x

Iklan

pebri tuwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengemis dan Kota Atlas

Beginilah potret masalah Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) di Kota Semarang yang jumlahnya kian hari semakin menjadi-jadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mungkin akan menarik, lain kali ketika Anda liburan singgahlah ke Kota Semarang lalu menikmati beberapa tempat menarik di kota tersebut. Sekedar menikmati bangunan-bangunan eksotik lalu berfoto selfie di Lawang Sewu, Tugu Muda, Gereja Blenduk, Masjid Agung Jawa Tengah, serta wisata kulineran khas semarang seperti mangut ndas manyung, roti ganjel rel, wingko babat, mungkin akan mengasyikkan.  Namun, ada baiknya juga ketika berkunjung ke Kota ini Anda mengamati bahwa hampir di setiap lampu merah jalan sangat mudah ditemui adanya gelandangan, pengemis, pengamen, atau anak jalanan yang menjajakan koran. Bila Anda amati pula, bagi yang pernah berada di kota ini, baik karena lahir dan tumbuh disini, atau menuntut ilmu disini, masalah-masalah pengemis ini justru semakin bertambah dari tahun ke tahun. Taman-taman yang dibangun nyatanya justru menjadi rumah singgah dan lahan basah untuk mengais iba dari para pengunjung. Lucunya, di beberapa lampu merah sudah terdapat himbauan agar tidak memberi pengemis tapi nyatanya pengemis itu sendiri masih dengan “kepercayaan dirinya” meminta-minta di sana.

Rasa-rasanya persoalan perihal pengemis ini memang selalu terjadi di tiap-tiap kota di Indonesia, tak terkecuali di Semarang, Kota Atlas. Ibukota Provinsi Jawa Tengah, yang konon merupakan kota metropolitan kelima ini hingga sekarang masih belum menemukan cara ampuh untuk mengatasi pengemis yang selalu hadir di jalan-jalan kota.

Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Sangat mudah menemui mereka di Semarang, mulai dari Lampu merah di tembalang, banyumanik, telogosari, ngaliyan, hingga di kawasan tengah kota seperti tugu muda dan simpang lima, tidak ketinggalan juga tempat-tempat makan di kawasan Pahlawan, Tembalang dan Pleburan selalu saja diserbu pengemis. Dengan pakaian kusut dan muka melas, pengemis-pengemis tersebut berharap belas kasihan dari orang yang melihatnya. Akibatnya, kondisi kenyamanan, keindahan, dan ketertiban kota pun terganggu. Pada 2012, tercatat sebanyak 270 anak jalanan dan Pengemis Gelandangan dan Orang Terlantar (PGOT). Jumlah tersebut meningkat dua tahun setelahnya, yakni 2013 sebanyak 350 orang, sementara 2014 menjadi 400- an. Pada 2015 diprediksi jumlah tersebut jauh lebih banyak mengingat selama Ramadan saja sudah ada 197 yang terkena razia. Statistik tersebut juga pasti tidak sepenuhnya akurat karena menurut saya jumlah PGOT yang ada lebih dari itu mengingat masih banyak pengemis yang tidak terdata.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dicaci dan dihujat banyak orang tak membuat pengemis-pengemis malu untuk melanjutkan kegiatannya. Meski terjaring razia berkali-kali oleh Satpol PP, para pengemis tak jua jera menanggalkan kegiatan tersebut. Bahkan tahun 2014 lalu sudah disepakati perda anak jalanan, yang ketentuannya Pemkot akan memberikan denda sebesar 1juta rupiah bagi masyarakat yang memberikan uang kepada anak jalanan dan pengemis, nyatanya masalah ini tak kunjung usai. Lalu sebenarnya masalahnya ada dimana?

Sebenarnya ada banyak faktor penyebab kian maraknya pengemis di semarang, tetapi arus urbanisasi yang tinggi dari desa ke kota pada dasarnya adalah salah satu penyebab klasik kuantitas pengemis-pengemis kian meningkat dari hari ke hari. Dorongan kemiskinan yang ada di desa atau daerah-daerah telah mendorong penduduknya untuk mecari pendapatan yang lebih tinggi di kota Semarang. Sehingga mengatasi pengemis sama sulitnya dengan mengentaskan kemiskinan.

Perilaku mengengemis erat kaitannya dengan urbanisasi, dan urbanisasi erat kaitannya dengan adanya kesenjangan pembangunan wilayah pedesaan dan perkotaan. Selama masih adanya kesenjangan ini maka urbanisasi akan sulit dibendung, dan akan memberi peluang munculnya kegiatan sector informal seperti kegiatan mengpengemis. Jadi, pada Intinya memang Pemkot Semarang harus bertanggungjawab atas masalah ini, tetapi untuk mengatasinya tidak bisa dilakukan sendiri. Karena masalah Pengemis juga terkait dengan daerah asal dalam hal pencegahan. Sehingga kalaupun Pemkot Semarang sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut, tanpa adanya kerjasama penanggulangan dan pencegahan dengan daerah asal pengemis maka solusi yang ditawarkan pun tidak akan bekerja secara optimal.Semoga masalah urban city seperti pengemis, pengamen, anak jalanan,  di Kota ini dapat segera diatasi sedini mungkin sebelum semakin kronis seperti beberapa kota besar lain di Indonesia. Jangan sampai pembangunan infrastruktur yang sudah berjalan untuk menambah estetika justru rusak oleh masalah-masalah seperti ini.

Demi Kota Semarang juga, mari kita mulai dari kita sendiri agar jangan suka memberi uang kepada pengemis, anak jalanan, dan pengamen yang ada di lampu merah atau pinggir jalan. Memang saya yakin tidak ada dari kita yang tidak memilki rasa iba atau belas kasihan dengan keadaan mereka, tetapi memberi uang pada pengemis hanya membuat mereka semakin nyaman dengan 'pekerjaan' mereka dan mendidik mereka menjadi semakin malas tanpa mau bekerja keras.

 

Oleh : Pebri Tuwanto

Ikuti tulisan menarik pebri tuwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu