x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merayakan Kematian Kucing?

Seandainya kucing hutan bukan hewan langka dan dilindungi secara hukum, tetapkah ia menyembelih dan menyantap kucing itu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melihat foto kucing hutan menggantung di tangan kiri dan kanan seorang mahasiswi, disertai posting kata-kata ‘Hasil berburu hari ini... Nyam... Nyam’, saya langsung tercenung: “Apa yang terjadi dengan nurani kemanusiaan kita?”

Dalam hemat saya, penyembelihan kucing hutan untuk disantap bukanlah semata-mata masalah legal bahwa kucing hutan tergolong hewan langka dan dilindungi. Seandainya kucing hutan bukan hewan langka dan dilindungi secara hukum, tetapkah ia menyembelih dan menyantap kucing itu?

Banyak hewan yang secara ekologis sangat diperlukan untuk menjaga kesetimbangan alam tempat kita (baca: manusia!) hidup. Kucing hutan, burung elang, dan sebutkanlah nama-nama lain, dibutuhkan agar kita tidak hidup merana di atas Bumi. Sejak lama, kita manusia sudah terbiasa memakan daging sapi (sebagian masyarakat tidak menyantapnya), domba, ayam, maupun ikan; tetapi kucing? Tidakkah hewan-hewan yang lain mencukupi? Bahkan, kaum vegetarian menolak menyantap daging.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sungguh, ini bukan perkara legalitas semata, melainkan ihwal nurani kemanusiaan kita: apakah sudah demikian tipis sehingga kita sanggup menyembelih kucing? Belum terhapus dari ingatan, seekor kucing ditembak karena ‘mencuri’ lauk di atas meja. Dan kini, seperti dilaporkan tempo.co, pemuda di beberapa kota memamerkan di media sosial foto diri mereka dengan kucing yang telah disembelih dan dikuliti.

Di balik aura mistisnya yang begitu memesona, kucing sesungguhnya telah menjadi sahabat manusia sejak purba—penggalian di Cyprus memperlihatkan bahwa kucing telah menjadi teman manusia sejak 7.500 SM. Bangsa Mesir kuno memperlakukan kucing sebagai hewan suci penjelmaan Dewi Bast. Sedemikian dianggap suci sehingga bila ada manusia yang berani membunuh kucing, ia akan dihukum mati.

Kucing yang lucu, gesit, terkadang terlihat malas, dengan matanya yang berbinar, dan menguarkan aura mistis di waktu malam telah disembelih dan disantap. Atas nama apa? Keberanian? (dan karena itu foto-fotonya dipamerkan di media sosial) Kelaparan (situasi darurat karena tidak ada makanan lain, rasanya tidak bukan)? Keisengan? (alangkah sukar dicerna akal sehat).

Tak ada dalam sejarah manusia upacara pengorbanan kucing, kecuali oleh mereka yang memuja kegelapan. Kucing hitam. Malam. Tapi apakah mereka yang menyembelih dan menyantap kucing tengah melakukan upacara pengorbanan? Rasanya tidak, sebab di sana ada senyum dan tawa.

Barangkali, ya barangkali, itu lebih sebuah pertanda perihal kepekaan kemanusiaan kita yang semakin tipis. Ya, ini bukanlah perkara bahwa kita tidak tahu bahwa menyembelih kucing hutan adalah tidak legal karena kucing hutan hewan langka. Ini lebih dikarenakan menipisnya rasa kemanusiaan kita. Kita memilih secara sadar untuk memamerkan penyembelihan kucing di media sosial seakan sebuah bentuk perayaan. Dengan kegembiraan, senyum, tawa, dan gestur ajakan “Ayo, lihatlah...!”

Potret diri yang dipublikasikan ulang oleh media online itu menjadi gambar yang mengundang rasa takut dan cemas meski di sana ada senyum. Bukan, bukan meski ada senyum, melainkan justru karena ada senyum, rasa ngeri itu semakin mengiris--bayangkan, di samping foto tertera kata-kata “Nyam.. nyam..” Sebuah perayaan kematian? (foto: tempo) ***

 

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler