Skenario kedua adalah skenario terburuk yang melibatkan produksi minyak besar-besaran dari OPEC, Arab Saudi, Iran dan Libya di pasar minyak dunia, disamping ledakan shale oil dari kawasan Amerika Utara. Tak pelak lagi, hal ini akan menyebabkan harga minyak tergerus kian dalam. Sehingga tak heran jika Golman Sach dan Morgan Stanley membuka kemungkinan prediksi bahwa harga berpeluang merapat ke level US$20 per barel. Dan ketiga adalah skenario lain yakni terciptanya keseimbangan pasar minyak pada paruh kedua 2016.
OPEC pun pada penghujung tahun lalu memperkirakan harga minyak 2016 akan naik US$ 5 per barel, diasumsikan ada di level US$ 60 dan di 2020 mencapai US$ 80. Jika diteliti lebih detail, ketika itu OPEC tidak menggunakan kata prediksi, tapi lebih cendrung menyebut angka-angka proyektif tersebut sebagai asumsi yang mereka buat dalam publikasi world oil outlook yang dirilis 23 Desember 2015 lalu.
Selain itu, IMF juga membuat pernyataan bahwa harga minyak bisa tercukur US$ 5 – 15 per barel dengan tambahan produksi Iran akibat dicabutnya sangsi embargo terhadap minyak Iran oleh Amerika Serikat dan Eropa. Sejatinya, sebelum mengutip secara serampangan proyeksi-proyeksi yang muncul ini, ada baiknya harus dibedakan terlebih dahulu antara pernyataan “harga minyak berkemungkinan bisa menyentuh level tertentu” dan pernyataan “harga minyak rata-rata sepanjang tahun akan berada pada kisaran tertentu”.
Dialektika proyeksi harga minyak yang berkembang belakangan memang sangat menarik untuk disimak dan diperdebatkan. Semua pihak punya komentar dan analisa sendiri-sendiri tentang batas bawah (support/ floor price) pergerakan harga minyak untuk tahun ini, lengkap dengan berbagai data fundamental dan kalkulasi-kalkulasi grafis-teknikal. Bahkan pertengahan tahun lalu, hampir semua pihak sepakat bahwa harga tidak akan sanggup menjebol angka $40 per barel. Ada indikasi yang mendukung proyeksi ini ketika itu karena harga minyak sempat mengalami recovery sederhana, tetapi justru setelah itu harga malah kembali turun hingga ke bawah US$ 40 per barel
Faktor pasar akan terbentang diantara pasar minyak yang sesungguhnya (physical market) dan pasar finansial (paper market). Physical market bisa dalam bentuk barter, spot, dan kontrak dengan harga yang telah ditetapkan untuk penyerahan kemudian (forward) serta term contract (kontrak berjangka) yang merupakan mekanisme transaksi perdagangan paling banyak digunakan, yakni kisaran 90 – 95 persen dari perdagangan minyak global.
Sedangkan paper market adalah dinamika pasar minyak yang terkait dengan penggunaaan komoditas minyak sebagai instrumen derivatif di pasar finansial. Pada awal tahun 1990-an, kegiatan di pasar minyak derivatif lebih banyak didorong untuk keperluan aktivitas lindung nilai (hedging) oleh institusi yang terlibat langsung dengan perdagangan minyak.Dengan semakin banyaknya jenis produk di pasar keuangan ini, ditambah prospek untuk memperoleh imbal-hasil yang lebih besar, maka terjadi peningkatan transaksi “minyak kertas” di pasar komoditas global, bahkan belakangan muncul pula para investor yang sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan aktivitas perminyakan maupun aktifitashedging.
Yang tidak terkait langsung ini biasanya kerab disebut dengan spekulan seperti yayasan pensiun, yayasan atau perusahaan lain yang mengelola dana (endowment funds), dan lain-lain. Transaksinya dikenal dengan sebutan transaksi non-commercial oleh commodity futures trading commission. Imbasnya, harga minyak kemudian tidak hanya dipengaruhi oleh demand dan supply di pasar fisik, tapi juga oleh dinamika sektor keuangan, seperti perubahan suku bunga Federal Reserve, perubahan nilai tukar dan lain-lain.
Pendek kata, dari ketiga skenario diatas dan dinamika faktor-faktor yang mempengaruhi harga tersebut, probalbilitas untuk skenario kedua sangat tinggi. Balapan memompa minyak dari perut bumi antara OPEC dan Amerika sampai hari ini tak terbendung. Rencana negosiasi pengurangan output sekira 5% antara Rusia dan OPEC pun tak jua menuai kepastian. Harga mungkin saja bisa terjun lebih jauh, tapi saya kira, rata-rata pergerakan tahunan masih akan berada pada median US$ 30-40 per barel. Karena jika harga harus diproyeksikan diatas angka median ini, nampaknya dunia belum mempunyai faktor-faktor pendorong yang cukup. Bahkan ancaman terganggunya pasokan akibat ketegangan di Timur Tengah pun tak mampu mendorong harga ke atas. Lihat saja imbas serangan Irak ke Yaman atau pemutusan hubungan diplomatik Saudi dan Iran, implikasi harga yang muncul tercatat sangat kecil, kemudian harga kembali meluncur bebas.
Ikuti tulisan menarik Ronny P Sasmita lainnya di sini.