x

Iklan

Fandy Hutari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Zubaidah, Pendidik Anak-anak Petani Marjinal

“Saya bangga menjadi guru di sini meski tidak bergaji. Karena semangat kolektifitas sesama guru adalah penyemangat yang tidak bisa dibayar oleh apapun."

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya dan Zubaidah terpisah laut, berbeda pulau. Perempuan muda berusia 33 tahun itu tinggal di Jambi. Sedangkan saya di Jakarta. Saya mengenal dia dari seorang kawan, yang dahulu saat kuliah, kami sama-sama aktif di organisasi eksternal kampus. Saya tertarik dengan aktivitas Zubaidah mendidik anak-anak kaum tani marjinal di Jambi sana. Lantas, kami melakukan komunikasi melalui surat elektronik.

Beranda Perempuan

Zubaidah bukan perempuan muda biasa. Aktivitasnya patut diacungi jempol. Dia merupakan Direktur Yayasan Beranda Perempuan yang didirikan pada 25 November 2010 di Jambi. “Berawal dari diskusi-diskusi dan pertemuan intensif oleh beberapa perempuan yang peduli dan prihatin terhadap minimnya akses, kontrol, dan penghargaan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Padahal, perempuan merupakan elemen penting dan menyatu dalam mata rantai sistem tata kelola hutan yang bersifat sosial,” kata Zubaidah yang akrab disapa Ida menjelaskan awal mula berdirinya Yayasan Beranda Perempuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut Ida, banyaknya penguasaan lahan dan hutan untuk perkebunan sawit dan industri  telah menyingkirkan sumber penghidupan  perempuan. “Misalnya perempuan kehilangan lahan pangan, tidak bisa lagi memungut hasil hutan, seperti rotan, damar, kayu, bahkan berbagai jenis tanaman obat yang penting bagi keberlanjutan hidup,” kata dia.

Lalu, ketika industri ekstraktif diberi peluang untuk menguasai dan mengeksploitasi hutan, di sisi yang lain perempuan mengalami pembatasan akses dan kontrol dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Ida mengakui, hingga kini Beranda Perempuan masih mengandalkan iuran dari anggotanya. Sejak 2011, organisasi ini melakukan pendampingan dan pendidikan pada perempuan petani yang menggarap lahan pinggiran kota, tepatnya di Kelurahan Paalmerah, Jambi.

“Mayoritas petani mengarap lahan sayur mayur dengan jumlah produksi yang semakin menurun. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya upaya pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap persoalan pasar dan harga yang masih ditentukan oleh tengkulak,” kata Ida. Akibatnya, menurut Ida, banyak perempuan mengeluh sulitnya membiaya anak-anak sekolah. “Hal tersebut menjadi dasar pikir didirikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) secara swadaya sebagai proses perjuangan perempuan untuk menyekolahkan anak-anak mereka.”  Dari sini, lahirlah Sekolah Embun Pagi.

Sekolah Embun Pagi

Menurut perempuan yang menyandang gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta ini, Sekolah Embun Pagi lahir dari kepedulian di antara perempuan untuk saling berbagi, meringankan beban dengan cara berorganisasi.

“Perempuan yang umumnya berstatus sebagai petani mengalami kesulitan ekonomi, karena merupakan petani tanpa tanah yang memanfaatkan lahan milik orang lain dengan sistem sewa tanah dan atau menumpang, dan konsentrasi hasil produksi hasil panen justru di kuasai oleh tengkulak yang sekaligus mengendalikan harga di tingkat petani,” kata Ida.

Minimnya pendapatan sebagai petani sayur itu, menurutnya, berimbas pada banyaknya anak usia dini yang tidak mendapatkan pelayanan untuk mengenyam pendidikan. Sekolah Embun Pagi berbentuk PAUD. Sekolah ini menerapkan kurikulum sesuai standar nasional, dan mengintegrasikan konsep agrikultur, di mana anak-anak bisa berinteraksi dengan alam sekitar.

“Yang dapat menghasilkan pembelajaran meaningfull dan usefull, yang dapat digunakan untuk menstimulasi peningkatan kecerdasan naturalis dan interpersonal anak,” kata Ida.

Ida menerangkan, Sekolah Embun Pagi tidak hanya menjadi ruang bermain dan belajar anak usia dini, tapi sekaligus menjadi tempat perempuan untuk belajar, dan mendapatkan informasi seputar hak kesehatan, pendidikan, dan politik.

Awalnya, tenaga pendidik berasal dari relawan Beranda Perempuan dan mahasiswa yang punya kepedulian terhadap pendidikan. Pada Agustus 2013, terbentuk pengurus dan pendidik sekolah yang terdiri dari enam orang berlatar pendidikan SMP dan SMA yang berasal dari keluarga petani sayur.

Mendidik Anak-anak Petani

Sepanjang 2011, Ida dan kawan-kawan relawan dari Beranda Perempuan mengajar tiga kali dalam seminggu, sembari membekali empat perempuan petani ilmu untuk menjadi guru. Mereka mengajar hari Senin, Rabu, dan Jumat pukul 15.00. “Melalui berbagai tahapan dan proses belajar di penghujung 2013 empat orang guru dari keluarga petani mulai percaya diri dan  mandiri untuk menjadi pendidik sekaligus pengelola sekolah,” kata dia.

 

Awal terbentuk Sekolah Embun Pagi, Ida dan kawan-kawannya memanfaatkan saung milik petani untuk kegiatan belajar-mengajar. Lalu, saat ini menempati sebuah bangunan di atas tanah wakaf di Kelurahan Paalmerah, Jambi.

Ida yang pernah aktif di Institute for National and Democracy  Studies (INDIES) Jakarta, Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Hongkong-Jakarta, dan Organisasi Keluarga Buruh Migran Yogyakarta ini menuturkan, guru dan pengelola sekolah sebanyak 5 orang. Sedangkan peserta didik sebanyak 15 orang.

“Jumlah anak didik semakin sedikit karena fasilitas minim. Sehingga orangtua lebih banyak mempercayakan anak mereka untuk bersekolah di PAUD lain,” katanya.

Ida mengakui, menjadi guru PAUD lebih sulit daripada menjadi dosen. Alasannya, berbagai penelitian telah membuktikan masa golden age adalah masa penting bagi perkembangan otak anak, artinya asupan pendidikan di usia tersebut sangat menentukan seperti apa masa depan anak.

“Jadi, sebagai guru saya merasa ditantang untuk memberikan ilmu dan sikap yang baik di depan anak-anak. Selain itu, guru PAUD harus bisa mengontrol emosional meskipun dalam kondisi lelah dalam menghadapi perilaku anak,” kata dia.

Ida salut. Meski para guru hanya berlatar pendidikan SMP dan SMA, tapi diakuinya mereka memiliki pengetahuan dan metode belajar yang kreatif, sehingga bisa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. “Metode belajar lebih cenderung mendekatkan anak-anak pada alam sekitar. Misalnya mengajak anak berkeliling di kebun sayur yang terletak tidak jauh dari lokasi sekolah. Mereka diajarkan bagaimana  menghargai mengenal dan berterima kasih kepada petani. anak-anak berinteraksi langsung mengenal jenis tanaman sayur dan segala manfaatnya,” kata Ida.

Menurut Ida, pemerintah setempat belum memberikan perhatian kepada inisiatif masyarakat mendirikan PAUD Sekolah Embun Pagi ini. Seharusnya, kata Ida, pemerintah meyambut baik dengan memberikan fasilitas dan prasarana lainnya untuk mengapresiasi proses perjuangan swadaya perempuan dalam mendirikan sekolah. “Tapi faktanya tidak,” keluh Ida.

Ida mengatakan, sebenarnya pengurus dan pendidik Sekolah Embun Pagi pernah melakukan dialog dengan instansi terkait. Mereka, saat itu meminta untuk akses paket C gratis bagi guru dan beberapa orang perempuan keluarga petani. Mereka juga meminta fasilitas bangunan, karena Sekolah Embun Pagi hanya memiliki dua ruang dan halaman yang sempit.

“Tapi pemerintah beranggapan bahwa permintaan kami tersebut belum menjadi kebutuhan mendesak untuk dibantu,” kata Ida.

“Penolakan” dari pemerintah setempat tak membuat aktivitas mendidik surut. Ida dan kawan-kawannya tetap berjalan sendiri. “Saya bangga menjadi guru di sini meski tidak bergaji. Karena semangat kolektifitas sesama guru adalah penyemangat yang tidak bisa dibayar oleh apapun,” kata Ida.

Saya tak mengenal Ida secara pribadi. Kami pun belum pernah bertatap muka, dan mengobrol secara langsung. Tapi, dari jarak kami yang jauh ini, saya bisa merasakan betapa ikhlas dan berartinya perjuangan dia mendidik anak-anak petani marjinal []

Foto: Akun Facebook Ida Zubaidah

Ikuti tulisan menarik Fandy Hutari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler