x

Iklan

Fadli Rais

Mahasiswa sekaligus jomblo tingkat akhir
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Lelah Memotivasi Siswa

Sosok yang selalu menyiramkan kedamaian pada siswa-siswi.“Ini awal yang baik, nak. Terus berproses dengan bakatmu. Kalian sedang menuju itu, usahakan fokus

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Matahari masih urung untuk menyinari alam raya. Embun-embun berjatuhan di area persawahan seluas lima hektar.  Jalanan yang kanan kiri areal persawahan menjadi saksi bisu selama menimba ilmu di sebuah sekolah menengah kejuruan. Jarak sekolahan mencapai 26 km, harus ditempuh dengan motor bebek buatan Honda tahun 1996 sekitar 30 menit.

Sekolah Menengah Kejuruan konsentrasi Bisnis dan Manajemen. Popular kala itu, Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) 1 Karangnyar. Letaknya dibibir jalur utama pantai selatan tepatnya Jalan Revolusi. Tempat menimba ilmu yang tidak pernah ku bayangkan setelah lulus SMP. Apa daya, semua jalur masuk SLTA Negeri lainnya bukan prioritas karena keadaan saat itu harus banyak istirahat setelah di landa penyakit.

Hari-hari menjalani kehidupan bermasyarakat di sekolah. Aku di kenalkan oleh salah satu kakak kelas dengan guru seni budaya. Agung Prasetyo nama itu yang ku dengar. Wajahnya sumringah, tangan kanannya membawa sebuah pensil staidler serta tangan kiri membawa kertas A4. Tidak begitu tertarik dengan dunia gambar-menggambar, di ruangnya hanya bengong melihat anak didiknya selalu hyper active serta latihan menyanyi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beliau yang menjadi satu-satunya guru seni saat itu.  Menjadi begitu digandrungi oleh anak-anak dari berbagai angkatan, baik itu muda ataupun tua. Sosok ke-ayah-an begitu terlihat saat mereka di ajari sesuatu.  Baik berupa kesenian maupun nasehat-nasehat sebelum ganti jam pelajaran. Meskipun pada awalnya pelajaran seni tidak begitu disukai oleh penulis, tetapi mellihat beliau bermain keyboard berkolaborasi dengan anak-anak paduan suara sangat merdu.

Memandang kawan-kawan yang sedang latihan suara 1 dan suara 2 membuatku duduk melamun berkawan dengan buku. Sesekali memalingkan buku, untuk melihat mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mengheningkan Cipta. Belasan kali aku mendengar mereka mengulang-ulang lirik tersebut membuat endapan angin membuat rasa kantuk tak bisa tertahan. Aku pun tertidur pulas di meja berukuran 2 X 1.

“Is, sudah sore ?”

“Is, sudah sore ?”

Suara itu membuyarkan mimpiku. Tangan meraih muka untuk membersihkan luapan air liur yang menjelajah hingga jidat.  Malu bukan kepalang, di depan seorang guru.  Kebiasaan tidur  yang selalu ngiler ketahuan. Suasana sudah sepi, teman-teman paduan suara sudah meninggalkan tempat. Kakak kelas yang mengajak ke ruang seni budaya sudah entah dimana.  Aku langsung pamit untuk keluar dari ruangan tersebut.

“Is, wadah susu kedelai-nya, ketinggalan ?”

“oh, iya pak”

Lantas kembali ke tempat aku tertidur untuk mengambil sepasang wadah susu kedelai yang selalu menemaniku sekolah.

Keesokan harinya, aku dicari oleh kakak kelas bernama Eka Nurohmah   Dia mencariku ke kelas, waktu istirahat. Aku jarang sekali dikelas saat istirahat, sebab aku sedang keliling berdagang. Untung saja, ada teman yang mengabarkan bahwa sehabis istirahat aku dipanggil untuk ke ruang seni budaya.  Hanya informasi itu saja yang ku dapat, tidak ada keterangan lanjutan untuk membawa apa.

“Rais, pernah pengalaman main teater ?”

“Pernah. Waktu di pondok, tetapi hanya untuk hiburan, Pak”

Percakapan tersebut memulai pertemuan bersama empat kawan masing-masing bernama, andin (seangkatan), Dewi (kakak kelas), Evi (kakak kelas), serta Eka (kakak kelas). Wajah-wajah kakak kelas yang asing bagiku, yang ku kenal hanyalah Andin. Siswi yang hebat dalam menyampaikan story telling di depan anak-anak MOS.  

Dua minggu, adalah latihan teater untuk lomba ke Semarang.  Dua minggu itu pula aku bisa sehari-hari bercengkarama dengan Pak Agung. Beliau sungguh lihai memerankan satu per satu tokoh yang ditulis dalam naskah.  Meskipun beliau sarjana seni rupa murni, di salah satu perguruan tinggi negeri. Beliau justru mempelajari keseluruhannya sejak kuliah.  Keahlian menggambar, memainkan alat-alat music mulai dari gitar, key board, dan drum. Belajar dua minggu drama, selama itu juga aku bisa melihat bahwa beliau salah satu sarjana seni yang berkompenten di bidangnya.

Waktu yang dibilang cukup singkat. Untuk latihan teater selama dua minggu ditempa dengan latihan menghafal teks, mental serta berperan dengan natural. Pak Agung selalu mengulangi kata-kata yang sama setiap pertemuan, tetap belajar ini sebuah proses yang harus dilalui. Suatu saat akan bermanfaat bagi kalian.

Sampai-sampai, sebelum naik panggung untuk menampilkan sebuah drama bertema “Bahaya Pergaulan Remaja”. Beliau memberikan semangat untuk anak-anaknya. Lakukanlah dengan penuh keyakinan, kita bukan diciptakan untuk menjadi juara, melainkan untuk meraih kejuaraan itu.  Aku mendengar kata-kata tersebut menambah daya semangat untuk tampil kali pertama di panggung kejuaraan drama se-provinsi Jawa Tengah.

Walaupun pada akhirnya, belum bisa mendapatkan juara. Pak Agung merangkul kami semua. Beliau kembali mengeluarkan kata-kata yang membuat kita tidak down.

“Ini awal yang baik, nak. Terus berproses dengan bakatmu. Kalian sedang menuju itu, usahakan fokus dan tetap berlatih”

Seperti  anak-anak kecil sedang kepanasan. Tiba-tiba hujan mengguyu tanpa syarat apapun.  Sosok Pak Agung, yang sering di panggil Ayah oleh anak-anak. Memang begitu bersahaja dengan anak-anak dalam keadaan apapun.  Sosoknya yang periang, selalu memberikan pada kenyamanan bagi anak didiknya yang sedang di ampunya.

Mulai kelas satu semester dua.  Mata pelajaran Seni Budaya di ajarkan secara berkala hingga kelas tiga semester pertama. Saat pertama memasuki ruang kelasku, beliau hanya menyuruh murid-murid untuk memperkenalkan diri dan hobi masing-masing.  Selama empat semester ku lalui, kebiasaan memotivasi siswa dengan kata-kata dilakukan sebelum bel pergantian jam. Siswa-siswa yang memiliki bakat seni, sangat antusias ketika beliau mengajarkan, memainkan alat musik, menggambar sketsa wajah, atau membuat keterampilan.

Setelah menginjak kelas tiga semester awal. Guru satu ini selalu berpesan kepada siswa-siswanya. Untuk memikirkan sejak dini tentang masa depan atau setelah lulus. Apakah akan melanjutkan kuliah ? Atau melanjutkan kerja ? .  Karena kedua itu adalah pilihan masing-masing, pada intinya beliau berpesan agar sebisa mungkin melanjutkan ke jenjang berikutnya. Karena pendidikan akan meningkatkan derajat kita.

Sejenak aku teringat status yang pernah di tuliskan beliau “ Bahagia melihat anak2ku tumbuh semakin dewasa. Terimakasih sudah mampir dan berbagi. Banyak doa & harapan untuk kalian”

Ikuti tulisan menarik Fadli Rais lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler