x

Iklan

pebri tuwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jadi Pintar Ga Harus Mahal

Figur perempuan modern yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan bagi lingkungan sekitarnya terutama kepada anak-anak kaum marjinal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap sepuluh November rakyat Indonesia selalu melaksanakan peringatan Hari Pahlawan. Di zaman dahulu seseorang biasa disebut sebagai pahlawan ketika mengorbankan segenap jiwa raganya untuk melawan penjajah atau pemberontakan dengan jalan berperang. Demi menghargai jasa-jasa mereka yang gugur di medan perang, maka ditetapkanlah tanggal sepuluh November sebagai hari pahlawan nasional. Namun, kini menjadi pahlawan tidaklah harus dengan jalan berperang, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjadi pahlawan bagi lingkungan sekitarnya. Setidaknya itulah yang dibuktikan oleh Tirta Nursari atau yang biasa disapa “Ibu Ita” melalui Taman Bacaan Masyarakat Waroeng Pasinaon yang didirikannya.

November tahun 2015 saya berkesempatan untuk bertemu dengan Ibu Ita di kediamannya, tepatnya di Tegalsari RT 05/08, Bergaslor, Kec. Bergas, Kab. Semarang, Jawa Tengah. Di depan rumahnya yang sederhana terpampang dengan jelas sebuah papan bertuliskan “Taman Bacaan Masyarakat Waroeng Pasinaon”. Taman baca inilah yang menjadi sentra literasi media dan pojok baca bagi warga sekitar. Di teras rumah tersebut juga terdapat berbagai koleksi buku dan majalah. Setelah menunggu beberapa saat Ibu Ita akhirnya tiba dan menyapa kami dengan ramah. Di atas sebuah kursi kayu kami duduk berhadap-hadapan dan ibu Ita mulai berbagi pengalaman seputar Waroeng Pasinaon yang didirikannya pada tahun 2007.

“Waroeng Pasinaon adalah Ruang untuk memberi pelayanan kepada masyarakat secara umum, yang berfokus pada pendidikan dan pembangunan karakter. Kata “Waroeng” di sini dipilih agar lebih familiar di telinga anak”, kata Ibu Ita mengawali penjelasannya.      

Pada awal beridirinya sekitar tahun 2007 lalu, Waroeng Pasinaon tidak memiliki tempat, sehingga lokasinya selalu berpindah-pindah mulai dari mushola, hingga ke garasi dan teras rumah tetangganya. Sampai hingga suatu saat setelah disadari manfaatnya oleh masyarakat, Bapak dari Ibu Ita mengizinkan untuk dibuka diteras rumah pada sekitar tahun 2011. Pada awal tahun itu dengan modal nekat dan finansial yang minim, perempuan yang hanya lulusan SMA ini nekat membeli material bangunan untuk membangun ruangan tersebut. “ Gusti Allah punya caranya sendiri untuk mendukung, saat kita punya niat tulus pasti akan dibukakan jalan, seperti menambah jumlah buku dan ruangan” ujar ibu ita mengenang masa lalunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Saya hanya ingin agar anak-anak siapapun mereka berani bermimpi dan bisa mewujudkannya, baik anak buruh, anak kuli bangunan, atau kaum marjinal yang selama ini jangankan untuk bermimpi menjadi orang sukses saja tidak bisa karena memang secara sosio-ekonomi mereka terpuruk. Di sini saya ajak mereka agar jangan takut bermimpi karena mimpi yang akan mengarahkan langkahmu untuk menuju ketujuan itu. Di sini juga mereka kami ajak untuk bertemu, berdiskusi, dan berinteraksi dengan banyak orang sehingga terbuka mindset mereka untuk bukan hanya bermimpi tetapi juga mewujudkannya.” Ujar Ibu Ita saat ditanya seputar motivasinya mendirikan Waroeng Pasinaon.

Ibu Ita memang sejak kecil dididik untuk membaca dan diarahkan agar memiliki visi yang jelas oleh kedua orang tuanya. Bapaknya percaya bahwa bukan uang yang menuntun seseorang untuk menjadi apa yang dia inginkan, tapi bagaimana berjuang dan berproses untuk mewujudkan keinginan itu.  Sehingga tidak heran Waroeng Pasinaon ini mengambil tagline “Jadi Pintar Gak Harus mahal!”.

Setelah delapan tahun berdiri banyak inovasi kegiatan di Taman Baca ini, diantaranya adalah layanan taman baca, kelas menulis anak dan dewasa, bimbingan belajar, koran Ibu pasinaon, koran anak ekspass, hingga pelatihan-pelatihan seperti pelatihan wirausaha dan daur ulang sampah. Waroeng Pasinaon yang awalnya hanya memiliki sekitar 100 buah buku koleksi pribadi dari Ibu Ita, kini telah bertambah menjadi hampir 10.000 buah buku dan memiliki berbagai cabang taman baca lain seperti di daerah Pringapus, pojok baca RM Tiara, dan Perpustakaan di beberapa masjid.

“Anak-anak yang ingin meminjam buku juga sudah terbiasa melakukan self services, dengan menulis di buku peminjaman. Pernah ada yang tidak menulis tetapi setahun kemudian ia datang sendiri dan mengembalikan buku yang ia pinjam. Buku-buku yang hilang dan belum kembali juga mungkin ada ratusan, tetapi suatu saat buku itu akan kembali atau justru mendapat lebih banyak penggantinya” kata Ibu Ita soal peminjaman di taman baca tersebut.

Saat ditanya seputar berbagai piala yang terpampang dalam lemari kaca di pojok ruangan tersebut ibu Ita menjelaskan bahwa salah satu cara untuk memotivasi diri dan anggota Waroeng Pasinaon lainnya adalah dengan mengikuti lomba, hadiahnya 10% kas di Warung Pasinaon, saham di koperasi simpan pinjam, dan sisanya dikembalikan sebagai modal usaha anggotanya. Hasil dari lomba tersebut juga dipergunakan untuk melakukan renovasi ruangan dan menambah koleksi buku.   

Ada beberapa kisah yang berkesan di benak Ibu Ita selama berdirinya taman baca ini, salah satunya adalah tentang seorang anak yang lahir dari keluarga yang terbilang amburadul serta banyak dari anggota keluarganya yang menjadi PSK. Anak tersebut dititipkan oleh ibunya sejak kecil di taman baca ini, ibunya hanya ingin agar anaknya menjadi anak yang benar, tidak ingin menjadi seperti saudara-saudaranya. Hingga suatu saat ketika anak tersebut telah tumbuh besar dan duduk di bangku SMP, ia menghampiri Ibu Ita lalu berkata bahwa ia telah menjadi ketua kelas dan dipanggil oleh teman-temannya Miss PeDe (Percaya Diri). Bukan hanya sampai disitu, anak tersebut bahkan juga telah berani tampil menari di hadapan banyak orang serta berprestasi di banyak bidang. Hal seperti inilah yang menjadi kebanggaan buat Ibu Ita, “mungkin memang belum sepenuhnya mengentaskan anak itu tetapi setidaknya karakternya telah terbentuk lebih tangguh dan tidak goyah seperti saudara-saudaranya yang lain” imbuhnya.

Figur seperti Tirta Nursari inilah yang patut dijadikan sebagai salah satu panutan masyarakat modern, bagaimana pengabdian terhadap masyarakat dijalankan dengan ikhlas tanpa gembar-gembor di sosial media. Meskipun memiliki keterbatasan finansial dan sempat tidak memperoleh dukungan keluarga, beliau tetap istikamah menjalankan kegiatannya. Secara tidak langsung Ibu Ita juga menyindir generasi muda saat ini yang cenderung individualistis dan tidak peduli terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungannya. Padahal seandainya bersedia membuka mata, masalah-masalah seputar pendidikan begitu dekat dengan kita. Dengan konsisten dan sabar beliau mendidik anak-anak yang sebagian kaum marjinal demi masa depan yang lebih baik. Kini kita tidak perlu berperang untuk menjadi pahlawan, Ibu Ita sudah membuktikan bahwa meskipun memiliki banyak keterbatasan, tetapi dengan niat dan kerja keras kita dapat bermanfaat bagi sesama manusia. #Tempo45

Ikuti tulisan menarik pebri tuwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu