x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tulis Dulu, Sunting Kemudian

Pengalaman mengajarkan cara yang lebih baik: jangan menulis sembari menyunting.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menulis itu eksplorasi. Kamu mulai dari kekosongan dan belajar sembari berjalan.”

--E.L. Doctorow (Penulis, 1931-2015)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesuai janjinya, teman saya datang. Sesuai kesepakatan, saya menyediakan kopi panas dan sejumlah kudapan. Biasa, agar pembicaraan tak kering, diperlukan selingan menyruput kopi panas. Tak ada ruginya bertukar kopi dan kudapan dengan pengalaman menulis—cukup sepadan, sebab lebih penting dari itu jalinan silaturahim tetap berjalan.

“Jika kamu punya gagasan, segera tulis, tidak usah banyak berpikir. Banyak berpikir malah membuat tulisan tidak keluar,” kata kawan saya memulai obrolannya. “Tahu tidak, kebanyakan orang gagal menulis karena ia lebih sibuk berpikir. Ide-ide berputar dalam benaknya dan tidak kunjung ia tuangkan di layar komputer. Hingga satu dua jam, ide itu semakin lama bertambah ruwet, dan masih dalam otaknya.”

Bukankah maksudnya agar ide itu matang lebih dulu, baru dituangkan? “Kemungkinannya ada dua: kamu lupa sebagian gagasanmu atau idemu jadi ruwet sehingga kamu tak tahu harus mulai menulis dari mana,” kata kawan saya.

Jadi, kata dia lagi setelah menelan satu kudapan, “Tulis saja dulu, tuangkan idemu, tak usah berpikir tentang bagus atau tidaknya—itu soal berikutnya. Biarkan idemu mengalir dan berpindah dari benak ke papan ketik.”

“Jika kamu merasa nyaman menuangkan gagasan secara visual, buatlah gambar besar apa saja yang terlintas di benakmu. Dalam hal tertentu, pendekatan visual memudahkan untuk melihat koneksi-koneksi di antara beragam unsur dalam idemu,” ujarnya lagi.

Tapi intinya: biarkan idemu mengalir tanpa tersendat-sendat. Lebih baik menulis jelek terlebih dulu ketimbang sibuk bermain pikiran secara abstrak. “Jika engkau tidak menulis, tidak ada naskah yang bisa kamu sunting,” tutur kawan saya. “Jika engkau menulis jelek sekalipun, setidaknya ada yang bisa kamu perbaiki.”

Saya manggut-manggut berusaha mencerna omongannya. Sruputan kopi yang mulai hangat terasa lebih enak sewaktu tercecap oleh lidah.

Kawan saya berbagi pengalaman bagaimana menulis sambil menyunting akan merepotkan diri sendiri. Gagasan akan mengalir dengan tersendat-sendat, sebab kita menulis sambil berpikir apakah susunan kalimatnya benar, apakah kata-kata yang kita pilih cocok, apakah suasananya sudah cukup mencekam, apakah kemarahan tokohnya sangat terasa, dan seterusnya.

“Banyak energi yang harus kita keluarkan bila kita menulis sembari mengedit tulisan,” ujar kawan saya setelah menelan kudapan kedua. “Kerugian lainnya, mungkin ada gagasan yang hilang karena kita keburu lupa oleh kesibukan memperbaiki kata-kata: Saya tadi mau menulis apa lagi ya?” Sekian detik kesibukan menyunting berpotensi menghalau sebuah ide bagus yang sempat melintas di benak kita.

“Eh, apa lagi ya? Kurasa, aku perlu tambah kopi deh,” ujarnya berterus terang. Sembari menunggu cangkir kedua, ia meneruskan sarannya. “Dulu, aku suka menulis satu kalimat, lalu mematut-matutnya enak gak ya dibaca? Jadinya, saya perlu waktu lama sekali untuk menyelesaikan satu tulisan pendek. Tapi, setelah aku coba teknik ini, aku lebih nyaman dalam menulis, dan lebih cepat,” ujar kawan saya.

Saya manggut-manggut. "Sepertinya menarik untuk dicoba," kata saya.

“Pendeknya, selesaikan lebih dulu tulisanmu, sekalipun terlihat buruk ketika engkau baca. Tapi setidaknya engkau sudah punya bahan untuk diperbaiki,” katanya lagi. “Lewat pembacaan ulang itu, engkau bisa temukan ada ide yang terlewat, ada ide baru yang cocok untuk disisipkan, ada frasa yang perlu dibuang, ada kata-kata yang diksinya kurang kuat. Bila menurutmu ada kata yang kurang pas, segera cari dan tuliskan penggantinya. Bila ada kalimat yang kurang bernas, segera ubah, susun ulang, dan rasakan napas barunya: apakah kalimat ini sudah terasa lebih baik?”

“Bro, obrolan kita tentang topik ini sebenarnya bisa lebih panjang, tapi aku mesti pamit karena aku dipesan orang rumah untuk segera kembali,” ujar kawan saya. “Terima kasih kopi dan kudapanmu.”

“Saya juga terima kasih, kapan-kapan ngobrol lagi ya. Aku mesti menyerap lebih banyak lagi ilmu kamu,” kata saya.

“Beres, asal ada kopi dan kudapan.” **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler