x

Iklan

Mustam Arif

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

PLTA Seko, Benturkan Masyarakat dengan Aparat

Pemerintah Daerah Luwu Utara keliru melibatkan aparat Brimob untuk 'membacking' PT Seko Power Prima, investor pembangunan PLTA berhadapan dengan masyarakat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PEMERINTAH Kabupaten Luwu Utara keliru melibatkan aparat Brimob untuk 'mem-backing' PT Seko Power Prima, investor pembangunan PLTA berhadapan dengan masyarakat lokal Seko. Ini cara lama, semakin meruncingkan konflik yang rentan tindak kekerasan terhadap masyarakat. 

Dengan alasan dihalangi masyarakat, PT Seko Power Prima (SPP) dikawal aparat Brimob melakukan survey. Pengarahan aparat ini dilakukan 20 Oktober 2015. Memperoleh informasi aparat keamanan ke Seko, masyarakat berkumpul untuk menolak rencana tersebut.

Sesuai informasi, PT SPP adalah investor asal Tiongkok berkolaboraasi dengan investor Indonesia. Proyek ini akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 480 megawatt di dataran tinggi 1800 meter dpl itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Informasi terakhir dari Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, Bata Manurun Tandigau, Sabtu (24/10/2015) siang, aparat keamanan sudah kembali ke Masamba, ibukota Kabupaten Luwu Utara. Negosiasi yang dilakukan pihak pemerintah daerah, aparat keamanan dan dan PT SPP, konon tidak mencapai kesepakatan dengan masyarakat.

Penolakan masyarakat adat di Kecamatan Seko, Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan terhadap pembangunan PLTA di Seko dilakukan masyarakat sejak awal. Akhir 2014, DPRD Luwu Utara menggelar dialog parapihak yakni Pemkab Luwu Utara, PT SPP dan masyarakat adat di Seko. Dalam dialog itu, masyarakat tetap menolak pembangunan PLTA karena mereka menilai Pemkab tidak transparan dalam rencana proyek PLTA ini. Sementara PT SPP saat itu belum memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

Masyarakat adat Seko juga menegaskan rencana pembangunan sepihak dari pemerintah daerah dan PT SPP ini justru melanggar Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2004 tentang Pelestarian Lembaga Adat di Luwu Utara. Selain itu juga mengabaikan SK Bupati Luwu Utara No. 300 Tahun 2004 tentang Pengakuan Masyarakat Adat Seko. Apalagi, sesuai informasi, berbagai ketetapan tidak melibatkan masyarakat adat atau tidak memenuhi ketentuan adat yang dikehendaki. Masyarakat juga menilai proyek ini minim sosialisasi.

Namun, pihak investor kemudian menyosialisasikan Amdal proyek ini pada Januari 2015. Ternyata ada dua perusahaan yang mengerjakan PLTA ini. Selain PT SPP, juga PT Seko Power Prada. Seko Prima akan membendung lokasi di dua desa yakni Desa Embonatana dan Desa Tanamakaleang. Sementara Seko Prada mengambil lokasi di Desa Mallimongan.

Pembangunan PLTA ini juga akan membendung sungai dengan ketinggian 15 sampai 17 meter. Juga membangun terowongan berdiameter 8×8 meter sepanjang 12 kilometer dengan kedalaman mencapai 40 meter.

Sejak awal masyarakat menilai rencana pembangunan PLTA ini terkesan dipaksakan mesti mendapat penolakan masyarakat. Kejaksaan Negeri Luwu Utara pada awal tahun 2015 ini bahkan berencana mengusut proyek ini. Kejari Luwu Utara mengendus dugaan gratifikasi diterima Pemkab Luwu Utara dari PT SPP. Gratifikasi itu berupa biaya perjalanan studi banding sejumlah pejabat terkait di Pemkab Luwu Utara ke Tiongkok, yang dibiayai PT SPP. Namun rencana pengusutan tersebut kemudian kurang jelas kelanjutanya.

Penolakan masyarakat Seko terhadap pembangunan PLTA bukan tanpa alasan. Bukan hanya mengusik dan mendegradasi kearifan dan pengetahuan lokal, nilai-nilai sosial dan sumber penghidupan turun-temurun di kawasan dataran tinggi Tokalekaju. Tetapi, mereka punya keyakinan, banyak pengalaman, bukan hanya di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia. Bahwa, investasi atas nama kemakmuran yang dibangun sepihak, lebih pada memenuhi hasrat pemerintah dan korporasi. Muaranya menyingsarakan masyarakat terutama masyarakat lokal setempat. Tidak tertutup kemungkinan, sepanjang hidup, masyarakat setempat bukan hanya miskin, tetapi didera konflik horisontal berkepanjangan.

Masyarakat adat Seko juga menyinalir proyek PLTA ini merupakan pintu awal untuk mengeruk sumber daya alam Seko dari potensi tambang, hutan yang tersisa, keanekragaman hayati, dan lain-lain, mengabaikan daya dukung ekologis. Jika itu terjadi, kerusakan lingkungan dan sosial bisa dituai.

Dampaknya bukan hanya memiskinkan masyarakat Seko, tetapi juga masyarakat di tiga provinsi, selain Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Dataran tinggi Seko, bagian dari kawasan tinggi Tokalekaju mengemban daya dukung ekologis yang tepat di ''jantung'' Sulawesi. Dataran tinggi Tokalekaju menjadi ''menara air'' yang mesti dipelihara untuk menyuplai kemakmuran kepada sebagian masyarakat di Sulsel, Sulteng, dan Sulbar di masa kini dan akan datang.

Siapa bilang masyarakat Seko menolak investasi? Siapa bilang masyarakat Seko menolak pembangunan? Sepanjang pembangunan investasi itu benar-benar juga memakmurkan mereka. Mereka tidak mau, seperti terjadi di banyak tempat, masyarakat lokal yang sepanjang masa menjaga dan melestarikan sumber daya alam, tapi gilirannya mereka justru jadi miskin dan menuai kesingsaraan, kekerasan, dan penderitaan lewat konflik tak berujung. Kemakmuran justru dinikmati oleh orang di tempat lain.

Masyarakat adat Seko butuh pembangunan, tetapi pembangunan yang memakmurkan, bukan menyingsarakan. Justru itu prinsip global yang disepakati sebagai jaminan hak atas wilayah adat lewat persetujuan pembangunan bebas tanpa paksaan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) tidak bisa diabaikan.

Mengabaikan Pembelajaran

Pemerintah Kabupaten Luwu Utara tampaknya mengabaikan pembelajaran di berbagai tempat. Belum bisa membangun pendekatan kompromistis yang manusiawi. Akhirnya, menempuh jalan pintas dengan pendekatan represif, yang menghadapkan aparat negara dengan masyarakatnya sendiri, demi, sekali lagi... demi investasi.

PT SPP dan PT Seko Power Prada juga mengabaikan pengalaman dan pembelajaran di berbagai tempat. Bukan lagi zamanya bisa 'membeli' penguasa dan aparat negara untuk memuluskan bisnis. Jangan lagi bermimpi menanam investasi dan memetik keuntungan bebas hambatan, jika melalaikan harmoni dengan manusia di sekitarnya.

Brimob sebagai aparat negara yang diandalkan mengayomi masyarakat, juga mungkin enggan belajar dari pengalaman di berbagai tempat. Demikian masih memelihara pola lama yang masih mau menjadi 'alat' investasi berhadapan dengan masyarakat, yang mestinya diayomi. Pernyataan Kabid Humas Polda Sulselbar di media massa tidak substantif, hanya normatif dan masih dengan cara lama yang cenderung mengambinghitamkan masyarakat dan LSM, dengan kata ''segelintir''.

Kita berharap, Pemkab Luwu Utara, PT SPP, Polda Sulselbar dan berbagai pihak terkait, duduk bersama mengarifi masalah ini dengan bijak. Dalam jangka panjang, kita tentu tidak menginginkan masyarakat Seko menjadi korban pembangunan seperti di banyak tempat, di Indonesia maupun di berbagai belahan bumi ini. Dalam jangka pendek, masyarakat Luwu Utara butuh suasana kondusif menghadapi Pilkada.* mustam arif

Ikuti tulisan menarik Mustam Arif lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler