x

Iklan

Budairi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gadis Itu Tuna Rungu, Bukan Tuna Hati

Kisah inspiratif tentang lika-liku seorang gadis tuna rungu parsial dalam menghadapi hidup dan kehidupannya berdampingan dengan orang-orang normal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia terlahir ke dunia tanpa bisa memilih. Apakah dilahirkan alam keluarga miskin atau kaya, apakah dilahirkan dengan memiliki jenis kelamin laki-laki atau perempuan, apakah dilahirkan dalam keadaan normal atau berkebutuhan khusus. Semua itu bukanlah suatu pilihan yang dapat dipilih.

Di ujung selatan kota Salatiga, terlahirlah seorang gadis yang tak bisa memilih dalam kondisi apa dia akan dilahirkan. Ia menyapa dunia dengan keadaan tuna rungu parsial. Pendengarannya tidak sempurna. Ia masih bisa mendengar suara-suara yang ada disekitarnya namun tidak bisa menerjemahkan ke dalam sesuatu isyarat yang bisa dipahaminya. Jangankan membedakan suara orang, membedakan panggilan "mak" dan "pak" saja tak mampu dilakukannya.

Widi Utami, sebuah nama yang disematkan padanya oleh kedua orang tuanya. Nama yang berarti pemimpin yang utama itu dipilih ayahnya dengan harapan kelak ia bisa menjadi seorang yang bisa ngemong (mengasuh dalam arti memimpin atau membimbing) orang lain. Minimal bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sukamto, Ayah Widi adalah seorang yang visioner. Melihat anaknya yang berkebutuhan khusus tak lantas membuatnya down. Ia masih melihat potensi yang dimiliki anaknya. Berbekal pengetahuan dan pengalamanan yang dimilikinya, ia berusaha menggembleng anaknya dengan penuh keyakinan. Ia pun mendaftarkan anaknya ke sekolah formal umum. Bukan karena malu atau jaim dengan tetangga, tetapi karena dorongan visinya yang jelas.

Pahit getirnya kehidupan menjadi seorang tuna rungu telah dirasakan Widi sejak ia masih belia. Ia sering dikucilkan teman-teman yang merasa jengkel ketika ia berkali-kali tak bisa memahami apa yang dikatakan mereka. Kekerasan fisik pun tak jarang ia terima dari teman sepermainan ataupun teman sekelasnya.

Masa awal ia mengenyam dunia pendidikan di kelas formal adalah masa yang pahit baginya. Disamping ia harus bersosialisasi dengan teman-teman barunya, ia juga harus berjuang untuk beradaptasi agar bisa berdampingan menimba ilmu dengan teman-temannya yang memiliki pendengaran normal. Pernah suatu hari ia dipukul temannya dari belakang yang memberitahunya kalau dipanggil ibu guru berkali-kali tak dijawabnya. Ia yang kaget bercampur malu seketika itu menangis meronta. Kejadian demi kejadian yang membuatnya tertekan sempat membuatnya merengek pada orang tua untuk berhenti sekolah namun ditolak.

Pengucilan, hardikan, hinaan, perlakuan kasar, dan hal lain yang tidak mengenakkan hatinya membuat ia merasa terasing di lingkungan masyarakat tempat ia tinggal maupun tempat menimba ilmu. Hal ini kemudian membuatnya kesepian hingga membuat ia mempersonifikasikan benda-benda di sekelilingnya menjadi teman yang bisa diajaknya berbicara. Ketika ia sudah mampu membaca, ia lebih memilih menghabiskan waktunya dengan buku daripada ikut bermain dngan teman-temannya. Kebiasaan ini yang kelak membuatnya mampu bersaing dengan teman-temannya yang memiliki pendengaran normal. Secara akademis, ia termasuk siswa yang selalu berpretasi di seluruh jenjang pendidikannya.

Takdir memang tak dapat ditolak. Terlahir di indonesia sebagai gadis tuna rungu parsial bukanlah pilihannya. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia sorang deaf yang nekat memilih pendidikan di jalur reguler, bukan SLB. Ia pun harus siap diperlakukan sama dengan teman-teman lainnya termasuk ujian mendengarkan (listening) pada ujian bahasa Inggris ketika Ujian Nasional berlangsung di sekolahnya. Meskipun ia bersikeras mengajukan dispensasi, ia tak bisa mendapatkannya.

Perjuangan Widi untuk mendapatkan pendidikan tidak sebatas di sekolah formal. Di luar itu, sebagai seorang muslimah, ia harus berjuang belajar aksara asing agar bisa membaca kitab sucinya. Berbulan-bulan masa yang dibutuhkan hanya untuk bisa membedakan antara ain fathah dan hamzah fathah dan huruf lainnya yang memiliki kemiripan bunyi serta makhrojnya. Namun, ia masih beruntung di sini. Guru ngajinya lebih bijaksana. Ia diperlakukan khusus sesuai kondisi yang dialaminya.

Kegigihannya dalam mencari ilmu serta dukungan orang tua yang tak pernah surut membuat Widi mampu berkembang secara baik. Ia pun bisa membaur dengan orang-orang sekitar melalui organisasi kepemudaan, organisasi kampus, ataupun komunitas-komunitas yang dianggapnya positif. Ia dibantu salah satu penerbit dari Jogja membuat sebuah buku berjudul "Mahkota untuk Emak' untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering didapatkannya dari teman-temannya. Terutama dari mereka yang merasa kagum atas kegigihannya seorang deaf menimba ilmu dan membaur dengan orang-orang normal hingga ia mendapat beragam prestasi.

Kemampuannya dalam menguasai ilmu umum dan ilmu agama membuat masyarakat akhirnya merubah sudut pandang dan perlakuannya. Ia seringkali diminta untuk mengajar les/private anak-anak tetangga. Ia juga diminta untuk mengajar baca Al-qur'an anak-anak tetangganya. Disela-sela jadwal kuliah yang padat dan acara-acara organisasi yang juga meningkat, ia merelakan diri untuk berbagi ilmu dengan anak-anak itu tanpa provit oriented.

Di dunia akademis, dua kali ia dipercaya oleh pihak kampus tempat ia menimba ilmu mendapat dana hibah untuk penelitian. Bersama teman yang dipilihnya, ia membuat tim penelitian mengenai pendidikan. Namun, sekali lagi nasib taplah nasib. Ia terlahir di Indonesia yang menempatkan suatu penelitian hanyalah sebatas mengumpulkan data dan membuat laporan. Jangankan ada tindak lanjut atau aplikasi, disosialisasikan ke akademisi lain sebagai bahan rujukan pun masih langka.

Mengingat lika-liku kehidupannya yang begitu dramatis, Widi bercita-cita mendirikan sebuah komunitas belajar "Rumah Pelangi" untuk mewadahi anak-anak yang memiliki beragam karakter dan anak-anak berkebutuhan khusus agar bisa belajar dan mendapat haknya dalam menuntut ilmu sesuai kapasitas dan karakternya masing-masing. Beberapa hari terakhir, ia mendapat kabar dari salah satu teman deaf kalau Bahasa Isyarat Indonsia (Bisindo) akan dihapus dari Undang-Undang. Ini juga akan menjadi tantangannya untuk ikut memperjuangkan Bisindo agar tetap diberlakukan pada undang-undang bersama teman-teman deaf dan orang-orang yang peduli dengan nasib anak-anak deaf. Semoga berhasil.

Ikuti tulisan menarik Budairi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler