x

Iklan

Ignasia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aprila Wayar, Novelis Perempuan Papua Pertama

Ia menjadikan novel sebagai media menyuarakan Hak Asasi Manusia di Papua.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berangkat dari sejarah, dikisahkan dalam bentuk novel. Ia ingin pembaca lebih mencerna peristiwa yang sebenarnya terjadi di Papua.

Pengalaman membaca novel berjudul Sali yang ditulis Dewi Linggarsari, novelis Asmat berdarah Jawa membuat Aprila Wayar gemas. Sali, alat penutup kelamin perempuan suku Dani berupa rumbai-rumbai, dalam pandangan Aprila kurang sesuai dengan kondisi Asmat. Seharusnya penulis menggunakan bahasa Asmat untuk judul buku tersebut. “Novel ini tidak memberikan pencerahan, membuat orang berpikir salah tentang Papua,” tutur Aprila.

Dilahirkan di Jayapura, 15 April 1980, Aprila menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasca menyelesaikan S1 Ekonomi di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, ia kembali ke Jayapura. Sekian lama tinggal di luar Papua, Aprila mengetahui pandangan masyarakat mengenai Papua. Ada kesadaran yang muncul dari dalam dirinya bahwa masalah yang sebenarnya terjadi di Papua tidak terekspos di media massa Indonesia maupun luar negeri. Kondisi riil masyarakat Papua, bagaimana mereka melihat negara dan pemerintah, berbagai kebijakan untuk Papua, hingga banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Papua tanpa adanya penyelesaian. “Orang Papua hidup dalam trauma yang panjang, dari satu kekerasan ke kekerasan lain. Kekerasan itu hampir terjadi setiap hari. Hal ini merupakan keprihatinan saya sebagai anak Papua,” ujar Aprila.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak duduk di bangku SMP, Aprila hobi menulis cerita pendek dan cerita bersambung. Berlanjut saat kuliah, opini-opini yang ditulisnya dimuat di berbagai media di Yogyakarta. Hingga Aprila yang gemar membaca novel sejak kecil itu terpikir untuk menuliskan masalah Papua dalam bentuk lain yaitu novel. Menurutnya novel mampu mengemas cerita yang lebih ringan sehingga orang lebih mudah mengikuti apa yang dituliskannya.

Dua novel telah ditulis Aprila yaitu Mawar Hitam Tanpa Akar (terbit 2009) dan Dua Perempuan (2013). Ia tak menyangka novel Mawar Hitam Tanpa Akar telah mengantarkannya menjadi salah satu dari 15 penulis Indonesia yang lolos dalam Ubud Writers and Readers Festival 2012. Aprila tidak menulis novelnya dalam logat Papua dengan tujuan membicarakan persoalan Papua untuk orang non-Papua. Dengan demikian mereka tidak lagi melihat orang Papua sebagai separatis dan primitif. “Papua itu benang kusut. Kalau ingin memahami Papua kita perlu waktu dan referensi untuk tahu apa yang sebenarnya,” tutur Aprila.

Sumber daya manusia Papua yang punya potensi harus bergelut dengan ketidakmampuan secara finansial sementara pemerintah tidak memberi dukungan yang cukup. Pelabelan separatis yang diberikan pemerintah melalui media massa sangat memenjarakan dan membelenggu orang Papua. Aprila ingin menunjukkan banyak cara yang bisa ditempuh sebagaimana yang dilakukannya. Ia mengutip kata-kata Koordinator Jaringan Damai Papua, Pater Neles Tebay bahwa Papua butuh orang yang memulai sesuatu. “Ketika saya memulai sesuatu, saya berharap ada orang lain melakukan hal yang sama,” tutur Aprila.

Aprila mengisahkan, novel Mawar Hitam Tanpa Akar ditulis saat dirinya tengah menyelesaikan skripsi. Sementara novel Dua Perempuan diselesaikan sambil bekerja sebagai wartawan di JUBI dan peneliti di Litbang FOKER LSM Papua. Dua novel itu masing-masing dirampungkan dalam delapan bulan, sempat terputus karena kesibukan. Hingga pada 2012 Aprila fokus di jurnalistik sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menulis novel ketiga. “Saya harus membagi waktu antara pekerjaan sebagai jurnalis dan menulis novel maka novel ketiga ini agak lambat. Saya mencintai dunia menulis dan berat kalau harus meninggalkan jurnalistik. Saya berharap ke depan punya lebih banyak waktu menulis tentang Papua atau tentang apapun,” ujar Aprila yang bergabung di JUBI sejak 2009.

 

Latar Kekerasan

Novel yang ditulis Aprila selalu berangkat dari kasus pelanggaran HAM dan konflik di Papua. Novel Mawar Hitam Tanpa Akar berlatar belakang kasus pelanggaran HAM tahun 1977 di Jayawijaya. Aprila kesulitan menemukan literatur yang terkait dengan tema tersebut padahal ayahnya yang berprofesi sebagai guru adalah korban. Banyak hal yang nyatanya dalam kacamata Aprila tidak dan belum ditulis. Penyebabnya situasi budaya Papua yang belum sampai kepada tahapan menulis. Berbagai peristiwa belum didokumentasikan dalam bentuk tulisan.

Sementara itu novel Dua Perempuan berlatar bentrok 16 Maret 2006 di Abepura. Aprila berencana menulis novel ketiga dengan latar peristiwa Arfai tahun 1965 terkait dengan Ferry Awom dan kawan-kawan hingga lahirnya OPM. Aprila tahu ide tersebut agak berat dan butuh dana karena ia akan mewawancarai beberapa tokoh yang masih hidup. “Saya ingin menuliskan hal yang sebenarnya ingin dilupakan orang,” tutur Aprila yang melakukan studi pustaka sebelum menulis novel.

Dua novel yang dirampungkan Aprila mengupas kekerasan berlapis yang dialami perempuan Papua. Akibatnya mereka tidak bisa keluar dari keterbelakangan dan kungkungan kelam masa lalu. Hal itu mampu dilakukan asalkan perempuan bergandengan tangan melakukan sesuatu. Pesan yang ingin disampaikan Aprila dari novel-novelnya adalah orang di luar Papua memahami sejarah integrasi, kekerasan, hingga pelanggaran HAM di Papua yang tak kunjung selesai. “Setelah lima tahun novel saya beredar di Indonesia, orang Papua mengatakan ini novel kami orang Papua yang ditulis oleh orang Papua,” tutur Aprila.

Keikutsertaan Aprila dalam Ubud Writers and Readers Festival diawali dari seorang teman yang memperkenalkannya ke panitia. Saat itu novelnya telah didistribusikan di Gramedia seluruh Indonesia. Sebenarnya sejak 2010 Aprila sudah diundang ke salah satu dari enam festival sastra terbaik di dunia tersebut, tapi ia tidak datang. Selanjutnya tahun 2011 Aprila kembali diundang. Ia tidak datang karena tidak mengerti dan festival sastra adalah hal baru baginya. “Tahun 2012 saya datang. Walaupun space untuk Papua cukup kecil, saya berterima kasih melalui festival tersebut saya mengenal jaringan penulis sastra di Indonesia,” kata Aprila.

Aprila berharap keikutsertaannya di ajang seperti Ubud Writers and Readers Festival dan ASEAN Literary Festival memotivasi generasi muda Papua untuk mulai menulis sehingga orang lebih mengerti Papua dari sisi yang berbeda. Selain itu Aprila berharap ada pihak yang membantunya secara finansial menerbitkan novel Mawar Hitam Tanpa Akar yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Rencananya novel tersebut didistribusikan ke Eropa.

Ketua Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Phil Erari menilai novel Dua Perempuan sangat menarik karena ada interaksi antartokoh. Selain itu mengangkat berbagai pengalaman dengan unsur keluarga, romantika, hingga isu politik dan keadilan sosial. Novel tersebut sangat kaya akan pengalaman dan fakta di Papua dengan bahasa yang mudah dipahami. “Sangat jelas sikap keterbukaan di antara orang-orang dengan latar belakang suku dan agama,” tutur Pendeta Erari.

Pendeta Erari melihat kehadiran novel Dua Perempuan mampu memunculkan harapan untuk membangun perspektif pemahaman yang baru mengenai relasi orang Papua dengan non-Papua. Beliau sangat mendorong novel itu dibaca oleh generasi muda guna menunjukkan siapapun bisa membangun komunitas dengan sesuatu yang baru. Terlebih novel Dua Perempuan ditulis oleh perempuan Papua yang menuturkan pengalaman pribadinya dengan mengangkat tokoh-tokoh baik orang Papua maupun non-Papua melalui pendekatan sastra.

Dukungan Pemerintah

Kejahatan yang terjadi di Indonesia Timur bagi Aprila adalah kejahatan negara yang terstruktur dan tersistematis. Kejahatan tersebut berlangsung cukup lama sejak Papua berintegrasi dengan Indonesia. Segala akses di Papua ditutup, dari akses informasi hingga komunikasi serta media massa yang sangat minim. Apa yang terjadi di Papua? Ketika orang Papua memiliki hak-hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya dan mereka tidak diberi peluang dan kesempatan. “Sehingga bagi saya tantangan terbesar sebagai penulis di wilayah Indonesia Timur adalah dukungan pemerintah terhadap lahirnya penulis-penulis muda di Papua,” ujar Aprila.

Aprila merasakan sulitnya memperoleh bantuan dari pemerintah dengan dana otonomi khusus yang miliaran rupiah jumlahnya. Ada sejarah panjang perlawanan dan penderitaan yang dialami banyak orang di Papua. Aprila memposisikan keberadaan dirinya dalam festival sastra sebagai perwakilan orang Papua yang tidak memiliki akses ke dalam dan luar negeri. “Saya mewakili sekitar 2 juta rakyat Papua di gunung dan lembah yang hidup dalam keadaan tidak tenang. Mereka hanya mendapatkan intimidasi dan teror,” tutur Aprila dengan nada optimistis.

Ketika Aprila diundang ke Ubud Writers and Readers Festival, ia menyampaikan satu analogi tentang Indonesia dan Papua. Indonesia sebagai sebuah keluarga. Saat usia pernikahan ke-24 sejak merdeka pada 1945, Indonesia mengadopsi seorang anak kulit hitam. Anak itu dimasukkan ke dalam daftar keluarga. Namun anak itu mendapatkan perlakuan yang berbeda, seperti duduk di bawah saat makan dengan menu yang berbeda. “Itulah yang terjadi selama kami berintegrasi dan itulah perasaan kami sebagai orang Papua yang didiskriminasi oleh negara,” ujar Aprila.

Tantangan lain yang dialami Aprila sebagai penulis, antara lain dukungan pemerintah. Pemerintah yang notabene adalah putra/i Papua yang saat ini duduk di semua lembaga dengan jabatan strategis. Namun dalam implementasinya tidak bisa melakukan banyak hal kepada rakyat Papua. Aprila mencontohkan, jangankan untuk menulis, orang Papua belum sampai pada tahapan membaca. Ia menghubungkan hal tersebut dengan sejarah perkembangan Marx yaitu komunal primitif sebagaimana yang dimiliki orang Papua. Sementara Eropa merupakan masyarakat kapitalis. Hal itu menunjukkan orang Papua mengalami lompatan budaya yang luar biasa. Mereka tidak terbiasa menabung sebab masih dalam tahapan barter. “Dia mau makan hari ini ambil di laut. Besok laut tidak akan berubah. Perkembangan saat ini membuat orang Papua semakin termarjinalkan,” kata Aprila.

Terkait budaya membaca, Aprila menyatakan, sejak novel pertamanya diluncurkan ia berharap dalam perjalanannya akan memotivasi generasi muda Papua untuk menulis. Ternyata sampai novel kedua, belum ada novel baru yang terbit selain novelnya. Aprila berharap akan ada penulis novel lain sehingga mereka bisa meramaikan festival sastra di Indonesia atau luar negeri.

 

 

Ikuti tulisan menarik Ignasia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler