x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Revisi UU: KPK Mau Dijadikan Macan Ompong?

DPR memasukkan revisi UU KPK ke dalam program legislasi nasional 2016. Mau diapakan lembaga ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Tidak ada kompromi terhadap korupsi. Anda harus memeranginya.”

--A.K. Antony (Politisi India, 1940-...)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akhirnya, 26 Januari 2016, DPR mensahkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. Termasuk dalam program ini adalah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertanyaannya: mau direvisi agar KPK bertambah kuat atau dibuat jadi loyo?

Kabarnya sudah ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR mengenai hal-hal yang akan direvisi, yaitu pembentukan dewan pengawas KPK, pemberian wewenang SP3 atau pemberhentian perkara, prosedur penyadapan, dan penyidik independen. Namun tak ada jaminan bahwa revisi ini dalam prosesnya nanti bakal jadi bola liar yang isunya lari kesana kemari sesuai kepentingan partai-partai politik.

Sesuai namanya, masyarakat boleh dong menduga bahwa dewan pengawas dimaksudkan untuk memagari gerak KPK dalam memberantas korupsi. Sosok dewan ini seperti apa, kita mesti menunggu. Tapi jangan-jangan, dewan ini akan sering meniup peluit sehingga sedikit-sedikit langkah KPK terhenti.

Salah satu wewenang yang menopang kekuatan KPK ialah menyadap orang-orang yang melakukan permufakatan jahat atau tengah melakukan suap. Cukup banyak anggota DPR dan pejabat tinggi yang tertangkap tangan dalam operasi penyergapan berkat kemampuan KPK dalam mengendus gerak-gerik pelaku suap dan korupsi.

Tak heran bila anggota DPR begitu berhasrat membatasi wewenang penyadapan ini. Caranya: pegawai KPK harus meminta izin pengadilan lebih dulu untuk melakukan penyadapan. Kita dapat bayangkan, belum lagi izin itu keluar, informasinya keburu bocor. Semakin banyak rantai prosedur untuk sampai kepada tindakan penyadapan, semakin banyak mulut yang berbicara, tangan bergerak (mengetik pesan pendek), dan telinga mendengarkan.

Lagi pula, dapatkah izin itu keluar dengan cepat? Maukah misalnya seorang hakim didatangi malam-malam oleh petugas KPK agar mengeluarkan izin penyadapan saat itu juga lantaran situasinya genting dan harus cepat ditangani? Mungkinkah rencana penyadapan itu tidak akan bocor?

Seperti sudah kita sama-sama ketahui, korupsi adalah kejahatan luar biasa. Korupsi bukan hanya merusak orang per orang, melainkan merusak masyarakat dan bangsa. Demokrasi rusak karena uang berbicara, begitu pula hukum jadi tak berdaya, hak anak-anak untuk menikmati sekolah yang baik sirna karena dana pendidikan dikorupsi, aktivitas ekonomi terganggu karena praktik bisnis berjalan tidak adil, dan banyak sendi kehidupan lain yang tergerus.

Lantaran itulah, penanganannya pun mesti ekstra—lebih dari biasa. Jika wewenang ekstra yang dipunyai KPK dipreteli, baik dalam hal penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, kapan korupsi akan hilang? Dalam keadaan KPK punya wewenang ekstra seperti sekarang saja, orang tidak kapok untuk menyuap dan disuap, apa lagi jika wewenang penting itu dihapus.

Bila wewenang luar biasa yang dipunyai KPK itu dilucuti, bisa jadi KPK berubah menjadi macan ompong. Anggota DPR, partai politik, para pejabat eksekutif dan yudikatif sangat mungkin berkepentingan atas revisi ini—mudah-mudahan bukan revisi yang mengatur KPK agar tidak lagi galak. Dalam soal revisi ini, pimpinan KPK mestinya bersikap pro-aktif menolak upaya pelemahan, apapun bentuk dan rupanya. Memang benar bahwa keputusan revisi tidak sepenuhnya berada di tangan KPK, tapi setidaknya KPK bersuara untuk menyatakan sikapnya. Gedung baru, pimpinan baru, mestinya juga semangat baru. (foto: tempo) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler