan. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB