x

Iklan

Kartika Eka H

Penikmat buku cerita, kopi nashitel dan kuliner berkuah kaldu. Ingin sekali keliling Indonesia
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gerhana Matahari 2016, Saatnya Mereka Ulang Catatan Sejarah!

9 Maret 2016, Insha Allah langit Indonesia & Pulau Kalimantan menjadi kanvas eksotisnya fenomena alam bernama Gerhana Matahari Total. Jangan terlewatkan...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap ada berita tentang munculnya fenomena gerhana matahari baik sebagian maupun total, pasti akan menuntun memori saya ke kampung halaman tempat saya lahir dan dibesarkan oleh kedua orangtua saya di daerah pedesaan yang asri dan subur di ujung utara Kabupaten Magetan, Propinsi JawaTimur. Mungkin semua akibat “rekaman keganjilan dan ketidakbiasaan” yang tertangkap indra dan logika kanak-kanak saya saat itu tentang sebuah fenomena alam langka yang terjadi pada hari Sabtu Pon, 11 Juni 1983 atau sekitar 33 tahun yang lalu, Gerhana Matahari Total! Hari itu, kampung saya menjadi salah satu daerah terdekat dengan pusat lintasan gerhana matahari total 1983 di daerah Tanjung Kodok Lamongan, Jawa Timur. Konon, kata tetangga-tetangga saya yang nekat melihat secara langsung fenomena GMT dengan berbagai alat bantu, GMT di daerah kami saat itu komposisinya begitu sempurna dan penampakannya begitu indah! Nah lho…..

Pagi hari Sabtu Pon, 11 Juni 1983 marupakan salah satu hari yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya! Bukan hanya karena langit Kota Madiun dan sekitarnya yang khabarnya sebentar lagi akan gelap gulita sesaat karena Gerhana Matahari Total saja. Tapi karena berbagai kehebohan, keanehan, kejanggalan dan semua ketidak biasaan yang tampak pada lingkungan di sekitar saya yang terjadi pagi itu benar-benar aneh, tidak lazim dan terlihat membingungkan di mata saya, anak SD kelas 1 yang masih ingusan.

Warung nasi pecel Simbah Putri yang biasa buka pagi selepas Subuh, tiba-tiba hari ini tutup. Kata Simbah Kakung, “Hari ini Simbah Putri dilarang berjualan sama Pak Polisi!”. Entah benar-atau tidak jawaban Simbah Kakung, dalam benak saya hanya ada satu pertanyaan yang sangat mengganggu saat itu. “Lha pagi ini kita sarapan apa mbah?”. Simbah Kakung hanya tersenyum mendengar pertanyaan saya, entah apa maksudnya. Padahal saya benar-benar menunggu jawabannya, bukan tanpa sebab lho! Masalahnya, warung nasi pecel Simbah Putri ini bisa dibilang menguasai hajat hidup orang banyak. Kalau mendadak tutup bisa bahaya,  alamat orang sekampung tidak ada yang bisa sarapan pagi. Makanya, kalau mau tutup Simbah bisanya akan memberi woro-woro atau pengumuman jauh-jauh hari, minimal 2-3 hari sebelumnya. Harap dimaklumi, Warung nasi pecel Simbah adalah andalan sarapan pagi bagi orang sekampung yang rata-rata memang sudah kecanduan sama citarasa nasi pecel plus racikan kopi hitamnya Simbah Putri, begitu juga anak-anak kecil yang harus berangkat sekolah pagi-pagi seperti saya biar praktis bungkus saja…….! Tutupnya warung nasi pecel simbah Putri yang terkesan mendadak dan tanpa woro-woro, merupakan keanehan dan ketidaklaziman bagi saya dan orang sekampung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Didalam rumah Simbah yang bersebelahan dengan rumah saya, saya melihat beberapa keanehan yang sampai sekarang masih saya ingat betul kronologinya. Saya melihat Paklik-paklik saya (adik-adik ibu saya) sedang sibuk menutup lubang dan celah baik yang ada di dinding kayu rumah Gebyog Simbah maupun lubang cahaya dari genteng kaca yang ada di langit-langit rumah yang biasa dilewati cahaya matahari untuk menerangi ruang dalam rumah ketika siang hari. Ketika saya tanya Simbah, “Kenapa di tutupi semua mbah?” Simbah hanya menjawab, “biar mata kita tidak buta!” Jawaban Simbah mengingatkan saya pada kata-kata Bapak dan Ibu saya beberapa hari yang lalu, “Le, nanti kalau pas Gerhana Matahari datang, kamu harus masuk dan sembunyi di bawah kolong tempat tidur ya! Biar matamu tidak buta!”

“Laaaaah, hari ini kan seharusnya ada acara megengan, bu?” tanya saya pada Ibu yang sedang menutup sebagian jendela kaca yang terlihat tidak tertutupi korden dengan sempurna. Acara atau upacara megengan adalah salah satu tradisi indigenius atau khas muslim di Pulau Jawa dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan yang dilaksanakan 1 atau 2 hari sebelum jatuh tanggal 1 Ramadhan. Kebetulan besok tanggal 12 Juni sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai awal bulan Ramadhan 1403 H. Tradisi acara megengan merupakan hari yang paling ditunggu-tunggu oleh sebagian besar anak-anak di kampung saya selain hari lebaran, karena anak-anak seusia saya biasanya di hari itu akan kaya mendadak! Naaaaah, begini ceritanya. Biasanya pada hari pelaksanaan acara megengan, orang tua kami akan memasak masakan lebih banyak dan lebih beraneka variasi, bukan untuk dimakan sendiri tapi untuk dihantarkan kepada para sesepuh, orang yang dituakan dan dihormati di kampung, keluarga besar bapak/ibu, juga para Bapak/Ibu Guru dan tidak ketinggalan kepada para tetngga di sekitar rumah. Biasanya anak-anak seperti sayalah yang disuruh menghantarkan masakan-masakan itu dengan menggunakan rantang susun dan biasanya setiap orang yang dihantari akan memberikan sangu atau uang sekedarnya untuk si penghantar alias anak-anak seperti saya. Ini yang saya sebut kaya mendadak ala kami! Tapi sayang, jadwal acara megengan hari ini sepertinya tidak jadi alias batal karena adanya GMT yang melintas di langit Kota Madiun dan sekitarnya. Walaaaah, betapa kecewanya saya! Hari itu tidak jadi kaya mendadak…

Di seberang rumah, saya melihat Datik dan kawan-kawanya (Saat itu, lidah saya masih agak susah menyebut nama aslinya, Mbak Darti) sedang memukul-mukul kaleng bekas bersama bapaknya, Pakde Kukuh yang dikenal orang sekampung sebagai seniman karawitan yang jago memainkan instrument kendang itu, terlihat sedang menyusun kaleng-kaleng bekas di emperan depan rumahnya. Saya kira, kaleng-kaleng bekas itu buat mainan Datik, ternyata bukan! Kata Pakde Kukuh kaleng itu untuk mengusir buto (Batara Kala) yang nanti mau makan matahari biar tidak lama-lama dimakannya!  

Setelah matahari agak naik, kira-kira jam 7-an WIB, saya, adik-adik, Simbah Kakung dan Putri diajak Ibu kerumah Bude Surati, kakak tertua dari ibu yang rumahnya sekitar 500 meter dari rumah kami, sementara Bapak dan Paklik bertugas menjaga rumah. Sudah menjadi kebiasaan keluarga besar kami untuk berkumpul di rumah Bude Surati setiap ada acara keluarga seperti lebaran, lebaran haji dsb. Selain rumahnya besar dan luas, beliau juga jago masak. Tapi hari ini ada apa? “Kita sembunyi sekalian sarapan dirumah Bude Surati saja” Kata ibu saya saat itu.

Singkat cerita, akhirnya sekitar jam 11 siang WIB (cerita ibu saya, karena saya masih belum bisa membaca jam), bumi di kampung kami benar-benar gelap gulita. Gerhana matahari total benar-benar datang. celah-celah genteng yang tadi masih membiaskan cahaya matahari, sekarang sama sekali tidak terlihat biasnya. Saya yang saat itu sedang sarapan nasi pecel buatan Bude Surati bersama saudara-saudara sepupu yang semuanya berkumpul di rumah Bude Surati langsung disuruh masuk ke kamar meninggalkan menu sarapan andalan kami. Dari kejauhan, sayup-sayup saya mendengar suara bunyi kaleng, kentongan bambu dan kentongan besar di gardu ronda dipukul orang bertalu-talu entah siapa dan apa maksudnya. Dari ruang tengah rumah bude Surati saya mendengar Pakde Sukirman menyalakan Televisi hitam-putih yang konon menyiarkan secara langsung proses terjadinya gerhana matahari total saat itu. Saya bilang “konon” karena saya tidak ikut menyaksikan nya sendiri, karena kami anak-anak kecil saat iru dikumpulkan di dalam kamar dan disuruh diam di ditempat tidak boleh kemana-mana.

Itulah sekelumit ingatan plus sedikit hasil interview saya dengan ibu yang Alhamdulillah masih seger waras dan masih menetap di Kampung halaman di Magetan Jawa Timur, mengenai fragmentasi GMT 1983 yang pernah saya alami 33 tahun yang lalu. Sebuah “rekaman” dimasa kecil yang awalnya saya anggap biasa tapi menjadi luar biasa setelah sekarang fakta-fakta ilmiah mencengangkan seputar GMT semakin mudah diakses seiring perkembangan revolusi teknologi informasi dan pemangku kebijakan yang juga telah “melek teknologi dan IPTEK”.

Alhamdulillah! Sekarang di tahun 2016 Pulau Kalimantan, kampung halaman saya yang baru. Insha Allah tanggal 9 Maret nanti akan mendapatkan anugerah berupa fenomena alam bernama Gerhana Matahari Total (GMT). Tidak ingin mengulangi sejarah masa kanak-kanak saya 33 tahun silam yang dianggap sebagian orang sebagai domain kekuasaan yang sesat pikir, saya terus berdoa dan bertekad, semoga panjang umur dan diberi kesempatan untuk menjadi saksi indahnya fenomena alam langka bukti kuasa dan kebesaran Allah SWT, Pemilik Semesta Alam beserta isinya, dengan melihat langsung GMT 2016.

Ikuti tulisan menarik Kartika Eka H lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB