Menjadi Pemulung, tidak membuatnya direndahkan. Malah di lingkungan sekitarnya, ia disegani dan dijadikan guru bagi orang-orang sekitarnya. Dan harus diakui, ternyata dia tidak sekedar pemulung biasa. Ia adalah inspirator bagi setiap orang yang ada disampingnya.
Muttaqin Subroto (26) setiap pagi harus berkeliling mengais-ngais sampah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di usianya yang masih muda, ia tidak sedikitpun merasa malu atau minder jika harus ketahuan oleh banyak orang bahwa dia menjadi pemulung sampah. Pasti jika saya pada seusia dia, saya tidak akan mau menjadi sama seperti yang dia lakukan. Saya pasti memilih mencari pekerjaan lain dari pada menjadi pengais sampah di lorong-lorong jalanan.
Setiap pukul 04.00 WIB, ia bangun dan mulai gerilya masuk di lorong-lorong jalanan sambil membawa karung putih di pundaknya. Tong sampah satu dan seterusnya ia korek-korek sambil berharap ada sampah yang laku dijualnya. Pulang dari gerilya, ia lalu mengelompokkan hasilnya yang berupa sampah-sampah tadi sesuai jenisnya. Kertas koran, ia satukan bersama kertas koran lainnya. Botol yang masih bagus, ia kumpulkan bersama botol bagus lainnya. Sedangkan botol yang sudah rusak, ia lepas tutupnya dan ia kumpulkan seperti halnya apa yang ia lakukan pada sampah lainnya tadi. Setelah terkumpul cukup untuk makan, ia menjualnya di pengepul sampah kiloan.
Setelah menjual sampahnya, ia pergi ke gedung tinggi dan megah, yakni kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ternyata dia adalah mahasiswa di kampus itu. Saat ini ia semester empat belas (XIV) dan sebentar lagi akan ujian skripsi. Mungkin, semester ini insya allah akan yudisium; jawabnya saat ditanya kapan ujian skripsinya. Broto, biasa teman-teman memanggilnya, adalah mahasiswa Akidah Filsafat fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga, satu kampus dengan saya.
Selain mahasiswa, dia juga ternyata sibuk menjadi aktivis gerakan. Dia terbiasa melakukan advokasi-advokasi pedagang, KMK (Kaum Miskin Kota), pula buruh di Yogyakarta. Dia adalah kader dari organisasi kepemudaan, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Yogyakarta.
Dari sekian jalan carita hidupnya, saya teringat konsep intelektual organik yang diistilahkan oleh Gramsci. Sosok intelektual yang mambaur bersama rakyat dan turut berada di sisi rakyat ketika memperjuangkan kepentingan mereka. Broto, adalah cerminan yang mendekati konsep inteletual tersebut kiranya. Mahasiswa, yang dikira pemulung biasa itu, senyatanya adalah intelektual progressif revolusioner dengan karakter organisatoris dan berlatar belakang aktifis. Tidak seperti mahasiswa lainnya, yang sibuk pacaran, belajar di kelas, mengurung diri di kos-kosan, kuliah pulang-kuliah pulang atau kupu-kupu istilah lainnya. Mahasiswa yang layak dijadikan percontohan.
Ikuti tulisan menarik Mohammad Yusron lainnya di sini.