x

Iklan

Isnaini S Ibiz

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mbah Sati, Jualan Getuk Sak Lawase

Mbah Sati, penjual getuk di pasar Paldaplang, Sragen, tengah membungkus getuk dengan daun pisang. Getuk ini hanya dihargai Rp. 1000,- per bungkus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mbah Sati 'Getuk', begitulah orang-orang di pasar Paldaplang, Sragen, memanggilnya. Sudah lebih dari setengah abad lamanya ia berjualan getuk, salah satu makanan khas Jawa Tengah. Pribadinya yang murah senyum membuatnya awet hingga sekarang. Dengan tangan rentanya, ia membuat getuk sendirian.

Usianya sudah menginjak 85 tahun. Mbah Sati, penjual getuk asal dusun Mentir, desa Bener, Ngrampal, Sragen ini tetap bersemangat mencari rezeki di usia senjanya. Bahkan, ia berniat jualan getuk sak lawase (selamanya), begitu katanya saat penulis menemuinya di sela-sela menjajakan dagangannya.

"Kulo malah seneng lak seh dodolan. Kulo pengen dodolan getuk sak lawase, geh sak patine kulo (saya malah senang kalau masih jualan getuk, saya ingin jualan getuk selamanya sampai saya mati)," ungkapnya dengan nada suara sedikit tak jelas karena giginya yang sudah ompong semua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sehari-hari mbah Sati biasa membuat getuk sendirian. Dari mulai mengupas, merebus, menumbuk bahkan sampai memarut kelapa, dilakukannya seorang diri. Selain getuk, ia juga membuat sawut, makanan tradisional yang terbuat dari singkong yang diserut lalu dicampur dengan gula merah.

Sore hari, biasanya ia sudah mulai mengupas singkong dan ubi. Jam setengah dua dini hari, ia akan bangun, lalu merebus bahan untuk getuk dan sawut di atas tungku kayu bakar. Selepas subuh, saat jam sudah menunjukkan pukul setengah lima ia akan berkemas. Getuk dan sawut yang sudah jadi itu, ia tata di dalam senik (tenggok) lalu ia gendong di belakang punggungnya yang sudah membungkuk itu dengan selendang lusuhnya.

Sejak suaminya meninggal belasan tahun yang lalu, ia memang hanya tinggal sendirian di rumahnya yang sangat sederhana. Sebetulnya anak-anaknya sudah berulang kali memintanya untuk berhenti jualan dan tinggal di rumah salah satu anaknya. Tetapi ia keukeuh, ingin mencari nafkah sendiri sepanjang masih dianugerahi nikmat sehat. Ia bahkan bahagia tinggal di rumah kecilnya yang sudah puluhan tahun dihuninya bersama sang suami. Meski di sini ia hanya sendirian, tanpa ditemani anak, cucu maupun cicitnya.

"Jane lak leren geh penak awake, nanging loro pikirane. Kulo lak jagakke anak, mboten purun (kalau istirahat, tidak jualan, ya enak badannya, tapi sakit pikirannya. Saya tidak mau kalau terlalu bergantung pada anak)," tukasnya sembari memotong getuk dari ubi ungu.

Saat suaminya masih hidup, ia biasa diantar dengan menggunakan becak. Sekalian mengantar, sekaligus berangkat untuk menarik becak di kota Sragen. Namun semenjak suaminya tidak ada, ia biasa berjalan tanpa mengenakan alas kaki sembari menggendong senik ke pasar yang berjarak 4 km dari rumahnya.

Mengingat usianya yang sudah semakin tua, ia kini sudah tak kuat lagi bila harus berjalan kaki ke pasar. Apalagi, setelah ia jatuh saat hendak ke kamar mandi beberapa waktu lalu. Ketika akan berangkat, ia biasa meminta tetangganya untuk mengantar ke pasar dengan membayar Rp. 5000,-. Demikian halnya saat akan pulang ke rumah, ia akan diantar oleh pak tukang parkir. Pun begitu, jika tidak ada yang mengantar, ia akan tetap berjalan kaki ke pasar atau pulang ke rumah, lengkap dengan gendongan getuknya.

Kini, dagangan getuknya pun tak bisa sebanyak dulu. Karena tubuhnya yang semakin renta, ia hanya membuat satu atau dua jenis getuk dari singkong atau ubi dan juga sawut. Itupun jumlahnya tak seberapa. Dalam sehari ia hanya meraup pendapatan kotor Rp.80.000,- hingga Rp.90.000,- dengan keuntungan rata-rata Rp.30.000,-.

Meski hasilnya tak seberapa bila dibandingkan dengan jerih payahnya, uang itu sudah cukup baginya. Tanpa harus mengharapkan bantuan anak-anaknya, ia bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dari berjualan getuk. Ia bahkan, menurut salah seorang pedagang di pasar, juga dikenal dermawan. Ia tak segan membelikan selendang atau sabun cuci jika tetangganya ada yang melahirkan. Terkadang juga memberikan oleh-oleh pasar pada tetangganya.

Sosok mbah Sati ini hanyalah satu di antara sekian ribu orang yang tetap semangat mencari rezeki di usia senja. Ketika banyak orang di luar sana yang masih dianugerahi fisik yang sehat dan kuat tetapi malah bermalas-malasan bekerja atau bahkan tak malu mengemis di jalanan, ada sosok-sosok seperti mbah Sati yang tetap giat bekerja, menjemput rezeki yang halal, yang lebih barokah.

Bagi mereka, raga yang menua bukanlah penghalang untuk tetap bekerja. Mereka, Mbah Sati khususnya, juga tak mau menjadi beban bagi anak-anaknya. Sepanjang masih diberi kesehatan, ia akan tetap semangat mencari rezeki dari berjualan getuk.

"Barakan kulo niki mpun sedo danten, mbak. Kulo kudu semangat golek rezeki. Kulo syukur alhamdulillah seh diwenehi waras (teman sebaya saya sudah meninggal semua, mbak. Saya harus semangat mencari rezeki. Saya bersyukur alhamdulillah masih diberi kesehatan)," pungkasnya.

Ikuti tulisan menarik Isnaini S Ibiz lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB