x

Iklan

Muhammad Fauzan Abdullathif

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Warung Amal Budhe Goceng, Makan Sepuasnya Cuma Lima Ribu

Kisah Ibu Sutinem sang pemilik warung amal di Bintaro

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Melemahnya nilai rupiah membuat inflasi dalam negeri kian meninggi, akibatnya harga beragam macam kebutuhan naik, tak terkecuali sayuran, beras, lauk-pauk dan bahan pangan lain. Terlebih lagi untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya yang  tak punya lahan produksi pangan sendiri, semuanya harus dikirim dari daerah lain. Pengiriman ini pun kian menambah beban harga, maklum saja, untuk mengirimnya butuh kendaraan dan bahan bakar.

Berdasarkan data sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta 2015, Jakarta mengalami kenaikan jumlah penduduk dari 9.607.787 jiwa pada tahun 2010, hingga mencapai jumlah 10.075.300 jiwa pada tahun 2014. Hal ini tentu mengakibatkan permintaan bahan pangan di wilayah Jakarta dan sekitarnya meningkat. Angka permintaan yang kian tak terkejar membuat harga pangan di Jakarta menjadi sangat mahal.  Maka tak heran jika BPS menyebutkan bahwa Jakarta adalah kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia dengan rata-rata pengeluaran mencapai Rp7,5 Juta per bulannya.

Banyaknya lembaga pendidikan dan sekolah yang terkenal bagus di Jakarta, tak membuat anak-anak dari daerah lain patah semangat untuk berbondong-bondong menuntut ilmu di sana. Namun pelajar dan mahasiswa daerah yang umumnya masih mengandalkan kiriman uang dari orang tua ini, tentu akan sangat kewalahan beradaptasi dengan harga pangan yang dijajakan oleh beragam warung makan. Biasanya di daerah lain uang Rp10.000 sudah bisa membuat perut puas dengan aneka makanan dan jajanan, tapi di Jakarta uang segitu mungkin hanya dapat satu atau dua jenis cemilan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di tengah masalah itu, rupanya masih ada insan berhati mulia seperti Ibu Sutinem atau biasa disapa Budhe Goceng. Wanita asal Wonogiri Jawa tengah ini sudah 11 tahun lebih ‘beramal’ warung makan di rumahnya. Sasarannya siapa lagi kalau bukan mahasiswa yang banyak nge-kost di sekitar tempat tinggalnya. Berawal dari keprihatinan terhadap dirinya sendiri saat pertama kali pindah ke Jakarta, ia mencoba membantu anak-anak (red- mahasiswa) di sekitar tempat tinggalnya untuk tidak merasakan ‘kepahitan’ yang ia alami dulu. Ia setiap hari memasak lebih agar anak-anak bisa makan secara teratur dan terasa ringan saku.

“Buka warung makannya udah dari awal kampus meteo itu pindah le, budhe cuma pengen bantu anak-anak yang nge-kost di daerah sini, kasian mereka gak ada yang ngurusi makannya.”

Sejak awal kepindahan kampus kedinasan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) ke Komplek Meteo Dephub Bintaro pada 2004 lalu, Budhe Goceng tak pernah sepi dari peminat. Wajar saja, ia tak pernah mengenakan biaya lebih dari Rp5.000 per porsi makan sepuasnya. Walaupun pada akhir tahun 2015 kemarin, budhe sudah menaikkan harganya menjadi Rp6.000, tapi tetap saja warung makan yang terletak di jalan Wadassari 3 no.2 ini tidak pernah sepi pengunjung. Selain karena harga yang terjangkau, warung budhe goceng ini tak pernah membatasi porsi makanan pembeli, bahkan pembeli disambut layaknya keluarga sendiri.

“Ya yang makan di sini kan bukan orang lain toh le.”

Tak heran maka jika pembeli bebas dan nyaman duduk di mana saja, meski sudah disediakan tempat duduk seperti pada warung makan umumnya. Spot teramai berada di ruang tengah rumahnya, karena selain luas juga terdapat televisi. Kalau sudah begitu biasanya budhe akan ikut duduk sambil bercengkrama bersama.

“Le nambah le, masih banyak tuh makanannya.”

Kata-kata khas ini terus keluar dari lisannya saat membuka obrolan, sambil menemani anak-anak menikmati hidangan, biasanya budhe akan menanyakan dan mendengarkan seluruh keluh kesah mereka selama tinggal jauh dari keluarga.

“Kalo itung itungan untung mah gak ada untungnya, yang penting uangnya bisa buat belanjaan lagi terus masak lagi.” Kata budhe saat kami tanyakan berapa keuntungan yang didapat.

Aneka makanan yang dihidangkan pun cukup beragam, meski agak terlihat kampungan, tapi rasa dan gizi yang terkandung di dalamnya tak kalah dengan masakan restoran.

Menu tiap harinya sangat variatif, terkadang kalau sedang beruntung kita bisa menikmati hidangan ayam, daging, sop, atau soto, tapi terkadang kalau sedang ‘apes’ cuma dapet telor, tahu, tempe, sambel, sayur, dan kerupuk. Namun tetap saja, itu pun sudah lebih dari cukup. Mungkin selain untuk subsidi silang hari, agar pembeli tidak bosan dengan menu yang dihidangkan.

Banyaknya pembeli yang datang dan berlangganan makan, tak lantas membuat niat awal budhe berubah. Tenaga yang ia curahkan pun seolah tak kenal lelah. Di tengah tubuhnya yang kian renta dan papah, serta harga pangan yang kian tak terjamah, ia tetap saja mau bersusah payah untuk beramal secara istiqomah. 

Di usianya sekarang yang sudah menginjak 62 tahun, tak pernah terbetik di hatinya untuk pensiun. Di saat kekuatannya kian menurun, ia justru beramal lebih tekun. Walau raganya kian renta, tapi semangatnya justru kian membara.  Entah sampai kapan ia melakukannya, tapi yang pasti, semangat yang berkobar di dadanya tak kan pernah padam ditelan masa, sampai mungkin Tuhan memanggilnya. Karena baginya, ketulusan berbagi dengan sesama adalah segalanya.

Ya, Budhe Goceng hanyalah contoh kecil insan berhati mulia yang sangat menginspirasi, niat tulus berbagi yang ia miliki sudah selayaknya mendapat apresiasi. Tak harus menunggu pemerintah yang bergerak memberi, karena apresiasi tak melulu dengan piagam, piala, ataupun donasi. Ketulusan harus dibalas ketulusan, senyuman dibalas dengan senyuman, dan segala sesuatu harus dibalas setimpal dengan apa yang diberikan. Mungkin, banyak orang bisa melakukan hal serupa, membuka warung makan murah dengan porsi sepuasnya, tapi tentu ketulusan yang Budhe berikan takkan pernah sama.

Artikel yang saya tulis dalam rangka memeriahkan Lomba Blog Figur Inspiratif Tempo45 ini adalah berdasarkan wawancara langsung yang saya lakukan bersama teman saya, Kurdiyan. Artikel ini saya tuliskan berdasarkan kenyataan di lapangan dan tanpa dilebih-lebihkan. Jika para pembaca tertarik menemui langsung sang figur inspiratif ini untuk sekedar berbincang atau ikut menikmati menu makanan yang dihidangkan, silahkan datang ke rumahnya di Jl. Wadassari 3 No.2 RT09 RW02, Pondok Betung, Bintaro. 

Tempo45

Ikuti tulisan menarik Muhammad Fauzan Abdullathif lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB