x

Iklan

Iwan Setiawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pak Eman Tak Ingin Jauh dari Posnya

Pintu perlintasan itu tak berpenjaga di masa lalu. Sejumlah korban telah jatuh. Pak Eman hadir dengan satu tekad. Ia ingin mengubah keadaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi yang sedikit bergerimis tak menyurutkan gerak Pak Eman. Rompi kuning menyala dan topi hitam jadi perlengkapannya bekerja. Di perlintasan kereta api itu ia berdiri mengatur arus kendaraan. Sepeda motor dan mobil tak henti melintas. Ibarat air, lalu lalang kendaraan tak berhenti tanpa disumbat. Pak Eman-lah sang “sumbat” yang mengatur arus kendaraan.

Keping-keping recehan atau lembar uang dengan nominal lebih besar ia terima untuk jasanya. Ada pula yang melambaikan tangan dan senyuman sebagai tanda terima kasih. Sapaan akrab sesekali dilempar para pelintas. Pak Eman terlihat hangat, ramah menyambut mereka yang menyapa.

Gerimis bertambah rapat. Arus kendaraan tak kunjung merenggang. Di pagi hari kesibukan mencapai puncak. Sesorot cahaya lampu terlihat seperti titik di kejauhan. Pak Eman sigap meraih palang pintu. Dibantu rekannya, Pak Dadang, ia menghentikan arus kendaraan dari dua arah. Dan berselang puluhan detik, cahaya lampu laksana titik itu mendekat dan semakin mendekat. Jerit terompet yang meningkahi raung suara mesin seakan memberi hormat pada “sang pengatur kendaraan”. Kereta Cepat Argo Wilis dari Surabaya pun melintas, diantara tatapan para pengendara motor dan pengemudi beraneka mobil.  

Begitulah keseharian Pak Eman. Bekerja sebagai “palang pintu hidup” telah puluhan tahun dijalaninya. Onggok rongsokan mobil yang terpajang di pinggir jalan seakan menegaskan motivasi lelaki tengah baya ini. Bagaikan monument, onggokan besi tua itu jadi pengingat para pelintas. Tertulis di sana “KORBAN KE: 9 SEBELUM DIJAGA. BANTULAH PENJAGA”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pak Eman tinggal tak jauh dari “pos” tempatnya bekerja. Sebagai penduduk asli, ia menyaksikan apa yang berlangsung di lingkungannya. Rangkaian peristiwa masa lalu yang mengenaskan, di sepanjang rel kereta api tak luput dari perhatiannya. Ia merasakan pedih dan perih para korban yang terseret kereta. Ia berempati pada nestapa kehilangan yang melanda keluarga korban. Ia ingin berbuat sesuatu untuk lingkungannya; Untuk orang lain yang melintas di perlintasan kereta api itu.

Berangkat dari keinginan untuk membantu sesama, sekitar tahun 1994 Pak Eman berinisiatif menjadi penjaga perlintasan partikelir. Menjadi penjaga pintu kereta yang tak diangkat dan digaji Negara. Rutinitas itu dijalaninya dengan sukarela, tanpa mengharap imbalan. Meski begitu, langkah Pak Eman tak selalu mulus. Pandangan miring tak jarang ditujukan padanya. Kehadiran Pak Eman dipandang hanya menghambat jalan yang tak terlalu ramai kala itu!

Pak Eman tak surut langkah. Ia tak patah semangat. Tekadnya kuat untuk menolong sesama. Seiring waktu, lingkungan tempatnya bermukim yang semula sepi, berkembang cukup pesat. Kawasan permukiman, institusi pendidikan, dan perniagaan seolah berlomba berdiri di sana. Hal ini tak pelak meningkatkan kesibukan di perlintasan yang ia jaga.

Waktu yang tepat datang dengan sendirinya. Hal ini dirasakan benar oleh Pak Eman. Gerak langkahnya yang semula dipandang sebelah mata kini mendapat tempat dan dihargai masyarakat. Pak Eman senang bukan kepalang. Hari-harinya kini dihabiskan di pos penjagaan sederhana yang ia bangun dari rupiah demi rupiah yang ia petik di pinggir jalan. Kicau burung Gagak, Love Bird, dan Perkutut menemaninya. Kandang dan sangkar tergantung rapi di posnya. Sepeda motor tua yang terawat apik setia mengantarnya.

Para pengendara yang melintas di Jalan Cisaranten, Bandung dapat melaju dengan tenang. Pak Eman, Pak Dadang dan ke enam rekannya bekerja bergiliran di sana. Mereka berada di posnya “mengawal” perjalanan 84 kereta yang lewat dalam sehari semalam. Bukan pekerjaan mudah tentu saja. Pada langkah kaki dan lambaian tangan mereka, bergantung keselamatan para pelintas. Pak Eman dan rekan telah berbuat untuk lingkungannya. Sudahkah kita membantu mereka, sebagaimana pesan yang terpampang pada “monument mobil terseret” itu?

#Tempo45

 

 

 
 
 
 
 
 
 
 

Ikuti tulisan menarik Iwan Setiawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler