x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pak Dirman dan Tragedi Bebek Nungging

Pelajaran sejarah baru mengalihkan pengetahuan, belum terlampau mendalami pemahaman.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”

--Bung Karno

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Baru-baru ini beredar kabar tentang seorang siswa kelas 7 yang memasang foto dirinya di media sosial. Ia berdiri di depan lukisan Jenderal Soedirman yang tergantung di dinding. Sepintas tidak ada yang terlihat aneh kecuali satu fakta bahwa siswa itu mengacungkan jari tengahnya ke arah lukisan Pak Dirman.

Tidak lama kemudian peristiwa lain terjadi, kali ini di sebuah acara televisi. Ketika ditanya tanggal berapa Indonesia merdeka, dijawab oleh tamu acara itu, Zaskia Gotik: 32 Agustus. Maksudnya mungkin bercanda. Ketika ditanya lagi apa lambang sila kelima Pancasila, si tamu menjawab: bebek nungging. Lagi-lagi, maksudnya mungkin bercanda.

Siswa sekolah menengah tadi kabarnya didatangi aparat dan ia meminta maaf atas perbuatannya. Fotonya pun sudah ia hapus dari media sosial. Begitu pula, penyanyi dangdut itu juga menyatakan khilaf. Temannya mengatakan Zaskia sedang apes—tak begitu jelas apa maksud teman penyanyi ini, apakah Zaskia apes karena bercanda seperti itu di acara televisi yang ditonton jutaan pemirsa?

Saya bertanya-tanya: “Bagaimana memahami kedua kejadian ini? Cukupkah kejadian ini dipahami sebagai bentuk tidak hormat kepada Pak Dirman dan tidak menghargai lambang-lambang negara?”

Seandainya jawabannya “cukup”, masih ada pertanyaan lagi: mengapa ada rasa tidak hormat dan tidak menghargai? Saya menduga, dua kejadian itu merupakan wujud keterputusan siswa dan penyanyi itu dari sejarah negeri ini—keterputusan serupa ini dapat dialami oleh kita, siapa saja yang memandang masa lampau sebagai sesuatu yang sudah berlalu dan tidak punya kaitan dengan masa kini tempat kita hidup sekarang.

Apa pentingnya Pak Dirman bagi kita? Apa makna lambang-lambang negara itu bagi kehidupan kita? Ketika kita memandang Pak Dirman sebagai sosok masa lalu dan lambang negara sebagai produk masa lampau, sekedar itu saja, kita kehilangan tautan dengan berbagai peristiwa bersejarah yang telah melahirkan negara dan bangsa ini.

Kita memang memperoleh pelajaran sejarah di sekolah, berkali-kali, di berbagai jenjang—SD, SMP, SMA. Namun, alih-alih diajak memahami peristiwa-peristiwa bersejarah itu bagi kehidupan kita di masa kini, kita malah disibukkan dengan kegiatan menghapal nama, tanggal dan tahun, tempat, dan kejadian-kejadian. Kita mengabaikan pemahaman atas makna historis dan relevansinya dengan kehidupan kita sekarang.

Kita kurang diajak memahami lebih jauh makna berbagai peristiwa bersejarah dan apa relevansinya dengan kehidupan kita saat ini. Pengetahuan kita tidak menjangkau hingga ke balik peristiwa: Mengapa aksi gerilya Pak Dirman itu penting? Bagaimana aksi gerilya itu dilakukan? Mengapa Pak Dirman menjadi simbol kepejuangan kita? Mengapa padi dan kapas dipilih sebagai lambang keadilan sosial? Sebagian besar berhenti sebagai pengetahuan tentang nama, tanggal, dan tempat.

Seandainya pelajaran sejarah di sekolah-sekolah lebih menukik ke dalam pemahaman atas peristiwa, menjangkau makna yang ada di baliknya, dan berusaha mengerti nilai pentingnya bagi hidup kita sekarang, mungkin saja tidak terjadi aksi acung jari dan bebek nungging. Mungkin, lho. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler