x

Warga mengikuti Upacara bendera dalam HUT RI ke-70 di permukaan Kalianyar yang mengering, Surakarta, Jawa Tengah, 17 Agustus 2015. 17 Agustus 2015. Walau warga tidak mengenakan seragam tertentu dalam upacara tersebut, tetapi upacara tetap berjalan de

Iklan

Ali Damsuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kemerdekaan, Paradigma Al-Ghalayini

Kita memang sudah merdeka dari penjajahan secara fisik, tapi sebetulnya masih terbelenggu oleh penjajahan yang bersifat nonfisik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gegap_gempita penyambutan Hari Kemerdekaan  17 Agustus, menjadi momen besar bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, kebebasan penuh secara universal telah diraih oleh Indonesia  dengan perjuangan yang tak henti-hentinya saat masa penjajahan berlangsung. Kemerdekaan menjadi peristiwa yang memilki nilai simbolik tinggi dan mengnadung makna sejarah dalam suatu bangsa. Tepat 17 agustus 1945, sebagai awal menuju tatanan nasib suatu negara ke depannya. Itu dapat dijadikan sebagai bukti, bahwasanya Indonesia mampu keluar dari paradigma ‘negara yang terjajah’ selama berabad-abad. Dengan lahirnya Hari Kemerdekaan, setidaknya mampu menjadikan Indonesia setara dengan negara-negara lainnya. Yang notabenenya, telah merdeka terlebih dahulu daripada Indonesia.

Manusia sebagai Insan yang memiliki kemerdekaan secara kodrati, tentunya mampu keluar dari paradigma yang ditanamkan oleh para penjajah Eropa. Baik secara individual amaupun secara kolektif. Akan tetapi, kemerdekaan Indonesia tentunya memerlukan kerja kolektif untuk merebutnya dari tangan penjajah. Sebenarnya, kemerdekaan merupakan  kenikmatan yang maha besar dan tidak bisa dirampas begitu saja dari suatu bangsa, kecuali dengan adanya sebab-sebab yang memungkinkan terjadinya perampasan kemerdekan itu. Sebab-sebabnya memang banyak, tapi yang paling berbahaya adalah ketidaktahuan tentang arti kemerdekaan. Karena percuma merdeka bila tidak tahu apa arti sebenarnya dari merdeka itu sendiri. Akibatnya akan kembali terjajah. Maka dari pada itu, tidak dapat dinafikan usaha pemahaman sejarah perjalanan bangsa merupakan bagian integral, tak terpisahkan dari upaya untuk memaknai kembali nilai-nilai kemerdekaan suatu bangsa dalam konteks perubahan zaman yang terus berlangsung.

Dalam bukunya Al-Ghalayini ‘Idhatun Nasyi’in’ menjelaskan bahwasanya kemerdekaan itu ada empat macam. Hurriyah Fardi, Hurriyah Jamaah, Hurriyah Iqtishodiyah, dan Hurriyah Siyasiyah. Dan menurutnya seseorang atau umat itu tidak bisa disebut merdeka jika belum mempunyai empat kemerdekaan itu. (Musthafa al-Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal: 90)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, Hurriyah fardi merupakan  kemerdekaan utama dan bersifat Individu. Dengan kemerdekaan ini setiap individu bisa mendapatkan haknya, termasuk hak untuk berserikat. Hurriyah fardi mencakup kebebasan bertindak, berpendapat, memilih keyakinan, mendapatkan pendidikan, berorganisasi dan sebagainya. Walaupun bebas, dalam mempergunakan kemerdekaan ini individu harus mempertimbangkan kemerdekaan orang lain. Jadi, egoisitas yang ada dalam setiap individu harus selalu dikontrol. Karena, Individu lain juga memiliki hak kebebasan yang sama.

Kedua, Hurriyah Jama’ah atau kemerdekaan bermasyarakat adalah kemerdekaan ini diperoleh setelah kebebasan utama yang telah terpenuhi yaitu dari Hurriyah Fardi. Kebebasan ini, lebih difokuskan kepada masyarakat sosial yang cenderung bersifat kolektif. Kemerdekaan jama’ah meliputi kebebasan untuk berserikat, berorganisasi dan berkegiatan disana. Dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut. Karena, negara kita meruapakan negara yang memiliki kebebasan yang masih berada dalam pengawasan berbentuk konstitusi.

Ketiga, Hurriyah Iqtishadiyah atau kemerdekaan ekonomi. Ekonomi menjadi faktor fundamental, dan bersifat kontinue. Kemerdekaan ekonomi juga dapat  diinterpretasikan sebagai kebebasan umat dalam berusaha dan mencari rizki, misalnya kebebasan dalam bidang perdagangan, pertanian, pabrik, perusahaan pertambangan dan sebagainya. Umat yang tidak bisa merdeka dalam bidang ini akan menjadi budak bangsa lain, bagaikan tawanan yang dikekang selamanya oleh musuh, ditawan. Sewaktu-waktu musuh bisa membuat hancur perekonomian serta negaranya sekaligus.

Keempat, kemerdekaan siyasyi, maksudnya setiap umat atau bangsa itu bebas dan merdeka untuk menentukan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik negaranya. Tidak terikat dan bergantung kepada bangsa lain sekaligus tidak boleh dicampuri oleh kehendak bangsa lain. Bebas membuat segala macam peraturan sesuai kehendak dan kondisi tanah air. Dengan adanya kedaulatan dalam hal politik ini, setiap bangsa bisa memajukan semua hal, termasuk pekerjaan, pertanian, perekonomian dan hal-hal lain yang menjadi hak bangsa tersebut. Tapi kemerdekan dalam hal politik ini tidak akan tercapai jika ketiga kemerdekaan diatas tadi belum dicapai, terutama kemerdekaan ekonomi. Oleh karena itu wajib bagi semua komponen bngsa untuk berusaha sekuat tenaga menggapainya dengan segala daya upaya. Penting sekali menanamkan kesadaran kemerdekaan itu ke semua orang orang yang bernaung di negara itu. Tanpa kesadaran itu lama-kelamaan bangsa itu akan roboh dan hancur. (Musthafa al-Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal: 93-94).

Kondisi Indonesia

Ketika kita  al-Ghalayani menjelaskan tentang macam-macam kemerdekaan, kita akan segera tahu bahwa kita, bangsa Indonesia, bisa dikatakan belum merdeka. Kita memang sudah merdeka dari penjajahan secara fisik. Namun, kita harus sadar bahwa kita sekarang ini sebetulnya masih terkungkung dan terbelenggu oleh penjajahan yang bersifat nonfisik. Karena, kemerdekaan yang paling utama yaitu kemerdekaan dalam bidang ekonomi dan politik.

Ekonomi dan politik faktor utama dalam kemajuan Indonesia , telah dikendalikan dan disetir oleh bangsa penjajah. Hal itu dapat kita lihat secara faktual, dari lemahnya bargaining kita terhadap semua hal. Kita terlalu banyak bergantung kepada asing. Minyak-minyak kita banyak diangkut ke luar negeri. Emas, timah, batubara dan kekayaan negeri lain diekploitasi sebesar-besarnya untuk kalangan asing.

Keadaan Perekonomian kita, semakin hari semakin rapuh, carut-marut, degradasi terjadi di berbagai bidang, di antaranya rakyat semakin miskin, angka pengangguran tinggi, harga-harga (sembako) melambung, kekayaan alam semakin tereksploitasi. Keterpurukan ekonomi semakin parah, banyak terjadi serbuan produk asing membanjiri pasar dalam negeri. Kondisi seperti itu, menimbulkan gesekan-gesekan di masyarakat sehingga seringkali menimbulkan konflik horizontal. Mustahil suatu bangsa dapat bangkit dari keterpurukanny, jika bangsa itu tidak dapat mandiri dan tidak berdaulat.

Oleh karena itu, menurut Al-Ghalyini kaum muda merupakan faktor utama yang memilki kekuatan merubah dan dijadikan sebagai penggerak bangsa, agar selalu belajar tentang arti kemerdekaan yang hakiki. Kemudian berusaha dengan sekut tenaga untuk mengupayakan semua kemerdekaan yang telah disebutkan di atas dan untuk melepaskan bangsa dan negara dari segala bentuk penjajahan. Jangan lupa pula untuk selalu mengingat kata-kata yang penuh hikmah: Setiap umat itu punya ajal, dan ajal setiap bangsa jika kemerdekaannya sudah terampas. (Musthafa al-Ghalayini. Idhatun Nasyi’in, hal: 94) Wallahu a’lam bis showab

 

Ikuti tulisan menarik Ali Damsuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu