x

Iklan

Muhammad Subhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kala Mengajar Menjadi Panggilan, Gunung Pun Bukan Penghalang

Tentang seorang guru honorer yang bergaji kecil namun tetap semangat mengajar anak-anak di pedalaman Pangkep #Tempo45

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjadi guru adalah panggilan jiwa. Jika seorang menjadi guru karena keterpanggilan jiwanya, maka tak ada alasan baginya untuk berhenti mengajar dan mendidik siswanya agar menjadi manusia yang berguna bagi orang lain. Jika mengajar adalah panggilan jiwa, gunung dan jurang bukan alasan untuk datang terlambat ke sekolah.

Itulah gambaran awal ketika saya bertemu dengan Abdul Azis, seorang guru honorer di Kampung Bung, Kelurahan Bontoa, Kecamatan Minasa Tene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Kampung BUng sendiri adalah sebuah wilayah terpencil yang terletak disebelah timur ibu kota Kabupaten Pangkep, Pangkajene. Kampung yang dihuni sekitar 50an kepala keluarga ini merupakan wilayah pegunungan. Untuk sampai di Kampung ini, tak ada akses jalanan untuk kendaraan, siapa pun yang mau kesana harus berjalan paling cepat 90 menit. Seorang kawan blogger yang juga teman mengajar di tempat itu mengenalkannya padaku.

Tak ada keluhan, yang nampak dari raut wajahnya adalah semangat hidup. Kedua bola matanya bersinar menyala-nyala menceritakan kisahnya menjadi guru honor di tempat terpencil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

SD Kampung Bung merupakan SD terpencil kedua yang menjadi tempat mengajar Pak Guru Azis. Tak ada aliran listrik, apalagi sinyal wifi disana. Sebelumnya ia mengajar di SD Kampung Padang Tangnga Raya, Desa Tompo Bulu, Kecamatan Balocci. Desa ini merupakan desa terakhir atau kaki gunung dari Gunung Bulusaraung, puncak tertinggi di Kabupaten Pangkep.

Total sebelas tahun guru honorer yang bergaji Rp150 ribu sebulan yang diterimanya setiap triwulan ini menghabiskan waktunya mengajar di dua kampung yang berada diatas gunung ini. Delapan tahun dia habiskan di SD Kampung Padang Tangga Raya dan sisanya di SD Kampung Bung, tempatnya sekarang.

Kala pagi masih buta, ia dengan jaket dan sepeda motornya melaju menembus dingin udara pagi untuk pergi mengajar. Jalan rusak atau hujan tak menghentikannya untuk segera sampai di sekolah. Wajah lugu bocah pedalaman yang tersenyum menyambutnya setiap pagi menjadi semangat untuk segera sampai di sekolah yang hanya mempunyai tiga ruang kelas tersebut. "Saya selalu rindu sama anak-anak. Sambutan mereka setiap pagi menjemput saya seperti enegri baru. capekku langsung hilang," kata Azis tersenyum.

"Mungkin saya ditakdirkan mengajar di kampung-kampung terpencil, sebelum di Bung saya di kaki gunung Bulusaraung. Saya jalani saja, saya ikhlas," ujarnya.

Ia berkisah pernah suatu waktu ban depan sepeda motornya pecah sementara tak ada tukang tambal ban disekitar lokasi tersebut. Terpaksa bersama sejumlah rekan guru, sepeda motornya harus ditandu hingga kejalan besar dan kembali dia pakai untuk mencari tukang tambal ban.

Sebenarnya ia adalah guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Tapi, karena lokasi yang jauh tak jarang ada rekan gurunya yang tidak datang mengajar. Ia harus tampil menjadi guru pengganti.

Untuk menutupi kebutuhan hidup bersama seorang istri dan aseorang anaknya, Azis juga harus berkebun. Sepetak kebun dari orang tuanya ditanaminya palawija sepeti jagung dan kacang. Setiap akhir pekan ia pergi ke kebunnya untuk merawat tanaman dengan harapan hasilnya nanti bisa menutupi biaya hidup.

Berstatus guru honor, tak membuatnya patah semangat. Baginya menjadi guru bukan soal mengejar status tapi bagaimana mewujudkan niat. Dan hal itu dibuktikannya dengan sungguh-sungguh. Saat sebagian guru lain sibuk memperjuangkan dana sertifikasi atau pergi berdemo agar diangkat menjadi PNS, dia tetap pada tugasnya; mengajar. Mengajar dan mendidik anak-anak kampung di pedalaman bagi Azis bukan hanya kewajiban tapi sebuah kehormatan.

"Tidak semua orang diberi kesempatan berbagi ilmu dengan orang kesulitan mengakses ilmu, mengajar di sana adalah kehormatan besar. Saya berharap suatu waktu nanti ada murid saya yang jadi pejabat di kota,"pungkasnya. #TEMPO45

Ikuti tulisan menarik Muhammad Subhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB