x

Iklan

yswitopr

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Meneropong Wisata Syariah

Konsep wisata syariah hanya bisa diterapkan dalam suatu tempat tertentu dan tidak bisa diterapkan dalam sebuah tempat yang majemuk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika membuka jejaring sosial facebook, saya sedikit terkejut dengan sebuah meme gerakan menolak wisata syariah di Bali. Keterkejutan itu membuat saya tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai apa dan bagaimana wisata syariah hendak dikembangkan.

Rupanya,  wisata syariah sudah diperkenalkan sejak tahun 2000an. Ketika mendengar kata itu, saya membayangkan sebuah konsep wisata rohani. Wisatawan berkunjung, mendalami, dan menyelami nilai-nilai rohani suatu tempat yang bernuansa rohani (dalam konteks ini: bernuansa islami, misalnya Masjid atau peninggalan sejarah yang bernuansa Islam). Berziarah pun masuk dalam kategori wisata rohani.

wisata rohani

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah wisata syariah bergerak pada area seperti yang yang saya pahami itu? Di sinilah persoalan akan muncul. Sebuah pertanyaan mendasar, wisata syariah menjadi sebuah taggline atau membutuhkan sebuah karakter dan aspek-aspek penunjang. Ketidakjelasan atas konsep ini hanya akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.  

Membaca kata wisata syariah, maka pikiran kita akan tergiring pada kata syariah dan bukan kata wisata. Akibatnya, kita akan berpikir mengenai syarat dan aspek syariahnya. Misalnya, kegiatan-kegiatan wisata harus selaras dengan nilai-nilai Islam. Sementara, ada banyak kegiatan-kegiatan penunjang wisata yang erat berkaitan dengan tradisi dan warisan leluhur yang, jika tidak hati-hati, bisa bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya jathilan. Bagi beberapa orang, jathilan adalah tontonan budaya yang menarik. Bagi sebagian yang lain, jathilan bisa dinilai melanggar nilai agama karena berhubungan dengan roh-roh halus.

bisa diperdebatkan: sesuai syariah atau tidak?

Ketika sebuah tempat ditetapkan sebagai daerah wisata syariah, haruskah disediakan tempat-tempat khusus bagi wisatawan Muslim untuk melakukan kegiatan agama? Masjid misalnya. Jika jawabannya iya, bagaimana jika Bali ditetapkan sebagai daerah wisata syariah? Haruskah di setiap tempat wisata dibangun Masjid? Jika iya, bagaimana jika masyarakat sekitar ada yang menolak? Diberlakukan aturan wisata syariah atau SKB dua menteri?

Saya tidak membayangkan jika konsep wisata syariah memasuki juga ranah nilai. Saya tidak membayangkan jika sarana-sarana transportasi terbagi menjadi dua bagian. Ada tempat duduk untuk laki-laki dan ada tempat duduk untuk perempuan. Dan ketika sampai di pantai Kuta misalnya, pengunjung laki-laki terpisah dengan pengunjung perempuan. Memang ada klausul boleh kalau muhkrimnya. Namun, saya tidak bisa membayangkan betapa sibuknya para petugas ketika harus mengecek satu persatu pada pengunjung yang datang.

haruskah ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan?

Konsep wisata syariah hanya bisa diterapkan dalam suatu tempat tertentu dan tidak bisa diterapkan dalam sebuah tempat yang majemuk. Semakin sempit lokasinya, semakin mudah konsep ini diterapkan. Semakin luas lokasinya, semakin susah dilaksanakan sebab akan ada pertentangan nilai-nilai agama. Belum lagi, potensi penyelewengan atas konsep itu pada tataran praksis. Karena sebuah kabupaten atau propinsi sudah ditetapkan sebagai daerah wisata syariah lalu muncul tekanan untuk ini dan itu.

Mengembangkan potensi wisata kiranya lebih tepat, ketimbang terjebak dalam sebuah kosnep yang bisa menimbulkan persoalan di kemudian hari. Indonesia teramat kaya dengan aneka potensi wisata, baik itu wisata yang sifatnya umum maupun khusus (berkaitan dengan nilai-nilai agama). Potensi-potensi itu mengundang tangan-tangan yang siap membangunnya menjadi sebuah destinasi wisata yang mengundang banyak orang datang.  

Ikuti tulisan menarik yswitopr lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler