x

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menulis, dari Bayar Kost, Kuliah dan Traktir Pacar

Menulis seakan sudah menjadi kehidupan saya. Bukan berarti terus menulis, tetapi menulis bisa memenuhi kebutuhan hidup saya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kepuasan menulis itu mengikuti perkembangan usia dan kebutuhan hidup. Itu yang saya rasakan, setidaknya. Ketika saya masih di Pesantren, kepuasan menulis termanifestasikan dalam bentuk kebanggaan. Bagaimana tidak, ketika puisi saya dibacakan di sebuah radio swasta di Bandar Lampung setiap Selasa malam Rabu, esoknya saya mendapati pandangan mata kagum dari teman-teman santri--jujur saja terutama santri putri.

Ketika tulisan saya mulai dimuat di koran, cerpen, puisi dan juga opini, para ustadz mulai memuji-puji. Kebanggaan itu semakin bertambah-tambah saja. "Saya lah bintang," begitu kira-kira teriakan itu.

Dan ketika saya di Pesantren, menulisnya masih menggunakan mesin ketik manual. Saya harus berkali-kali membuang kertas, saat berulang kali menulis paragraf pertama dianggap gagal. Selain itu, menulisnya harus menggunakan rangkap karbon, agar ketika tak dimuat masih memiliki arsipnya. Belum lagi, untuk membuat hasil tulisan rata kanan, saya harus menghitung kata terakhir yang akan ditulis di akhir setiap baris.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Proses masih belum berhenti sampai di sini. Setelah semua tulisan siap, memasukkan ke dalam amplop dan dibubuhi prangko. Kalau mau cepat sampai, tentu harus menggunakan prangko kilat, dengan harga yang sedikit lebih mahal ketimbangkan prangko biasa. Pergilah saya ke kantor pos, membawa 3-4 amplop naskah sekaligus.

Kepuasan menulis, berkembang dan berbeda ketika saya pindah ke Yogyakarta. Di sini, menulis berubah menjadi sumber keuangan. Saya bisa membayar kuliah dengan menulis. Bagaimana tidak, biaya kuliah satu smester itu Rp. 60 ribu. Dan honor yang saya terima untuk satu cerpen di media lokal sudah Rp. 75 ribu.

Dengan honorarium menulis, saya tak hanya membayar kuliah, tapi juga bisa untuk membayar kost selama saya kuliah. Tentu dengan lama waktu kuliah yang cukup keterlaluan, hampir delapan tahun saya baru lulus kuliah, itu pun karena terpaksa, harus segera menikah. Ah, lebay.

Dan yang paling senang juga, honorarium itu bisa untuk mentraktir sang pacar. Dan dengan bangga, sambil menceritakan tulisan yang berhasil dimuat di media massa. Senyum dan cubitan di lengan, itu jauh terasa membanggakan dibanding ketika dipandang santri putri dan pujian sang ustadz.

Akan saya ceritakan, satu kisah yang memilukan dari proses menulis yang menyenangkan. Seminggu setelah saya mengirimkan naskah cerpen, karya itu dimuat di koran lokal di Yogyakarta. Karena kebetulan tak lagi memiliki uang, saya pun pinjam sepeda onthel milik teman. Sabar, bukan untuk digadaikan. Tetapi saya kayuh dengan semangat 65, menuju ke kantor redaksi di hari Seninnya. Sampai di sana, saya mendapat jawaban yang sungguh melemahkan, "Mas, honornya baru bisa diambil hari Selasa, sekarang baru diproses administrasinya."

Kini, kesenangan menulis saya, tak hanya opini dan cerpen, tetapi juga beberapa novel, buku, dan mengedit buku, termasuk menuliskan hasil penelitian, dan dokumen lesson learnt dari berbagai lembaga.

ikut Yuk, menulis....!

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler