x

Tedjo Edhy Purdijatno. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Iklan

M Nafiul Haris

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Meme dan Politik Sindiran

Gaya guyonan yang diembuskan meme menjadi begitu beragam, dari sindiran, sarkasme, sekadar pelesetan, sampai pada kekonyolan ala Srimulat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dahulu, guyonan biasa kita nikmati dari buku humor. Setelah memasuki era internet, humor tersebar melalui surat elektronik. Namun, di era media sosial mendominasi, humor berevolusi dalam bentuk meme, guyonan visual yang mujarab memecah penat. Mengutip situs Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id, 2016), istilah meme dibaca ‘mim’ tetapi dalam versi Indonesia lazim dibaca ‘me-me’. Meme pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli biologi asal Britania Raya, Richard Dawkins (1976) dalam bukunya, The Selfish Gene. Berasal dari bahasa Yunani mimea, yang kira-kira berarti, sesuatu yang ditiru atau diimitasi.

Sementara menurut Maria Viloso dalam Web Copy that Sells (2004) kata meme diambil dari bahasa Yunani, portmanteau, alias gabungan dua kata yang berbeda dari kedua kata penyusunnya yakni “mime” dan “mimic” , yang mewakili gagasan budaya dan disebarkan dari satu orang ke orang lain. Dengan cara mirip penggandaan gen dalam ilmu biologi. Selanjutnya, meme disebarkan secara viral, layaknya virus yang berkembang biak secara liar dan luas serta verbal.

Kita semua tahu, akhir-akhir ini geliat visual di dunia internet Indonesia tengah berada pada tingkatan yang masif. Puluhan hingga ratusan citraan foto bergerak-berseliweran setiap hari di media sosial. Citraan-citraan tersebut, biasanya disertai teks-teks dengan gaya kritik menggelitik. Meme adalah humor berupa gambar atau foto yang direkayasa dengan atau tanpa disertai teks sederhana sebagai pelengkap. Gambar grafis atau foto ini, kemudian tersebar luas di media sosial di internet, seperti Facebook, Twitter, Path, dan Instagram.

Politik Sindiran

Meme seringkali hadir dalam bentuknya yang berupa olok-olok dan sindiran pada suatu fenomena. Misalnya, pernyataan atau perilaku sosok terkenal atau sebuah institusi yang berkuasa tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Jadi, meme juga bisa digunakan sebagai alat kritik sosial bahkan politik, seperti yang tampak dalam kisruh antara KPK dan Polri beberapa waktu lalu. Saat salah satu menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi membuat kesalahan dalam pernyataannya, dengan menyebut KPK didukung oleh rakyat yang tidak jelas.

Sontak, akibat pernyataan blundernya itu, menuai protes dari masyarakat. Tak berselang lama, ada pula orang yang membuat dan menyebarkan meme unik melalui jejaring sosial sebagai bentuk kritik. Diketahui, menteri yang menjadi sasaran empuk para “seniman” meme untuk dijadikan obyek adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. Tak pelak, menteri yang berasal dari Partai NasDem itu pun tak luput menjadi bulan-bulanan para netizen. Di media sosial, dengan cepat beredar banyak meme alias gambar atau foto guyonan, olok-olok tentangnya. 

Karena, selayaknya sebagai seorang menteri ditengah kisruh antara KPK dan Polri yang semakin memanas dapat membantu Presiden. Minimal, dengan tak mengeluarkan pernyataan yang makin membuat rakyat gerah. Sebagai menteri yang melayani presiden, dia juga harusnya lebih arif dalam menjaga wibawa presiden. Bukannya malah membuat pernyataan-pernyataan blunder yang berakibat jelek terhadap presiden. Lalu , dalam seteru antara Guberbur DKI Jakarta, Ahok dan Lulung pun terjadi hal yang hampir  sama. Respon aktivisme digital bukan cuma memunculkan tagar #save haji lulung sebagai guyonan, cibiran atau #kami ahok  sebagai dukungan terhadap sang gubernur yang berusaha membongkar adanya dugaan anggaran siluman di lingkungannya saja. 

Akan tetapi meme-meme perihal keduanya turut meramaikan lini media sosial kita. Baik itu Twitter maupun Facebook.  Maka, dengan melihat kian maraknya penggunaan internet dan media sosial hari ini, membuat meme semakin populer dan memperluas fungsi-fungsinya. Tidak hanya sebagai lelucon. Meskipun, kadangkala “seniman” meme juga mengangkat isu keseharian seperti tentang percintaan, pengalaman hidup, pendidikan, sampai agama. Namun, pada saat kekuatan kritik, olok-olok, dan sindiran dari meme menemukan momentumnya. Misalnya, ketika topik meme memiliki relasi atau kedekatan (proximity) dengan peristiwa hangat yang sedang membetot perhatian publik. Atau sedang menjadi diskusi virtual yang gaduh di media sosial. 

Pada saat bersamaan itu, gaya guyonan yang diembuskan meme menjadi begitu beragam. Mulai dari sindiran, sarkasme, sekadar pelesetan, sampai pada kekonyolan ala Srimulat. Mengutip Eko Wijayanto dalam Memetics, Perspektif Evolusionis Membaca Kebudayaan (2013), meme sejatinya diciptakan untuk memaknai unit gagasan dalam transmisi kultural yang terus berevolusi dalam persebarannya.  Fenomena itu, biasanya mencakup dunia mode, melodi musik, frasa, dan berbagai bentuk budaya pop. 

Dan terbukti dalam pemaknaan meme sebagai bentuk kritik, humor, sindiran atau olok-olok saat ini, konsep peniruan tersebut masih melekat. Yang dapat digunakan berulang-ulang dengan konten dan konteks yang berbeda-beda.  Hal itu sesuai dengan landasan pemikiran penemunya, adalah manusia cenderung mengulang (copy) informasi secara tidak sama persis ketika ditransmisikan ke manusia lain. Tidak lain untuk memaknai unit gagasan dalam transmisi kultural yang terus berevolusi (diimitasi) dalam persebarannya. Mirip dengan cara penggandaan gen dalam ilmu biologi.

Ikuti tulisan menarik M Nafiul Haris lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler