x

Iklan

Iwan Setiawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rintik Haru di Kota Wali

Catatan perjalanan mengitari separuh Pulau Jawa

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di penghujung tahun yang baru lalu, suasana libur terasa hampir di setiap tempat. Arus lalu lintas kota yang biasanya padat, berkurang cukup berarti. Jalanan lengang, pengemudi motor tak lagi berdesak-desakan, berebut tempat paling depan.

Suasana menjelang libur kental terasa di sekolah. Kegiatan belajar mengajar yang jadi “jantung” setiap sekolah tak lagi berdenyut. Sebagai gantinya, kesibukan sekolah tak jauh dari kegiatan libur akhir tahun itu. Para siswa yang hadir di sekolah dapat dihitung dengan jari, karena memang tak ada KBM. Dan para guru sibuk mematangkan rencana liburan yang akan dijelang.

Tak jauh berbeda dengan sekolah manapun, suasana itu pula yang berlangsung di Muthahhari. Mendekati libur selama lebih kurang dua minggu di akhir 2015 itu, para guru antusias dalam mempersiapkan agenda liburan. Tak kurang dari dua kali, para guru hadir dalam pertemuan guna “menggodok” rencana keberangkatan mengitari sebagian pulau Jawa. Ya, mengisi libur tahun ini, kami berencana mengadakan perjalanan menuju makam para wali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hari yang ditunggu itu akhirnya datang. Tepat di sore hari, kami bertolak dari halaman sekolah tercinta. Usmif berkenan melepas keberangakatan kami. Beliau membekali kami dengan pesan dan doa. Satu hal yang merasuk di sanubari kami bahwa hendaklah kami menjaga kebersamaan. Dalam perjalanan ini turut bergabung keluarga bapak dan ibu guru. Perjalanan ini diikuti unit-unit kecil bernama keluarga. Untuk itulah, kebersamaan dan saling membantu antar anggota rombongan tertuju.

Perjalanan ziarah kami diawali di Masjid Agung Demak. Setelah semalaman berada dalam bis, inilah kali pertama kami menghirup udara lepas. Mesjid Demak begitu megah dan agung dengan lanskap halaman luas di bagian muka.

Masjid, yang merupakan warisan tak ternilai ini, terdiri atas beberapa ruangan yang memiliki fungsi berbeda. Masjid dengan fungsinya sebagai tempat sholat terletak di bagian sentral. Ruang utama dapat dijumpai setelah kita melewati selasar masjid yang teduh dan luas. Para pengunjung biasa melepas lelah sambil berbaring atau selonjoran di sini.

Adapun kumpulan makam, yang menjadi ikon dari masjid agung di jantung kota Demak ini, terletak di sayap kiri masjid agak ke belakang. Namanya kumpulan, tentu tak hanya satu makam yang terdapat di sana. Tertata rapi, nisan-nisan ini konon adalah para pengikut Sultan Demak. Model makam yang berbeda-beda tampaknya menunjukkan kedudukan sang ahli kubur semasa hidup. Makam berukuran besar dengan batu nisan setinggi pinggang berbaur dengan makam-makam lebih kecil dan bernisan lebih rendah. Keduanya berbaur serasi, saling menampakkan batu-batu nisan yang dipahat dengan indah.

Makam Raden Fatah, yang lebih dikenal dengan Sultan Demak, terletak dalam ruang khusus berpintu rapat. Para peziarah tak diizinkan memasukinya. Hanya mereka yang memiliki izin khusus dari pengelola makam yang dapat memasukinya. Kami yang tak memiliki izin tersebut, berbaur dengan para peziarah lain di selasar seputar makam.

Kedatangan kami bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal 1437 H. Hal mana yang membuat suasana ziarah kian semarak. Di selasar makam yang resik kami melantunkan doa ziarah dan tahlil. Kami pun membaca surat Yaasin berjamaah. Bergabung bersama kami, ratusan Jemaah yang datang dengan berkelompok. Umumnya para peziarah mengenakan atribut sebagai penanda kelompoknya. Ibu-ibu yang berkerumun tak jauh dari tempat saya duduk mengenakan seutas pita merah biru yang disematkan di kerudungnya.

Usai membaca doa, kami “digiring” melewati pintu keluar . Pintu ini terletak paling ujung dari kompleks pemakaman, namun tidak untuk pasar cenderamata. Untuk tempat yang kedua ini, pintu itu adalah gerbang yang menyambut kami dengan ramah. Di kiri-kanan jalan tak terlalu lebar yang kami lalui, ramai pedagang menjajakan dagangannya. Seorang ibu menawari saya baju daster berbahan batik. Tak jauh darinya, bapak pedagang peci dan serban tak kalah gesit. Sementara nenek penjaja nasi pecel, dengan tersenyum mempersilakan saya mencicipi hidangannya. Saya berlabuh di tempat terakhir. Perut kosong yang belum terisi ini, tak mampu menolak lambaian sayur-sayuran segar dan rempeyek udang yang dijajakan nenek :-)

Teh hangat yang diseduh nenek saya teguk sampai tetes terakhir. Badan saya kembali segar. Tenaga saya pulih. Dan perut (setengah buncit) ini tak lagi bernyanyi. Saya menyambung langkah. Saya penasaran untuk melihat setiap sisi yang terdapat di Masjid Agung Kota Wali ini.

Berbekal kamera smartphone, saya tak buang kesempatan untuk mengambil gambar. Keagungan Islam tercermin dari fisik bangunan masjid yang megah ini. Atap joglo bertingkat tiga yang menaungi bangunan utama masjid seolah menengadah ke angkasa. Di pagi itu langit bersih. Sinar mentari yang cerah turut membantu saya mengabadikan bangunan laksana magnet ini. Kepadanya, umat berdatangan untuk menghadap Sang Pencipta.

Di halaman masjid yang luas, tepat di sisi kiri pintu masuk, terdapat bangunan mirip menara. Jalinan besi penyangga tampak mengurung menara itu di tengah. Menurut literature yang terpampang, menara yang tengah direnovasi itu adalah menara adzan. Konon, menara itu berdiri sejak 1932, setia menemani sang muadzin mengumandangkan seruan untuk shalat.

Hanya sepelemparan batu dari menara, terdapat situs kolam wudlu bersejarah. Konon kolam ini berfungsi sebagai tempat mengambil air wudlu para wali. Bahkan Joko Tingkir pun, sebelum naik tahta sebagai raja, pernah nyebur ke kolam seluas lebih kurang 75 m2 ini, sebagai tahapan inagurasinya.

Menjelang tengah hari, kami mohon diri. Kami berpamitan pada hadirat manusia suci itu. Berat langkah kami meninggalkan tempat bersemayamnya jasad sang wali, yang lewat perjuangannya, Islam tersebar di Pulau Jawa ini. Saya sampaikan salam perpisahan. Salam yang disertai buramnya pandangan, terselimuti tetes air yang terasa hangat.

Bus yang kami tumpangi melaju di atas aspal yang mulus. Setelah menyusuri sekitar 3 km jalanan kota Demak yang lengang, akhirnya kami sampai di tujuan berikutnya, Makam Sunan Kalijaga. Kompleks makam yang terletak di daerah Kadilangu ini tak hanya memeluk jasad suci anggota wali yang Sembilan itu. Di sini bersemayam pula Arya Panangsang, Raja yang berkuasa pada zamannya.

Tak seperti suasana kota Demak yang lengang, kompleks makam padat oleh para peziarah. Ribuan peziarah dating dari berbagai tempat. Ditandai oleh panjangnya antrian kendaraan, dugaan kami tidaklah salah. Kendaraan besar dan panjang yang membawa kami tak mendapat ruang parkir yang memadai. Akhirnya kami memutuskan untuk urung berziarah di atas pusara Sunan Kalijaga. Sejuta sesal menyesak di dada. Kesempatan emas untuk menafakuri jejak sang wali, di tempatnya langsung, hilang dihembus angin pantai utara yang panas.

Sedikit mengobati kekecewaan yang saya rasa, ketua rombongan memutuskan untuk membacakan doa ziarah dan tahlil di atas bis. Suasana makam yang hening dan sacral tentu tidak saya jumpai dari atas jok mobil yang empuk. Kata-kata menghibur Usmif, yang diulangi ketua rombongan, bahwa ziarah yang diterima adalah ziarah yang terhalang untuk melaksanakannya, sedikit memberi rasa pada nuansa hambar yang menyeruak.

Waktu serasa berputar lebih cepat. Tanpa saya sadari, jarum jam bertengger di angka 2 ketika kami tiba di terminal bis Kota Kudus. Tempat inilah yang ditunjuk pengelola makam sebagai tempat pemberhentian kendaraan para peziarah. Dari sini para peziarah menumpang minibus-minibus yang tersedia. Kendaraan dengan bentuknya yang beraneka inilah yang mengantar kami tepat di tujuan, pelataran Masjid Menara Kudus.

Mobil yang saya tumpangi berdisain unik. Sebuah mobil bak terbuka yang dimodifikasi menjadi kendaraan pengangkut manusia. Sekilas tumpangan ini mirip odong-odong yang berkeliling kampong, namun berukuran besar. Para penumpang duduk berderet menghadap ke depan. Terpaan angin seketika membuat rambut, kerudung dan pakaian kami melambai-lambai. Maklum, mobl ini terbuka di keempat sisinya. Dan mobil ini tak dirancang untuk menggelinding di jalan raya :-)

Tak lebih dari setengah jam kami menikmati “odong-odong” bermesin itu. Pengemudi menurunkan kami di tempat pemberhentian . Kami pun turun dengan tergesa. Antrian kendaraan dan kerumunan orang “meneriaki” kami agar bergegas. Rupanya langkah mereka terhenti karena “ulah” kami. Terang saja mereka protes, pengemudi menurunkan kami tepat di jalan yang lagi ramai-ramainya dilalui para peziarah.

Bergetar hati melihat Menara Kudus yang kesohor itu. Tinggi menjulang, menara bata berusia ratusan tahun ini terlihat berwibawa. Keanggunannya mungkin hanya dapat tersaingi oleh Menara Eifel di Paris sana. Menara ini seakan menyambut kami dengan ramah. Ia seolah mengucapkan salam selamat dating bagi para peziarah yang dating dari jauh. Mereka yang dating dengan menyeberangi lautan atau cukup dengan kendaraan darat seperti kami.

Menara yang menjadi ikon Kota Kudus ini mencerminkan percampuran budaya Hindu dan Islam. Berbentuk menyerupai pilar-pilar gapura yang terdapat di Pure (tempat beribadat Umat Hindu) dan berfungsi sebagai menara adzan. Dari pucuk menara, terdengar suara muadzin setiap dating waktu shalat. Dua kebudayaan besar itu hidup rukun berdampingan di kota tua Kudus. Tak habis rasa takjub saya mengenang semangat toleransi yang diajarkan oleh Sunan Kudus. Kita sebagai anak bangsa yang hidup ratusan tahun setelahnya, hendaklah mengambil teladan dari figur sang wali Allah ini.

Pintu menuju makam Sunan Kudus terletak di sisi sebelah kiri Masjid. Berarsitektur kayu berukir yang cantik, makam-makam itu terlihat hangat. Aura makam yang dingin dan kaku seketika lumer. Berbeda dengan pusara-pusara di dua tempat sebelumnya, di tempat ini hamper seluruh pusara terbuat dari kayu jati. Berada di dalamnya kita seakan mengunjungi toko meubel yang menjual furniture kayu jati berukir yang antic :-)

Ada beberapa joglo yang menaungi pusara-pusara orang suci ini. Joglo utama berukuran paling besar, dengan ruang bagi peziarah yang lega. Inilah joglo yang menaungi pusara suci Sunan Kudus. Bertirai kelambu putih yang halus, pusara suci itu tak pernah sepi dari lantunan doa para peziarah. Kami yang dating jauh dari pesisir barat pulau jawa, berharap syafaat darinya. Kami pun duduk dengan tertib, dengan suara lirih menyampaikan salam dan memanjatkan doa. Di sekeliling kami, ribuan orang melakukan hal yang sama. Riuh suara para peziarah di sore itu.

Lantunan doa peziarah laksana dengung seribu lebah yang mengerubuti sarangnya. Kami adalah lebah-lebah kecil yang berkerumun di tempat yang mulia itu. Kami berharap keberkahan dari sang pemilik tempat. Kami hantarkan persembahan kecil. Kami ayun langkah. Kami panjatkan doa. Dan kami ungkapkan kecintaan. Semoga, ungkap kecintaan kami, berkenan Engkau terima duhai waliyullah. Amin.

Ikuti tulisan menarik Iwan Setiawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler