Saya bukan orang yang setia mengamati perkembangan partai politik di Indonesia, Selintas sekilas mungkin pernah membaca Indische Partic Dari sejarah Douwes Dekker(Saya pernah menulis di media ini), atau sebelumnya sekitar 1905 saat terbentuknya Boedi Oetomo. Perkembangan partai politik dipacu oleh pemerintahan yang otoriter(waktu itu masih dalam penjajahan Hindia Belanda). Represifitas Penguasa melahirkan Partai-partai berbasis kerakyatan. Perjuangan masih murni untuk kepentingan rakyat, belum muncul Indikasi bahwa Parpol akan digadang-gadang sebagai kendaraan menuju tangga tertinggi kekuasaaan. Basis perjuangan Partai Politik masih murni untuk mengentaskan kesadaran rakyat untuk melawan kezaliman, melawan ketidakadilan.
Dan menurut teori yang ada politik adalah sarana pembelajaran pengelolaan pemerintah yang bijaksana dengan sistem berjenjang yang mampu menempatkan pejabat bukan hanya pemimpin saja tetapi juga seorang yang bisa berorganisasi yang bekerja pada sistem dan aturan jelas penguasa.
Politik masih menunjukkan taji gilang-gemilang masa-masa awal kemerdekaannya. Perbedaan pendapat, idiologi, paham hanya sebatas wacana. Secara pribadi mereka berkompetisi bersaing untuk mendapatkan simpati rakyat tapi di sisi lain mereka berjuang all out untuk rakyat.
Keruntuhan moral partai politik mulai terlihat ketika zaman orde baru. Hanya tiga partai politik yang boleh berkiprah. Satu partai penguasa, satu partai berbasis agama dan satu lagi partai berbasis marhaenis atau bisa disebut partai oposisi.
Orde Baru menganut pola kekuasaan monarki. Demokrasi seperti mampat dan kemerdekaan berpendapat ditekan seminim mungkin. Pada masa ini partai politik adalah alat kekuasaan mutlak. Partai- partai oposisi hampir mustahil memenangkan pemilu. Mereka mendapatkan suara tapi tidak signifikan bisa menggeser partai penguasa yang waktu itu nota bene Golkar. PDI, boleh saja mendapatkan suara cukup banyak di pemilu, tapi tetap saja mereka tidak bisa melawan kekuasaan yang sudah terbangun sistem kokoh dari Kelurahan sampai Kementrian untuk tunduk pada apa yang dimaui Presiden. Presiden adalah penguasa mutlak yang susah digeser atau dilengserkan. MIliter ada di belakang pemerintahan, partai politik sangat kuat membangun kader dan Golkar menjadi partai politik paling matang dengan sejumlah kaderisasi kepemimpinan nasional.
Ketika Kekuasaan orde baru tumbang, mulailah partai-partai secara terbuka mencari cara untuk tetap dalam jalur kekuasaan dengan membuat terobosan politik yang lebih kasar. Mereka mulai membangun wajah partai yang haus kekuasaan, transaksional, menghalalkan segala cara, memprioritaskan kepentingan organisasi politik daripada mendengarkan suara hati nurani rakyat.
Puncak kekesalan rakyat terhadap partai politik terjadi tahun 2014. Partai-partai dominan membangun faksi-faksi membentuk poros, membentuk koalisi dan merekayasa dinamika parlemen untuk sekedar beda. Ketika Jokowi Masuk dan terpilih menjadi Presiden, kegaduhan amat kentara, Mereka seperti tidak tersentuh dengan suara rakyat yang terbangun di media social. Pembelahan opini masyarakat bisa disebut oposan dan relawan. Relawan bergerak untuk menghadang hegemoni politik, Partai politikpun keukeuh bahwa mereka masih disokong oleh sebagian rakyat.
Pemahaman tentang Demokrasi
Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah, apakah partai-partai politik telah belajar ilmu politik parlemen dan pemernitahan secara matang? Apakah mereka perlu paham tentang keadilan seperti yang dikatakan John Rawls bahwa keadilan(fairness) adalah batu penjuru(raison d’etre) tentang demokrasi:wawasan dasar bagi keadilan, yang menjadi titik pusat segala gagasan lain yang saling terkait secara teratur, adalah pengertian bahwa masyarakat merupakan sistem kerjasama yang berkembang terus , dari satu ke lain generasi….
Partai politik sekarang adalah mesin kekuasaan, tempat bagi mereka yang ingin menyesap APBN dengan cara mereka dan tentu dengan partai-partai yang tak pernah punya basis perjuangan murni dari suara rakyat. Rakyat melihat partai sekarang ingkar, abai dan lupa bahwa mereka mohon-mohon kepada rakyat saat mereka ingin mencalonkan diri, tapi mereka segera lupa janji mereka karena kilau kekuasaan yang membuat mereka mabuk. Semua tunduk pada uang(Geoffrey Chaucer:The Tail of Melibeus dalam Canterbury Tales). Kata-kata ini adalah petikan Buku Donald B. Calne dengan judul bukunya Batas Nalar.
Ketika PDIP, Golkar, PPP, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, PKS, PKB dan yang lain main –main dengan kepercayaan rakyat siap-siaplah mereka ditinggal oleh masyarakat yang cerdas dan melihat realitas bahwa Toleransi rakyat terhadap partai politik ada diambang batas. Siap-siaplah runtuh jika partai politik masih arogan menganggap dirinya masih mujarab untuk menggiring opini massa.
Relawan Bergerak
Fenomena relawan sejak terpilihnya Jokowi menjadi Gubernur dan kemudian menjadi Presiden adalah fenomena bahwa rakyat telah jenuh oleh kiprah partai politik yang tidak memihak rakyat lagi. Mereka hanya tahu hitung-hitungan untung rugi, bagi bagi kekuasaan, permintaan jatah mentri, pengabaian pada suara –suara keras media sosial yang sekarang ini amat menentukan perjalanan politik seseorang.
Contoh terbaru adalah relawan teman Ahok. Mereka para simpatisan Ahok melihat bahwa mereka mencalonkan sosok berintegritas, yang tidak terombang-ambing oleh kepentingan partai, dan tidak mudah goyah oleh goncangan-goncangan politik yang cenderung berpikir untung rugi. Kendaraan partai saat ini terlalu mahal, terlalu sombong dan terlalu jauh meninggalkan realita kehidupan sesungguhnya..
Jika partai-partai yang saat ini eksis masih mendewakan mesin partai siap-siaplah terjungkal. Ke depan
partai-partai politik haruslah bisa merangkul massa dari media sosial. Mereka harus belajar memenangkan hati rakyat dengan membangun kepercayaan bahwa partai politik adalah pengkaderan paling efektif untuk menjaring kader berkualitas. Bisa dilihat sekarang apakah Ridwan Kamil, Basuki Tjahaya Purnama(Ahok), Trirismaharini, Joko Widodo adalah produk pengkaderan partai politik.
Jangan arogan mengklaim kader terbaik dari partai mereka. Rakyat sekarang cerdas dan tidak bisa ditipu dengan cara pencitraan, atau penggiringan opini melalui cara-cara tidak jujur. Kalian para partai politik harus melihat celah dari suara rakyat. Jangan mencoba-coba membangun opini bahwa masyarakat masih bodoh. Suara minor sekecil apapun akan sampai ke ujung dunia dengan canggihnya alat komunikasi saat ini.
Banyak Kader partai politik sekarang lebih senang buka mulut, mendaraskan tentang keadilan tapi tidak mengerti esensinya. Mereka bicara cerdas tapi sumber referensi mereka terbatas mulut nyerocos tapi tidak bersumber. Asal melawan tapi tidak mengerti medan maka alangkah baiknya mereka merenungkan kiasan dari bahasa latin Claude os, aperi oculos(tutup Mulutmu dan buka matamu).`
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.