x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Pernah Takut Membaca

Dengan banyak membaca, kita punya bekal untuk tidak membaca buku secara pasif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Ada kejahatan yang lebih buruk dibandingkan membakar buku-buku. Salah satunya ialah tidak membacanya.”

--Joseph Brodsky (Penyair, 1940-1996)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menulis itu asyik, kata teman-teman Tempo—begitu pula, membaca itu asyik. Sejatinya, membaca dan menulis itu dua kegiatan yang berjalin bertautan. Dengan membaca, kita terilhami, mengambil hikmah, memeroleh pengetahuan, belajar dari pengalaman orang lain, mengasah otak agar selalu tajam, dan kita punya bekal untuk menulis. Dengan menulis, kita mengekspresikan pikiran, mencurahkan suasana hati, mengisahkan imajinasi, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman. Jadi, membaca dan menulis adalah sebuah siklus yang berputar.

Membaca, bagi saya, adalah perjalanan menembus dunia di balik kata-kata. Kita berusaha memahami apa yang tertulis, sehingga perjalanan ini adalah tindakan pro-aktif untuk menemukan makna di dalam tulisan. Sudah semestinya membaca teks tidak didasarkan atas sikap pasif—sekedar membaca dan menelan begitu saja apapun yang disampaikan penulis, apa lagi menganggapnya sebagai kebenaran yang pasti, melainkan dengan disertai sikap kritis. Oleh sebab itu, kita tidak perlu cemas dan khawatir terhanyut karena membaca banyak buku.

Tentu saja, kita layak bersikap selektif dalam membaca buku yang telah ditulis dan diterbitkan, yang jumlahnya amat banyak dan topiknya sangat beragam. Sikap selektif juga dikarenakan alasan praktis bahwa kita diberi 24 jam per hari untuk menunaikan berbagai hal. Namun begitu, di antara buku yang ditulis ala kadarnya niscaya lebih banyak lagi buku yang ditulis dengan kesungguhan hati. Penulisnya melakukan riset, merumuskan gagasan dan mengembangkan imajinasinya lewat ikhtiar keras, mengerahkan tenaga dan waktu untuk menuangkan pikiran dan emosinya ke dalam tulisan.

Sebagai penghargaan atas upaya penulis yang bersungguh-sungguh itu, kita—dalam kapasitas sebagai pembaca—kiranya dapat bersikap rendah hati untuk memetik pelajaran dari mereka. Semakin banyak membaca, semakin kita tahu bahwa ada banyak hal yang kita tidak tahu. Seorang guru besar barangkali mengerti bidangnya hingga ke ceruk terdalam, tapi sukar bagi siapapun untuk mengetahui segala hal. Oleh sebab itulah, seorang profesor sekalipun ia membaca banyak buku dan jurnal, berbicara dengan sejawatnya baik di satu bidang maupun lintas bidang, dan menulis.

Dengan banyak membaca, kita dapat bersikap lebih kritis terhadap buku apapun karena setiap kali membaca buku baru kita selalu menambah bekal untuk memahami buku berikutnya yang hendak kita baca. Seandainya kita kurang paham, kita dapat meminta bantuan orang lain yang lebih mengerti—dengan cara membaca ulasan (review), membaca tulisan pembanding, maupun bertanya. Selalu ada jalan untuk memahami dan terhindar untuk terbuai, sebab kita diberkahi nalar untuk mencerna dan memilih.

Dengan banyak membaca, kita terus berlatih memahami pikiran orang lain secara kritis—memahami berbeda dengan mengiyakan atau mengamini. Tak perlu ada kecemasan kita terhanyut oleh pikiran negatif sepanjang kita tidak bertindak sebagai pembaca pasif yang menelan mentah-mentah apa yang kita baca dan menganggapnya sebagai kebenaran final. Sebaliknya, sedikit membaca justru membuat kita mudah terhanyut oleh sebuah gagasan. Membaca buku jelas berbeda dengan menonton sinetron dan infotainment. Membaca akan sangat berarti manakala dilanjutkan dengan menulis—ketika menulis, sang pembaca buku akan berbagi pengetahuan, wawasan, pemahaman, maupun penafsirannya atas (sekurang-kurangnya) buku itu tanpa harus menyetujui isinya.

Lagi pula, berapa sih yang disebut terlampau banyak membaca? Satu buku per minggu atau satu buku per bulan, apakah terlampau banyak? Tahun lalu, Kepala Badan Perpustakaan Nasional Sri Sulastri, seperti dikutip Tempo, mengatakan bahwa orang Indonesia rata-rata membaca antara nol hingga satu judul buku per tahun. Warga negara ASEAN lainnya rata-rata membaca 2-3 judul buku per tahun. Orang Jepang sepuluh dan orang Amerika 20 judul buku per tahun. Kira-kira, satu judul buku yang kita baca itu mengenai apa? Apakah ini menandakan bahwa kita amat sangat selektif dalam memilih buku untuk kita baca? (Foto: pengunjung di perpustakaan Habibie/tempo) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu