x

Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi (kanan), di antara kerumunan wartawan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, 16 Februari 2016. OTT Damayanti Wisnu Putranti berlangsung pada pertengahan Januari 2016. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Iklan

Agus Supriyatna

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berita Po An Tui yang Menyesatkan

Fakta, fakta, dan fakta. Wartawan harus setia kepada fakta, begitulah yang saya dengar dari omongan Mas Andreas Harsono.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
Awalnya tulisan ini saya beri judul, " Malas Cari Referensi, Berita 'Sesat' Kemudian." Ini tulisan sederhana saja. Semacam kritikan saja atas pemberitaan tentang Po An Tui yang dipicu oleh peresmian monumen Laskar Tiongkok di Taman Mini Indonesia Indah yang dilakukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Setelah dicermati, saya tergelitik untuk menulis ini. Pemberitaan Po An Tui yang 'menghajar' Menteri Tjahjo itu, kok seperti berita gosip, bahkan agak berbau fitnah, karena tak berdasarkan fakta. 
 
Fakta, fakta, dan fakta. Wartawan harus setia kepada fakta, begitulah yang saya dengar dari omongan Mas Andreas Harsono, wartawan senior yang juga murid langsung Bill Kovacs, salah satu jurnalis besar di Amerika Serikat. Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, menyebut Bill Kovach, sebagai wartawan yang sulit dicari kesalahannya. 
 
Ya kepada fakta, kerja seorang jurnalis mendaku. Karena fakta, ibarat nyawa sebuah berita. Sekali fakta ditambah, dipotong, apalagi diputar balikan, atau bahasa gaulnya diplintir, maka kebenaran informasi sudah hilang meruap. Berita pun hanya jadi sensasi. Hanya jadi info yang bisa dikatakan 'sampah'. Karena itu, mengutip omongan Mas Andreas, setialah pada fakta. 
 
Namun, bukan berarti, setelah seorang wartawan mendapat satu informasi, jangan lantas kemudian berpuas diri. Kembali kerja cek dan ricek mesti dilakukan. Ini, untuk memastikan akurasi. Bahkan, mesti dicek sedetil mungkin. Karena ada ungkapan, dalam detil, setan pun akhirnya bisa dilacak. 
 
Tapi kadang 'setan' acapkali tak bisa dilacak. Kemalasan untuk setia fakta serta ketertarikan pada sensasi, membuat sebuah informasi menjadi bias. Bahkan, berita yang dibuat tak lebih dari gosip. Hanya berupa opini dengan tendensi menuding, yang pada akhirnya menyesatkan publik. Boleh jadi, bukan berita, namun hanya 'fitnah'. Dan di era digital, hal seperti ini menggejala. 
 
Dalam buku, "Agama Saya Adalah Jurnalisme" yang ditulis Andreas Harsono, dituturkan tentang apa saja yang mesti dilakukan seorang jurnalis dalam membuat berita. Dalam bukunya, di bab pembuka, Andreas mengutip sebagian isi buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme,"yang disusun oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan terkemuka di Amerika Serikat. 
 
Bill Kovach, adalah mantan wartawan The New York Times, salah satu wartawan terbesar di Amerika Serikat. Sementara Tom Rosenstiel, mengutip buku Andreas, adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times yang kini aktif berkecimpung di Committee of Concerced Journalists, sebuah organisasi di Washington DC, yang fokus dibidang riset dan diskusi tentang media.  Buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme", sendiri, bisa dikatakan salah satu buku yang jadi 'kitab suci' para wartawan. 
 
Dalam buku, "Sembilan Elemen Jurnalisme", seperti yang dikutip Andreas dalam bukunya, ada beberapa langkah yang perlu, bahkan 'wajib' di lakukan para wartawan, saat membuat sebuah berita. Salah satu yang terpenting adalah disiplin dalam melakukan verifikasi yang merupakan elemen ketiga dari sembilan elemen jurnalisme. Mengutip buku Andreas, elemen ketiga ini, adalah esensi terpenting dari jurnalisme. 
 
" Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni' demikian ditulis Andres dalam bukunya saat menjelaskan tentang pentingnya disiplin dalam melakukan verifikasi. 
 
Dalam bukunya, Andreas juga menjelaskan tentang lima konsep dalam verifikasi. Lima konsep itu adalah, pertama jangan menambah atau mengarang apa pun. Kedua, jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar. Ketiga, bersikap setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase. Keempat, bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri. Kelima, bersikaplah rendah hati. 
 
Andreas juga mengutip, kebiasaan yang dikembangkan David Yarnold dari San Jose Mercury News dalam menyunting sebuah berita, agar benar-benar akurat. Yarnold mengembang satu daftar pertanyaan yang disebut "accuracy checklist". 
 
Menguji akurasi ala Yarnold, antara lain, apakah lead berita sudah didukung dengan data penunjang yang cukup? Apakah sudah ada orang lain yang diminyta mengecek ulang, menghubungi atau menelpon semua alamat, atau situ Web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap? Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara? Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar? Apa ada yang kurang? Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan? 
 
Banyak ternyata. Itu menunjukan bahwa kerja wartawan bukanlah mudah. Dan, tak sembarang membuat berita. Intinya, hati-hati dalam membuat berita. Akurasi harus dijadikan nyawa dalam setiap berita yang ditulis. 
 
Ada ungkapan sedia payung sebelum hujan. Sedia bekal sebelum bepergian. Ya, seorang wartawan, menurut saya, pergi ke medan liputan, tak hanya berbekal note catatan, rekaman atau alat komunikasi. Tapi, seorang wartawan, datang ke medan liputan harus sudah membekali diri dengan pengetahuan. Atau dalam bahasa sederhana, datang tak dengan tangan kosong. 
 
Ia sudah punya bekal, setidaknya tentang background isu yang hendak dijadikan berita. Jadi, ia sudah punya informasi awal tentang apa yang bakal dituliskan. Dengan itu, pengembangan atau penggalian isu, bakal lebih mendalam. Dan, setidaknya dengan bekal 'background' itu, ia tahu, apa yang akan ditanyakan, dikembangkan, dan diracik, sehingga tak muncul pertanyaan-pertanyaan konyol atau bodoh pada narasumber. 
 
Dengan apa, seorang wartawan bisa menguasai background isu? Jawabannya adalah dengan banyak membaca referensi. Karena wartawan yang tak banyak menabung referensi, pada dasarnya hanya seorang pencari kalimat saja. Mungkin, hanya seorang  tukang tulis ulang pernyataan narasumber. 
 
Kenapa referensi itu perlu? Sangat perlu. Bahkan mungkin ini juga masuk kategori 'hukumnya wajib' bagi para wartawan. Sebab, dengan referensi itu, si wartawan, bisa menulis alur berita dengan benar. Berita pun tak kehilangan kontek. Sebab, kalau tak ada referensi, berita yang dibuat boleh jadi salah kaprah. Apalagi, bila kemudian asal comot, dan semangatnya mengejar sensasi. Berita pun jadi gosip. Jadi kabar burung. Jadi informasi yang menyesatkan. 
 
Ada contoh menarik tentang ini. Kemarin, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mengeluhkan munculnya berita yang menurut dia salah kaprah atau bahkan menyesatkan. Berita itu, tentang peresmian sebuah monumen di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang diresmikan oleh Tjahjo. Monumen yang diresmikan itu, untuk mengenang sebuah laskar Cina dan Jawa yang pernah berjuang membela republik melawan penjajah. 
 
Salah satu yang memuat berita peresmian monumen itu adalah Detik.com, salah satu portal berita terbesar di Indonesia. Judul berita yang dimuat di Detik.com, " Mendagri Resmikan Monumen Perjuangan Laskar Tiongkok di TMII." 
 
Monumen ini sendiri menceritakan tentang perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa dalam melawan VOC Belanda yang menjajah bangsa Indonesia. Monumen ini menceritakan perjuangan bangsa selama tiga tahun yaitu pada tahun 1740-1743 dalam mengusir VOC, begitu salah satu penggalan paragraf dalam berita yang ditulis Detik.com, pada Sabtu, 14 November 2015.  
 
Namun setelah itu, tiba-tiba muncul beberapa berita lanjutan atau istilah dikalangan wartawan berita 'running'. Berita peresmian monumen itu 'dirunning' oleh media lain, media online terutama. Saya sebut saja, salah satunya berita yang dimuat oleh Posmetro.info. Situs berita ini, pada 22 Februari 2016 memuat berita berjudul," Hanya di Era Jokowi, Milisi Cina "Po An Tui" Pembantai Pribumi Dibuatkan Monumen di TMII."
 
Dalam tubuh berita, disimpulkan bahwa Laskar Cina yang monumennya diresmikan oleh Menteri Tjahjo adalah laskar Po An Tui. Lalu, bla-bla, Posmetro.info, mengurai siapa itu Po An Tui. 
 
" Dalam peresmian monumen Po An Tui di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa tujuan didirikannya monumen Po An Tui adalah untuk mengingatkan siapa leluhur kita dan perjuangan laskar China dalam melawan penjajah VOC Belanda pada tahun 1740 – 1743," demikian lead berita yang ditulis Posmetro.info. 
 
Tentu lead itu jadi pertanyaan. laskar Cina atau Tiongkok yang monumennya diresmikan Menteri Tjahjo merujuk pada Po An Tui? Sebab dalam lead Posmetro.info, langsung menyebut Po An Tui. Apa dasarnya Posmetro.info yakin laskar itu Po An Tui? Bahkan, dalam lead berita tersebut disebutkan rentang tahun sepak terjang Po An Tui, yakni antara tahun 1740 – 1743. Sudah diujikah fakta tersebut? 
 
Rasanya tidak. Sebab, dalam tubuh berita, tak ada upaya untuk menguji itu, misalnya meminta tanggapan kepada sejarawan. Tapi, berita isinya langsung memvonis. Lag-lagi verifikasi diabaikan. Dan, bagi saya itu bukan sebuah berita, hanya opini, asumsi, yang sialnya tak akurat, karena tak ada referensi untuk memperkuat itu. Padahal referensi sangat penting, agar berita tak jadi kabar burung, gosip atau propaganda. 
 
Dan, itulah kelemahan berita yang dimuat Posmetro.info serta beberapa media online lainnya yang memuat berita serupa. Berita mereka, minim referensi. Padahal, ketika sebuah berita memuat tentang jejak sejarah, minimal ada referensi yang jadi rujukan. Apakah referensi itu berasal dari buku, sejarawan, atau informasi lain yang terpercaya. Karena harus hati-hati dalam memuat berita berisi sejarah yang terjadi di masa lalu. Salah referensi, berita jadi menyesatkan. Fakta terbalik-balik. 
 
Pertanyaannya, benarkah Po An Tui, adalah laskar Cina yang monumennya diresmikan Menteri Tjahjo? Dalam klarifikasinya, Menteri Tjahjo sendiri membantah, bila monumen yang diresmikannya di TMII  merujuk pada Po An Tui. Tapi, monumen itu untuk mengenang laskar Cina yang pernah ada pada tahun 1740 – 1743. Laskar ini,  pernah ikut berjuang melawan penjajah, Belanda. Dalam kontek masa itu, penjajah yang dimaksud adalah VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie atau kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Mengutip Wikipedia.org, VOC didirikan pada 20 Maret 1602. Kongsi ini kemudian bangkrut dan ditutup 31 Desember 1799. 
 
Lalu bagaimana dengan Po An Tui? Ada beberapa buku yang bisa dijadikan referensi. Salah satunya buku berjudul, "Po An Tui : 1947-1949, Tentara Cina Jakarta," terbitan Masup Jakarta, Pustaka Komunitas Bambu. Buku ini ditulis Sulardi. Menurut saya, buku ini bisa jadi referensi untuk mengetahui, cikal bakal, serta sepak terjang Po An Tui. 
 
Dalam buku itu, Sulardi mengulas tentang  Po An Tui, mulai dari awal pembentukannya sampai sepak terjangnya yang kontroversial. Dan, dengan jelas, Sulardi dalam bukunya menuliskan, Po An Tui, lahir sekitar tahun 1947. Bukan terbentuk pada antara rentang tahun 1740-1743. Dan, era itu, bukan era VOC, tapi era Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration yang biasa disingkat NICA. Era itu adalah fase sejarah saat NICA mulai datang mengangkangi republik yang baru saja di proklamirkan tahun 1945.
 
Di berita Detik.com pun, monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo, merujuk pada laskar kaum Tionghoa yang dibentuk antara rentang tahun 1740-1743 di era VOC bercokol, bukan di masa NICA menjajah.  Detik.com, adalah media yang meliput peresmian monumen tersebut. Karena mereka, melengkapi beritanya dengan foto Menteri Tjahjo saat meresmikan monumen yang sekarang menuai reaksi tersebut. Lalu, pertanyaannya kenapa kemudian dikaitkan dengan Po An Tui, laskar atau milisi Cina di era NICA? 
 
Kembali ke buku Sulardi. Dalam bukunya tentang Po An Tui, menjelaskan dengan runut, latar belakang kenapa sampai kemudian lahir laskar atau kelompok milisi Po An Tui. Pembentukan Po An Tui, dipicu oleh kekacauan di awal republik berdiri. Ketika itu, banyak etnis Tionghoa jadi korban ekses dari aksi militer Belanda. Kemudian muncul pemikiran dari sejumlah tokoh Tionghoa, di Jakarta untuk mencari cara agar etnis Tionghoa tak terus jadi korban. Lalu, Perkumpulan Chung Hua Tsung Hui Jakarta menginisiasi dilakukannya sebuah konferensi. Konferensi ini, dihadiri oleh perwakilan-perwakilan Perkumpulan Chung Hua Tsung seluruh Indonesia. Konferensi digelar selama tiga hari dari tanggal 24 sampai 26 Agustus 1947. Konferensi menghasilkan beberapa keputusan. Pertama tentang perlunya pembentukan Pao An Tui atau Badan Pelindung Keamanan Tionghoa. Kedua, mendirikan suatu badan penyiaran resmi. Ketiga, menyebarluaskan hasil keputusan ke dalam dan luar negeri. Ketiga, koordinasi untuk menolong korban-korban yang akan dibentuk di setiap daerah. Dan pada 29 Agustus 1947, Pao An Tui disahkan berdasarkan keputusan rapat perwakilan Tionghoa Indonesia yang tergabung ke dalam Chung Hua Tsung Hui Lien Ho Pan She Tsu atau Badan Koordinasi Chung Hua Tsung Hui. Salah satu anggotanya Kwee Kek Beng. Kota Jakarta dipilih untuk jadi tempat markas pusat Po An Tui. Ya, dalam perkembangannya Po An Tui, memang jadi kelompok milisi. Kelompok milisi ini dikaitkan dengan sepakterjang Westerling, perwira 'bengis' dari Belanda. 
 
Dari buku Sulardi, sangat jelas, bahwa Po An Tui itu dibentuk dan lahir pada 1947, bukan 1740-1743. Lantas kenapa, dengan cerobohnya Posmetro.info dalam beritanya menulis Po An Tui, adalah laskar Tiongkok yang dibentuk pada 1740-1743?  Sementara Po An Tui, adalah milisi Cina yang lahir pada masa Belanda menjajah dengan bendera NICA, bukan lagi VOC. Jadi ada rentang sejarah yang berbeda waktu. Dan, bedanya sangat jauh. Kembali, malas cari referensi, berita pun menyesatkan. Padahal, kalau penulis berita di Posmetro, disiplin melakukan verifikasi, tak begini jadinya. Berita mereka, tak jadi 'propaganda' yang menyesatkan. 
 
Buku berjudul," Geger Pacinan 1740 - 1743: Persekutuan Tionghoa - Jawa Melawan VOC," adalah salah satu buku yang bisa menjelaskan sepakterjang orang Tionghoa melawan VOC. Buku yang ditulis oleh  RM Daradjadi, seorang trah Mangkunegara IV yang sangat mencintai sejarah, menjelaskan dengan rinci fase orang Tionghoa bangkit melawan VOC atau kumpeni. Buku Geger Pecinan, berisi tentang kisah  peperangan di Jawa pada periode 1740-1743. Perang tiga tahun itu meletus, setelah kaum Tionghoa dibantai di Batavia pada tahun 1740. Setelah pembantaian itu, orang-orang Tionghoa berkolaborasi dengan orang-orang Jawa. Mereka berkongsi membentuk laskar melawan VOC. Lalu, terjadilah perang tiga tahun, yang melibatkan orang-orang Tionghoa yang berkolaborasi dengan kaum bangsawan Jawa yang berpusat di keraton Kartasura. 
 
Sayang, referensi sejarah dianggap remeh. Padahal, berita yang ditulis adalah kisah tentang sebuah sejarah, yang mutlak butuh referensi. Dengan ceroboh Posmetro.info menyimpulkan. Dengan gegabah pula, Posmetro.info, menuliskan berita 'sejarah' yang menyesatkan. Berita mereka pun tak lebih dari propaganda.
 
Sialnya, berita kadung dilempar ke ruang publik. Dan, berita 'sesat' itu pun disambar oleh mereka yang boleh jadi belum mengetahui sejarah yang terjadi di masa lalu.  Saya pun hanya bisa bertanya, apa karena itu berbau Cina atau Tiongkok, lantas semuaya dianggap salah?  Kadang kita tak adil dalam memandang sebuah kelompok. Kita kadang lupa, bahwa republik ini, tak semata di dirikan, dibela dan di rawat oleh hanya satu etnis. Ada etnis Jawa, Sunda, Madura, Dayak, bahkan etnis Cina, yang membela republik ini. Bahwa ada segelintir etnis Cina yang kemudian berkolaborasi, atau katakanlah pro Belanda ketika itu, bukan berarti jadi sebuah justifikasi, tak ada etnis Cina yang berperan dalam perjuangan menegakkan republik ini. 
 
Saya pernah baca sebuah artikel di Tempo, tentang dokter berdarah Cina, yakni dokter Oen Boen Ing yang tanpa pamrih membela republik, meski tak lewat angkat senjata. Lewat kliniknya, dokter Cina itu, tanpa takut mengobati pejuang republik yang terluka. 
 
Kenapa kemudian situs berita seperti Posmetro.info, Bpost.id dan beberapa situs berita lainnya dengan ceroboh mengkaitkan Po An Tui dengan monumen yang diresmikan Menteri Tjahjo? Saya kira, ada beberapa kemungkinan kenapa seperti itu.  Pertama, mereka hanya mengejar sensasi, bahwa ketika 'menghantam' menteri atau pejabat, atau bahkan Presiden, berita akan terlihat gagah. Kedua, ada kepentingan sempit yang sedang digelorakan media-media tersebut. Saya tak tahu, apa kepentingan sempit itu. Apakah, karena Menteri Tjahjo, bukan bagian kelompok mereka? Atau apakah Jokowi, bukanlah Presiden yang dulu mereka dukung, sehingga sekali ada celah, langsung dihantam dengan membabi buta. Ini hanya dugaan saya. Sangat mungkin saya pun keliru. 
 
Namun terlepas dari semua itu, berita yang dimuat di beberapa situs berita tentang Po An Tui itu menurut saya memiliki banyak kelemahan. Kelemahan pertama, media-media tersebut tak mengkonfirmasi ulang kepada Menteri Tjahjo yang mereka 'hantam'. Kedua, tak ada narasumber kedua (pendukung) yang juga mereka konfirmasi, misalnya panitia peresmian monumen, atau minimal pihak TMII sendiri. Ketiga, tak ada narasumber yang kompeten, terutama sejarawan. Keempat, berita tersebut lemah dari sisi referensi. Kelima, berita itu, sungguh ceroboh dan gegabah.  Pada akhirnya, karena malas membekali diri dengan referensi, informasi pun jadi menyesatkan. Akibatnya, banyak yang salah menafsirkan. Banyak yang salah mengartikan. Ujungnya, muncul reaksi karena informasi yang salah. Ini yang berbahaya. Konflik bisa meletus, karena kecerobohan atau mungkin karena 'kebodohan' media dalam membewarakan informasi. Maka, Pak Bagir Manan, Ketua Dewan Pers selalu mewanti-wanti, di era digital kedalaman berita dan akurasi fakta yang dibutuhkan. Bukan berita yang  semata mengejar kecepatan. Apalagi sensasi. Kalau seperti itu, apa bedanya mereka dengan 'koran kuning' atau tukang gosip. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 

Ikuti tulisan menarik Agus Supriyatna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB