x

Iklan

Evy Sofia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terbatas Bukan Terlibas

Perjuangan hidup perempuan tuna netra bernama Minah yang ingin menggapai kehidupan mulia di hadapan Tuhan dan sesama manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Takdir yang kurang menyenangkan dapat menimpa siapa saja dan kapan saja. Takdir datang tanpa pernah bertanya dahulu manusia siap atau tidak menerimanya. Pun takdir tak pernah bertanya tentang perasaan si penerima. Suka atau tidak suka, takdir tetap datang menghampiri penerimanya. Hal inilah yang terjadi pada Saminah. Dilahirkan dalam kondisi normal, saat duduk di kelas satu sekolah dasar dia harus menerima kenyataan kedua matanya tak mampu lagi melihat indahnya dunia untuk selamanya.

Sungguh perempuan paruh baya yang akrab dipanggil Minah ini tak pernah menyangka jika sakit panas yang dideritanya berakibat fatal bagi indera penglihatannya. Keterbatasan ekonomi dan pengetahuan yang dimiliki oleh orang tuanya membuat Minah kecil tidak akrab dengan layanan medis. Kondisinya semakin parah hingga terpaksa perempuan yang tinggal di Desa Bugel, Sukoharjo ini harus menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda.

Membiasakan diri hidup dalam kegelapan total setelah sebelumnya mampu melihat bukanlah hal yang mudah dijalani. Demikian pula bagi perempuan yang satu ini. Meski demikian Minah percaya bahwa ketetapan Sang Maha Kuasa adalah yang terbaik untuknya. “Ini sudah garis hidup saya. Saya percaya Gusti Allah menakdirkan yang terbaik buat saya,” tuturnya ikhlas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keyakinan inilah yang membuat Minah tak lantas berputus asa atas keadaannya yang sulit. Minah muda pun tetap mengikuti pendidikan non-formal yang diadakan pemerintah untuk penyandang tuna netra seperti dirinya. “Saya mendapat pelatihan di daerah Jongke, Solo. Semua peserta pelatihan adalah penyandang tuna netra. Saya diajari ketrampilan memijat sampai dengan membuat kerajinan tangan seperti sapu dan sulak.”

Ketrampilan memijat inilah yang hingga kini menjadi andalan perempuan berbadan mungil ini untuk mencari nafkah. Di depan rumahnya yang sederhana terpampang papan nama bertuliskan “Pijat Tradisional Bu Minah”. Meski tak setiap hari ada orang yang datang untuk meminta jasa pijatnya, Minah percaya rejeki tak akan menjauhi orang yang mau mengupayakannya. “Kadang ada orang yang datang untuk minta dipijat, kadang saya yang mendatangi rumah orang yang mau pijat. Selama saya sehat saya siap dipanggil untuk memijat,” cerita nenek satu cucu yang tak pernah menentukan tarif atas jasanya ini.

Setelah sang suami yang berprofesi sebagai pedagang buah meninggal delapan tahun yang lalu, Minah harus memutar otak agar asap dapurnya tetap dapat mengepul. Pemberian dari sang anak semata wayang yang bekerja sebagai tukang batu tidak mencukupi untuk belanja. “Seminggu sekali anak saya memberi uang Rp. 50.000,00 untuk membeli bahan makanan,” tuturnya. Untuk menambah uang belanja, Minah mencari bunga kamboja di kuburan di dekat rumahnya tiap pagi. Bunga-bunga itu lantas dia jemur sampai kering. Bila sudah kering sempurna kemudian dia jual ke pengepul yang rutin mendatangi rumahnya sepekan sekali. Bunga kamboja kering itu nantinya diolah dan digunakan sebagai bahan baku pembuat obat nyamuk. Ketika ditanya suka dukanya mengumpulkan bunga kamboja, Minah menjawab, “Kalau musim hujan begini butuh waktu lebih lama untuk mengeringkan bunga. Kadang saya sampai jatuh saat berlari untuk menyelamatkan bunga yang dijemur dari hujan deras yang tiba-tiba turun.”

Tak hanya mengais rejeki dari bunga kamboja, Minah pun sering membuat lidi dari bambu. Dia sudah memiliki langganan yaitu para pedagang sate dan pecel yang masih memakai daun pisang bersemat lidi sebagai bungkus makanannya. Menyaksikan Minah yang tuna netra ini memotong bambu panjang menjadi lidi berukuran sekitar lima senti, seakan menonton pertunjukan akrobat. Dengan lincah tangannya memainkan pisau berukuran besar tanpa takut jemarinya terluka. Dalam waktu yang tidak terlalu lama terkumpul sudah setumpuk lidi runcing yang ditempatkannya dalam sebuah besek. “Saya sudah terbiasa dari dulu. Sampai sekarang belum pernah terkena pisau saat memotong lidi.” 

Kemandirian Minah dalam mencari nafkah memang pantas diacungi jempol. Tak ingin memanfaatkan kekurangannya untuk meminta belas kasihan, sebaliknya dia justru menunjukkan kepada dunia bahwa penyandang tuna netra pun dapat hidup mandiri. Keterbatasannya bukan alasan yang membuatnya terlibas dan menyerah pada nasib. Wujud kemandirian Minah juga terlihat jelas dalam melakukan tugas rumah tangga, mulai dari memasak, membersihkan rumah, berbelanja ke pasar,  menjahit, sampai dengan menyetrika! “Saya selalu menyetrika baju sendiri dengan setrika arang kuno. Saya tidak berani memakai setrika listrik. Takut kesetrum,” tuturnya sambil terkekeh.

Tak hanya hebat dalam urusan domestik, di dalam kehidupan bermasyarakat pun Minah adalah orang yang dikenal mudah bergaul dan peduli pada sesama. Salah satu tetangga Minah yang ditemui penulis mengatakan Minah sangat bersemangat ikut menengok tetangga yang sedang sakit walau kondisi tubuhnya kurang fit. “Minah itu rajin menengok tetangga yang sakit. Dia selalu ikut menjenguk ke rumah sakit walau kadang dia harus menderita mabuk perjalanan. Minah itu pusing kalau berlama-lama di dalam mobil,” tutur Jujuk, tetangga yang tinggal bersebelahan dengan rumah Minah.

Selain menengok tetangga yang sakit, tradisi rewang yang masih sangat terpelihara di desa tempat tinggal Minah juga menjadi sarana untuk menunjukkan kepeduliannya. Tak jarang Minah datang pagi-pagi buta agar dapat lebih lama  memberikan bantuan kepada si pemilik hajat. “Kalau memberikan bantuan berupa materi, terus terang saya tidak punya. Hanya tenagalah yang dapat saya berikan dan saya senang bisa melakukan hal ini.”

Apapun wujud bantuan yang diberikan, nyatanya Minah berhasil menunjukkan bahwa kekurangannya bukanlah alasan untuk berdiam diri saat orang lain membutuhkan uluran tangan. Kepedulian dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun sangat bermanfaat bagi orang lain. “Sekecil apapun saya ingin hidup saya bermanfaat. Selama saya mampu, ya saya tetap berupaya melakukan yang terbaik. Saya ingin menjadi orang yang mulia di hadapan Tuhan dan sesama manusia,” pungkas Minah mengakhiri kisahnya.

Ikuti tulisan menarik Evy Sofia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB