x

Iklan

Pungkit Wjaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dedi Mulyadi: Strategi Kebudayaan untuk Ketahanan Ekonomi

Ekonomi Sunda berlandaskan kebudayaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, menilai usaha kebangkitan manusia Indonesia harus memakai pendekatan atau strategi budaya. Revolusi kebudayaan menurutnya menjadi sangat penting bagi bangsa Indonesia karena melalui budaya itulah etos dan etik manusia Indonesia akan terbangun, menemukan jati dirinya dan punya arah untuk bergerak membangun peradaban dalam kebersamaan.

“Karena itu saya melihat pentingnya nilai-nilai lokal. Lokalitas yang arif, lokalitas yang bernilai tinggi dan beradab kita serap sebagai kepemilikan kita, untuk kita dan dijadikan pijakan gerak hidup dalam kehidupan nasional di era global,” terangnya, di Pendopo Kabupaten Purwakarta, Kamis (14/1/2016).

Bupati yang juga Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Purwakarta ini melihat, ada evolusi panjang dalam transformasi kehidupan sosial dan selama proses evolusi tersebut jati diri manusia Indonesia tercabik-cabik karena tidak memiliki semangat bersandar pada kearifan lokal. Ia melihat visi kebangsaan dari sisi lokalitas Nusantara itu harus bangkit dari keterikatan manusia dengan unsur lingkungan hidup, yaitu tanah, air, matahari dan air.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Semuanya adalah hayat dalam artinya memiliki semangat untuk hidup dan berkembang secara laras. Tanah harus dihidupkan, dirawat, dijaga dan tidak boleh dirusak. Demikian juga dengan air dan matahari. Semua harus dipelihara secara baik. Ekonomi itu hidup dan harus dihidupkan, tidak boleh saling membunuh. Semuanya dalam ilmu biologi disebut simbiosis mutualisma. Karena semua hayat maka semua hidup, tanah hidup, air hidup, matahari hidup. Yang hidup ini yang nantinya akan melahirkan kehidupan untuk bertahan,” jelasnya berargumentasi.

 
Strategi Kearifan Lokal Sunda Dedi Mulyadi menilai, produktivitas ekonomi, termasuk produktivitas aktivitas manusia dalam ruang lingkup kebudayaan nasional harus segera ditingkatkan agar tidak ketinggalan zaman, terlebih lagi sekarang sudah masuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Lebih spesifik melihat kearifan lokal sebagai mesin kebudayaan, Dedi Mulyani juga menyampaikan sisi kearifan lokal Sunda yang bisa menjadi modal sosial.
 
“Orang Sunda itu punya kearifan terhadap lingkungan. Ekonomi yang baik juga senantiasa memperhatikan lingkungan. Orang Sunda itu merumuskan ekonomi itu sangat mudah. Bru dijuru bro dipanto, ngalayah di tengah imah, gucir leuit loba duit. Artinya apa? Produktivitas harus terlebih dahulu ditingkatkan, nanti ada dampak duit, itu akan melahirkan duit, duit mah babari (gampang),” ujarnya.
 
Dalam pandangan Dedi, kearifan lokal Sunda bernilai filosofis strategis. Ia ambilkan contoh salahsatunya dari istilah bahwaleuit (dapur) sebagai pusat ekonomi strategis untuk pengembangan masyarakat Sunda karena menurutnya leuit adalah simbol kekuatan ekonomi keluarga.
 
“Kenapa saya ngomong leuit? Ini ekonomi strategis. Saya katakan, bohong kalau duit bisa menjamin kesejahteraan. Lihat negara yang makmur. Penghasilan minyak mereka luar biasa, rakyatnya serba free, sejahtera luar biasa hadapi, tetapi mereka hancur. Kenapa? Dia tak punya cadangan makanan, tidak punya buah-buahan, tidak punya gandum, dia tak punya produktivitas pertanian,” terangnya. Ketika negara makmur itu diembargo, menurut Dedi, otomatis duit tidak memiliki nilai jual. Sebab, sekalipun ada duit, tetapi barangnya tidak ada, otomatis transaksi tidak akan berjalan. Misalnya, negeri Belanda dan Singapura yang hanya mengandalkan jasa pelayanan saja, sementara di Indonesia lahan yang luas dan sumber daya alam yang melimpah serupa sura untuk sarana produksi.
 
Namun menurut Dedi Mulyadi, kekayaan sumberdaya alam tersebut tidak otomatis menjadi berkah jika tidak dikelola secara baik. Karena itu ia mendorong agar ada sikap kewargaan yang partisipatif agar masyarakat tidak melulu bergantung pada negara. “Kita menghadapi problem kemandirian. Selama ini rakyat terus bergantung kepada Negara. Kesehatan bergantung kepada negara, pendidikan beragntung kepada negara, infrastruktur bergantung pada negara. Karena faktor itulah kemudian kita harus menggulirkan kemandirian melalui prinsip kebudayaan dalam konteks ekonomi yang saya sebut ketahanan ekonomi. Ketahanan ekonomi harus tumbuh dalam keluarga,” terangnya.
 
Dari kebudayaan yang arif seperti falsafah leuit itulah Dedi berharap akan tumbuh ketahanan ekonomi. Kalau ekonomi individu kuat, keluarga kuat. Kuatnya ekonomi keluarga akan melahirkann kekuatan ekonomi warga. “Dengan itu kelas menengah masyarakat kita makin tangguh, dan kemajuan di bidang lain akan lebih mudah diwujudkan,” terangnya.

Ikuti tulisan menarik Pungkit Wjaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler