x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menulis Itu Butuh Konsistensi dan Kesabaran

Menulis itu sebuah gairah, sarana untuk mengurai kegalauan- kegalauan pikiran, jiwa, rasa dan bukan hanya mengejar materi semata.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menulis sebagai Sandaran Hidup

Kalau tujuan utama menulis itu untuk mendapatkan uang, akan banyak kekecewaan  demi kekecewaan yang akan diterima seorang penulis. Menulis itu sebuah gairah, sarana untuk mengurai kegalauan- kegalauan pikiran, jiwa, rasa dan  bukan hanya mengejar materi semata. Jika semata mengejar uang dan kekayaan tentu akan banyak rasa putus asa, frustasi dan sederet perasaan kegagalan melingkupi jika apa yang kita targetkan meleset. Ujung-ujungnya hanya membuat seorang penulis stres dan akhirnya berhenti menulis.

Seorang penulis yang mencurahkan segala gairah hidupnya untuk menulis dan sabar untuk memetik hasil dari sebuah proses yang panjang, akan mendapatkan goalnya. Entah kapan jika sabar dan konsisten tulisannya akan menemuai takdirnya. Gairah itulah yang harus selalu dipelihara dalam keadaan apapun. Dalam tekanan ekstern maupun tekanan intern.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terkadang seorang penulis merasa buntu dan tidak bisa lagi mengembangkan  talenta yang ia punya. Ketika daya semangat seorang penulis hilang tentu akan membuat mood menulisnya hilang. Padahal tuntutan konsistensi sebagai penulis yang selalu gelisah melihat situasi sosial disekelilingnya dan juga rasa penasarannya akan fenomena kehidupan yang penuh dinamis di sekitarnya harus tetap terpelihara. Seorang penulis harus selalu membuka wawasan literasi, pengalaman hidup, sederet permenungan-permenungan dari  dalam diri, suara hati nurani dan juga jeritan bathin manusia sekitar yang sedang menderita. Kepekaan seorang penulis juga akan terasah saat melihat ketimpangan-ketimpangan sosial  di sekitar. Penulis itu mempunyai kepekaan lebih lebih dari sekedar orang awam yang menganggap masalah-masalah itu sebagai takdir. Penulis bukan hanya berbicara masalah takdir. Tentu  ada rasa penasaran yang melingkupi penulis melihat sebuah peristiwa. Mungkin ada yang luput dari pengamatan kaca mata awam. Mata pena seorang penulis yang terasah dan terampil dalam mengolah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa itu adalah anugerah Tuhan. Banyak penulis saat ini bukan hanya ribuan bahkan jutaan penulis sedang berjuang untuk memperoleh pengakuan sebagai penulis. Kalau hasil karyanya baru hitungan ratusan itu mungkin belum seberapa. Banyak penulis yang bahkan secara rutin menulis satu hari satu artikel dan bahkan lebih. Ia menulis seperti halnya sarapan, menjadi tuntutan yang wajib dilakukan  setiap hari. Gairah itu terus terpelihara meski ia mendapati dirinya ditubir kehancuran dalam kehidupan rumah tangga, atau mendapat musibah yang membuat ia merasa tidak ada gunanya menulis. Jika menulis itu dihitung terus dengan sejumlah uang akan banyak uang yang terbuang, akan banyak waktu terbuang, akan banyak moment bagus dalam hidup sehari-hari terlewatkan.

Seorang Penulis itu adalah seorang  pencerita yang mampu merangkai kata seperti sebuah film humanis yang menggugah. Dari kata-katanya yang terangkai ia bisa mengaduk-aduk emosi pembacanya. Saat membaca karya penulis  tangis, senyum, semangat yang kemudian terbakar, kemarahan yang tiba-tiba bisa menggelegak bahkan ada yang kemudian berpaling dari seorang yang amat jahat menjadi melankoli dan baik hati. Laksana pedang itulah kata-kata yang dirangkai seorang penulis. Ia akan mengubah ideologi, ia akan mengubah pemahaman yang sebelumnya  skeptis bisa menjadi bergairah. Dari semula putus asa menghadapi hidup  kemudian menemukan passion dan menemukan gairah hidup yang lama hilang. Maka jagat literasi  masih amat diperlukan saat ini. Berjuta-juta pembaca masih ingin menikmati nukilan kata-kata yang ditulis seorang yang menyukai dunia tulis menulis.

Jika seorang sudah sampai dalam dalam tahap “Ngeng”(Begitulah untuk menggambarkan  penguasaan musikalitas seorang DJaduk Ferianto)ia sudah sampai pada tataran bahwa menulis itu adalah detak nadinya, sehari tidak menulis seperti berhenti berdetak pula gairah hidupnya.

Menulis, bentuk kegelisahan dan Gairah

Aku ingin gairah menulis itu seperti idealnya Gunawan Muhammad yang konsisten untuk menulis Catatan Pinggir, Radhar Panca Dahana yang selalu gelisah terhadap fenomena budaya bangsanya, dan  gelisah menghadapi Senja Kala Budaya di tengah keterpurukan mentalitas rakyat yang kehilangan identitas diri sebagai bangsa yang punya latar belakang sejarah masyur. Aku menyukai kata-kata Sapardi Djoko Damono dengan puisi-puisi cintanya yang sederhana tapi mampu menyentuh perasaan, atau potret kehidupan yang ringan tapi terasa menggoda saat dituturkan oleh Joko Pinurbo. Perasaan marah, kecewa,  bisa menjadi bahasan menarik saat dituturkan Putu wijaya dengan judul singkat dan terkesan Naifdari naskah Drama(Gerr, dorr, Anu, Aduh, Dag Dig Dug, Edan, Hum- Pim - Pah, Blong, Awas, Aum, Zat).

Mereka para penulis yang sudah menemukan jati dirinya dan terpanggil total untuk menulis sebagai bagian dari kehidupannya adalah para pesohor yang sudah yakin bahwa menulis sebagai muara terakhir bagi proses kreatifnya. Bagaimana  mereka sampai pada tahap dimana menulis itu seperti bunyi detak nadinya. Umberto Eco, Penulis dari Italia dengan novelnya The Name of Rose yang baru meninggal dunia sudah mencapai level di mana ia sudah memperoleh ketenaran dari profesinya sebagai penulis, Lalu siapakah aku yang masih merangkak untuk mencapai tataran awal menulis, dengan karya yang belum begitu dikenal. Padahal banyak para penulis muda, para penulis pemula yang begitu bertalenta. Apakah aku harus menyerah dengan segala kenyataan yang terjadi pada dunia penulisan saat ini.

Tidak, Menulis itu mengasyikkan, menulis itu sebuah terapi bagi segala masalah yang  membelit jiwa dan berbagai tutuntan hidup yang kadang membuatku hampir gila. Menulis itu seperti terapi bagiku. Di tengah tuntutan hidup yang semakin rumit dan menakutkan menulis itu bagai oase yang menyejukkan jiwa. Ketika selesai menulis, aku seperti lepas dari kendali masalah dan menemukan gairah baru untuk mengurai masalah itu dan menemukan menyelesaikan tugas hidup yang tidak pernah selesai. 

Persoalan lingkungan, politik, hubungan antar manusia, hubungan antar agama, hubungan manusia dengan alam semesta  adalah ide segar untu dijadikan tema menarik dalam menulis. Aku berusaha mencapai  tahapan menulis di mana segala hal bisa diselesaikan dengan menulis. Tentu terasa aneh, jika karena terlalu asyik menulis aku menjadi  makluk aneh bagi lingkunganku. Aku tetap harus membumi, hidup sebagai manusia yang harus membaur dengan masyarkat sekitar, menjadi bagian dari masyarakat yang penuh toleransi. Tidak menutup diri terhadap pergaulan sehat antar tetangga di lingkungan terkecil negara.

Dilema

Tapi inilah dilema hidup. Jika aku terlalu asyik dalam dinamika masyarakat aku akan kehilangan moment menulis, jika aku asyik masuk dalam dunia literasi ada yang hilang dari rasa kemanusiaanku yang menuntutku untuk selalu aktif berdialog dan membaur sebagai bagian dari masyarakat  majemuk. Lalu di manakah aku harus berpijak. Yang bisa kutulis adalah biarlah  menulis itu menjadi kegiatan yang  mengasyikkan. Aku berkontribusi untuk mengedukasi masyarakat dengan tulisan-tulisanku. Aku terlibat berpikir untuk memberi dorongan masyarakat mampu mengubah paradigma berpikir sempit menjadi  luas. Dengan mempersembahkan tulisan yang terserak entah di buku, entah di artikel koran,  majalah, Jurnal Ilmiah,blog, media sosial aku sudah turut berperan dalam kemajuan bangsa.

Menulis Itu asyik

Menulis itu seasyik melihat gadis-gadis cantik yang tersenyum, senikmat teh panas pagi hari, menggairahkan saat matahari mulai memancar membuka hari yang cerah. Saat duka sedang melingkupi kehidupan, menulis seperti menjadi penghibur hingga membuat jiwa, perasaan, kesedihan terobati. Jika aku memasang target tinggi dalam menulis aku akan mudah patah hati karena banyaknya rintangan untuk menjadi penulis yang handal. Biarlah tulisan menemukan takdirnya sendiri.

Aku pernah merasa kecewa, ketika menulis yang kugadang-gadang mampu memberiku penghasilan ternyata seringkali membuatku tercekik kegagalan demi kegagalan. Untuk itu aku tidak lagi membuat diriku terlalu terobsesi untuk menjadikan hasil tulisanku sebagai sandaran hidup. Aku hanya ingin membuat dunia tulis menulis itu sumber kebahagiaan sejati. Jika kebetulan tulisanku diapresiasi, dihargai dan diacungi jempol sebagai karya yang mencerahkan bagi orang yang membacanya itu sebuah anugerah terindah.

 

 

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler