x

Iklan

Lutfi Retno Wahyudyanti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sekolah Gratis untuk Anak-anak di Bogor

Cerita tentang Munnawar M Ali, pengelola sekolah Rakyat Bogor. Ia dan rekan-rekannya mendirikan 23 sekolah gratis di pelosok Bogor untuk anak tidak mampu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Namanya Munnawar M Ali. Saya mengenal pria asal Bima tersebut saat ia menjadi pembicara sebuah pertemuan pemimpin muda. Saya tertarik mendengar tentang jaringan sekolah gratis di Bogor yang ia kelola. Saat ini, ada 23 sekolah terbuka setingkat SMP dan SMA bergabung dalam bendera Sekolah Rakyat Bogor. Waktu itu, saya sempat tidak percaya saat mendengar di Bogor ada anak-anak yang tidak memiliki akses ke sekolah lanjutan. Bukankah daerah tersebut hanya selemparan batu dari ibukota Jakarta?

Sekolah Rakyat Bogor yang pertama berdiri tahun 2002. Waktu itu Pak Munnawar dan rekan-rekannya datang ke di Desa Tangkil, Carigin untuk berbisnis pertanian. Saat menyiapkan lahan, mereka melihat banyak anak putus sekolah. Penasaran, ia kemudian mencari tahu. Kawasan tersebut ternyata tidak memiliki SMP. Orangtua enggan menyekolahkan anaknya ke SMP karena jaraknya jauh dan mereka tidak memiliki biaya. Selain itu, penduduk desa terbiasa menikahkan anaknya pada usia muda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pendidikan bukan hal yang penting di sana. Penduduk beranggapan sekolah merupakan pemborosan biaya. Daripada membuang waktu untuk sekolah, mereka lebih menginginkan anaknya bekerja menjadi pembantu atau pekerjaan kasar lain agar lekas mendapat uang. Pak Munawar yang sejak dahulu bercita-cita ingin memiliki sekolah kemudian mengajak rekan-rekannya untuk membuat semacam sekolah darurat. Ia berkunjung ke kepala desa dan mengumpulkan penduduk. Mereka menyatakan ingin membuka sekolah. Sekolah mulai beroperasi pada bulan Juni 2002 dengan 35 anak terdaftar sebagai murid. Bangunannya meminjam gedung sebuah Madrasah.

Sekolah tersebut berbentuk Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM). Supaya muridnya memiliki ijasah dan bisa melanjutkan sekolah, mereka menginduk pada SMP lain. Mengajak sekolah bukan hal yang mudah di kalangan orang yang berpikir instan. Tidak sekali dua kali, ada anak dijemput pulang orangtuanya di tengah jam belajar. Untuk bekerja atau mencari makanan kambing. Bagi orangtua mereka, kambing bisa beranak dan memberikan uang dalam waktu enam bulan. Tidak seperti sekolah.  

 Guru-guru pertama sekolah ini awalnya terdiri atas relawan. Mereka tinggal di mes dan digaji seadanya karena sekolah ini mengandalkan donasi untuk operasionalnya. Ada seleksi alam. Guru-guru datang dan pergi dengan alasan masing-masing. Tahun-tahun pertama sekolah, Pak Munnawar juga mengajar di sana tiap hari.

Di lain waktu, saat bertemu Pak Munnawar, saya bertanya kenapa ia tertarik membuat sekolah. Ia bercerita kalau dirinya mengidolakan sang ayah. Ayahnya seorang guru yang berdedikasi. Tiap hari sang ayah bersepeda puluhan kilo untuk mengajar. Hingga kini di usianya yang ke 80 tahun, beliau masih melakukan hal tersebut di Bima sana. 

Teryata, beberapa lokasi di Bogor memiliki permasalahan serupa. Ada orang-orang yang prihatin dengan tingginya putus sekolah di daerah yang jauh dari kota dan mendirikan sekolah. Latar belakang mereka macam-macam. Mulai dari pensiunan, kepala desa, sampai PNS. Orang-orang ini kemudian mengumpulkan dana pribadi atau dari teman dan kerabat. Bangunan-bangunan sekolah ini bervariasi. Ada yang bangunannya meminjam rumah kosong, patungan membuat saung sederhana, bahkan memakai ruangan sebuah wihara.

Pengurus 4 buah TKBM kemudian memutuskan membentuk lembaga bernama Sekolah Rakyat Bogor. Kata Sekolah Rakyat dipilih karena mereka menggarap anak-anak miskin yang tidak mendapat akses pendidikan dan inisiatif tersebut datang dari rakyat. Pak Munnawar kemudian ditunjuk sebagai Ketua Umum Yayasan. Tiap menjadi pembicara di sebuah pertemuan atau media massa, ia selalu mengkampanyekan pendidikan merupakan hak setiap anak. Terutama untuk anak-anak tidak mampu yang tempat tinggalnya jauh dari sekolah-sekolah milik pemerintah. Adanya yayasan ini membuat beberapa orang yang miris melihat angka putus sekolah di pelosok Bogor tertarik untuk membuat sekolah serupa. Kini, jumlah sekolahnya mencapai 23 buah dengan 200-an guru dan jumlah murid lebih dari 2000 orang.  

 

Ikuti tulisan menarik Lutfi Retno Wahyudyanti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB