x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Sukar Meminta Maaf

Banyak figur publik enggan meminta maaf kendati kesalahannya sudah terang-benderang. Mengapa begitu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"It takes a great deal of character strength to apologize quickly out of one's heart rather than out of pity."
--Stephen Covey (1932-2012)

 

Tidak ada manusia yang sempurna. Siapapun pernah berbuat salah, sengaja ataupun tidak. Tapi mengapa kita begitu sukar untuk meminta maaf? Apa yang mengganjal dalam hati kita atau benak kita sehingga kita terkesan enggan menyampaikan permintaan maaf?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kebanyakan kita memandang permintaan maaf sebagai kesempatan untuk menyelesaikan konflik interpersonal agar tidak berlarut-larut. Tapi, ada pula yang cemas bahwa permintaan maaf mereka hanya akan membuka datangnya banjir tuduhan. Begitu mengaku salah, orang lain memakai kesempatan ini untuk menyerang.

Terdapat banyak alasan yang dapat disampaikan, tetapi alasan-alasan ini patut direnungkan lebih dalam: apakah benar karena alasan ini kita tidak bersedia meminta maaf?

Sebagian orang barangkali beranggapan bahwa meminta maaf berarti mengakui bahwa kita salah, padahal kita enggan disebut bersalah. Watak non-apologis ini sebenarnya berlawanan dengan sifat dasar manusia yang mungkin berbuat salah. Tidak pernah manusia itu selalu benar.

Sebagian lainnya memilih untuk tetap menolak meminta maaf sebagai cara untuk berkelit. Sebab, menurut mereka, jika tidak ada permintaan maaf berarti tidak ada pengakuan bersalah, dan selanjutnya tidak perlu ada pertanggungjawaban. Menghindari tanggungjawab dari suatu kesalahan adalah alasan untuk menolak meminta maaf.

Permintaan maaf juga mengandung relasi kuasa. Ini terutama berlaku bagi orang-orang yang melihat hubungan antarmanusia selalu sebagai relasi kuasa. Bagi orang-orang ini, meminta maaf akan membuat ia merasa berada dalam bahaya sebab ia berpotensi kehilangan jabatan, status, dan kekuasaan. Ia was-was. Karena itulah, banyak pejabat tidak bersedia meminta maaf apabila berbuat kesalahan. Sekali lagi, ia akan berkelit atau menempatkan diri sebagai korban.

Di sisi lain, meminta maaf juga dianggap oleh sebagian orang sebagai pertanda kelemahan. Ini perkara ego dan gengsi. Meminta maaf dianggap sama saja dengan merendahkan diri sendiri dan mengangkat derajat orang lain. Meminta maaf dipandang sama dengan menempatkan diri sebagai ‘pecundang’, sementara yang memberi maaf sebagai ‘pemenang’. “Bagaimana mungkin saya meminta maaf?” begitu kira-kira argumennya.

Mungkin pula ada kekhawatiran bahwa dengan mengaku bersalah, kita seakan-akan menyediakan lebih banyak lagi amunisi kepada orang lain untuk menyerang kita. Ini menyebabkan orang lain tak lagi menaruh hormat kepada kita. Benarkah begitu? Dalam sudut pandang non-apologis, memang begitu. Dalam pandangan mereka, meminta maaf berarti menempatkan diri sebagai pesakitan, bukan sebentuk pengakuan bahwa sebagai manusia siapapun dapat berbuat khilaf.

Banyak orang bijak berkata bahwa meminta maaf itu memang tidak muda, tapi bila dilakukan dengan benar dan tulus, hasilnya akan sangat baik dan menyembuhkan, bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Sayangnya, lebih banyak orang memandang permintaan maaf dalam konteks relasi kuasa antara pecundang dan pemenang. Diperlukan karakter kuat dan kesederhanaan untuk mampu meminta maaf. (sumber ilustrasi: kellydiels.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB