x

Iklan

Wira Sumantri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dedikasi Seorang Abdi 'Bal-balan'

Saat duduk di toilet, tidak dimungkiri datanglah insiprasi. Tempat yang pada dasarnya kotor, jijik, dan bau. Lalu apa bedanya dengan tempat yang mewah ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ini adalah secuil kisah hidup dari seorang yang biasa disapa Are. Ya, nama yang merujuk pada suatu ukuran luas. Saya sedikit kesulitan menjelaskan siapa sosok Are ini. Dari nama lengkapnya saja, saya tidak tahu. Jikalau bertanya pada orang sekitarnya, mungkin juga tidak ada yang tahu persis. Alih-alih tahu nama, 'Kartu Tanda Penduduk' pun sepertinya Are tak punya.

Dia laki-laki yang tinggal di Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali. Usianya kira-kira sudah menginjak kepala lima. Bila dikatakan dia orang biasa, tentu. Tapi ada satu hal yang membuatnya sebagai orang biasa tidak begitu terlalu diperhatikan orang sekitar. Dia tidak berkeluarga, di usia yang harusnya sudah memiliki cucu, dia hidup sebagai sebatang kara.

Tentang pekerjaan, dia tidak memiliki pekerjaan tetap, mengetahui kondisi yang mana orang lain lebih melihatnya sebagai sosok gembel, walaupun sejatinya ia bukanlah seorang gembel. Pakaian yang dikenakan kalau tidak lusuh, ya, kotor. Dia mungkin satu dari sekian sosok yang dipinggirkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Tapi, masih ada saudara atau lingkungan terdekat yang peduli dengannya.

Rumah saya terletak di dekat pasar. Pagi dan malam selalu ada aktivitas di pusat desa Blahkiuh. Are adalah orang yang sering saya lihat di jalanan. Bermodal sepeda ontel yang lebih sering didorong ketimbang dinaikinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Are setiap hari selalu membantu mempersiapkan gerobak dagang nasi. Ya, pemilik rombongan tersebut masih satu dusun dengan Are. Jadi setiap lapak akan buka, Are selalu ada di sana mempersiapkan meja, kursi, dan memasang terpal. Bagitu setiap hari, dan begitu pula setiap malam saat warung akan tutup.

Sosok seorang Are sudah sangat familiar di daerah saya, tapi ia tidak begitu terlalu diperhatikan. Melihat Are juga lebih merasa nyaman saat tidak ada orang yang menanyakannya. Ya, karena Are sedikit mengalami keterbelakangan.

Di saat sedang tidak ada pekerjaan di pasar, Are akan berkeliling untuk mencari botol plastik bekas. Dia tak punya tempat tinggal alias rumah. Hidupnya lebih banyak dihabiskan di jalanan, duduk santai pinggir trotoar, dan tidur melepas lelah di pos kamling. Begitu setiap hari, ia hidup, makan, bekerja untuk hari ini. Hari kemarin dan masa depan tidak ada di pikirannya.

Tidak perlu bingung mencari keberadaan Are. Selain karena memang tak ada hal penting yang perlu dibicarakan dengannya. Satu titik tempat yang paling mudah untuk menemukannya adalah di lapangan umum desa. Di lapangan ini biasanya dia berada sembari memungut botol plastik bekas atau sekadar duduk di trotoar depan.

Saat ada pertandingan sepak bola, jangan mengharapkan untuk tidak berpikir sosok Are tidak ada di lapangan.  Dia selalu standby di pinggir lapangan, di belakang gawang, atau diam di papan skor. Tugasnya begitu kompleks, seperti mengambil bola hasil tendangan yang melampaui tembok, disuruh membelikan satu dua kardus air mineral, atau membawa kostum ke laundry sehabis pertandingan.

Are adalah 'ball boy' lokal sejati. Tugasnya di setiap jengkal pinggir lapangan memudahkan pemain mengambil bola. Tanpa banyak bicara, bola pun tak kenal simpati dengan Are, mau bola itu masuk got, sembunyi di semak-semak, ataupun keluar ke jalan raya, tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Semua ia kerjakan dengan aksi nyata. Ia bekerja melakukan tanpa banyak memikirkan konsekuensi yang terjadi.

Kesebelasan manapun yang bermain, baik tim tuan rumah atau tamu, sosok Are selalu berada di lapangan. Saat tim bermain di luar daerah, dia mesti untung-untungan agar bisa ikut, walaupun dapat di mobil bak terbuka tempat menaruh barang-barang perlengkapan tim. Pernah saya lihat dia hanya duduk di depan trotoar di muka lapangan, melihat rombongan mobil akan berangkat ke luar daerah.

Sudah puluhan tahun Are mengabdikan diri dan kecintaannya di dunia sepak bola kampung. Meskipun tidak pernah menjadi pemain, pelatih, maupun staf dalam sebuah tim, sosoknya selalu menyertai perjalanan tim bal-balan dari waktu ke waktu. Setiap jajaran yang berada di lapangan sama seperti orang di luar. Tidak ada yang terlalu memperhatikan Are, tapi keberadaannya juga tidak dapat dielakan. Siapapun pelaku sepak bola di lapangan sudah pasti mengenal sosok Are.

Laki-laki yang murah senyum, dan tidak pernah mengeluh akan apa yang dikerjakan. Tidak ada harapan tentang berapa lembaran yang ia peroleh dari hasil bantu membantu, baik di warung maupun di lapangan. Tapi, seberapa besar dedikasinya akan hal yang dicintainya, selama nafasnya masih mampu melangkahkan kaki rentanya berkeliling, tak sekadar memungut botol plastik, tapi juga setidaknya bisa memungut empati yang banyak disia-siakan orang.

Are tidak mengukur apa yang akan dia hasilkan dari pekerjaannya. Tak sepeser pun uang yang ia dambakan untuk hari esok. Dedikasinya dalam membantu patut dicontoh bagi banyak orang yang dewasa ini mau bekerja bila diiming-imingi uang terlebih dulu. Mungkin orang-orang akan menertawakan saya menjadikannya sebagai 'Figur Inspiratif'.

Bahwasanya kadang kita tidak harus melihat orang darimana ia berasal, profesi apa yang ditekuni, dan siapa dia di mata masyarakat. Sedangkan kita terlalu naif melihat apa yang ada di bawah kita.

Ikuti tulisan menarik Wira Sumantri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler