x

Sejumlah pengemudi taksi melakukan aksi mogok di depan gedung MPR/DPR, Jakarta, 22 Maret 2016. TEMPO/Ahamd Rizki

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK: Demo Taksi dan Transformasi Business Leadership

Ada indikasi perusahaan-perusahaan taksi besar tersebut terjebak dalam zona nyaman, setelah sukses membangun bisnis dari mulai taksi gelap...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kepemimpinan bisnis di masa Orde Baru bagi para kroni dan kolega mereka sering mengandalkan kekuasaan politik. Kolaborasi regulator, operator, dan asosiasi dapat mengatur pasar. Kemanjaan semacam itu sebaiknya ditinggalkan kalau mau memenangi bisnis.

Pembiaran pengemudi angkutan darat di Jakarta, termasuk dari perusahaan besar di bidang layanan taksi, untuk berdemo di dekat Istana Negara pertengahan Maret 2016 dan hari ini, Selasa, 22 Maret 2016, menjadi pertanyaan besar tentang cara-cara berbisnis mereka. Alasan utama demo adalah untuk menolak kehadiran layanan taksi Uber dan Grab, yang didukung aplikasi teknologi informasi demi kemudahan konsumen.

Ini mestinya bukan berita biasa, jika kita gali akar masalah pelayanan transportasi publik di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Peristiwa demo para pengemudi transportasi umum yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) ini ibarat permukaan gunung es dari problem kebijakan transpotasi umum (taksi) di Indonesia, yang galibnya sudah harus diperbaiki, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan perkembangan business model yang tidak konvensional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepemimpinan atau leadership di bidang bisnis dan ekonomi sudah waktunya berubah, bertransformasi, apalagi di wilayah yang bersentuhan dengan pelayanan publik. Dinamika perkembangan ekonomi dan bisnis di abad ke-21 ini telah memaksa banyak pihak, khususnya para pelaku bisnis dan regulator, ditantang melakukan inovasi, mengerahkan pikiran untuk terus menjadi lebih baik. Kalau hanya mengandalkan fisik (otot, uang, dan tekanan politik), bisa jadi nasib mereka seperti dinosaurus, punah, atau ditinggalkan konsumen. Dinosaurus pada jamannya adalah mahluk (binatang) yang sangat kuat fisiknya.

Kekuatan-kekuatan bersifat fisik seperti modal besar, lindungan regulasi, dan tekanan politik dari organisasi (katakanlah Organda), tidak bisa lagi sepenuhnya dapat diandalkan di masa knowledge base economy. Jaring laba-laba birokrasi dan regulasi serta feodalisme terselubung dari para regulator dan pengurus asosiasi telah memampatkan gairah inovasi di bidang layanan transportasi publik. Tanpa inovasi berkelanjutan, yang memerlukan banyak kerja otak, bisnis bisa layu.

Tantangan baru dengan hadirnya layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi informasi sepatutnya ditanggapi dengan lebih matang, berbasis disiplin berpikir yang lebih baik, bukan dihadapi dengan fisik (demo) yang pada akhirnya merugikan konsumen dan para pengemudi tersebut .

Para leaders di lingkungan perusahaan angkutan publik (taksi konvensional) itu -- dari level supervisor, manager, sampai board of directors -- dituntut melakukan perubahan. Perspektif mereka dalam bisnis di bidang layanan transportasi publik sudah waktunya dikembangkan. Bersamaan dengan itu, para regulator jasa angkutan publik juga perlu berpikir dan bertindak lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan konsumen.

Ada indikasi perusahaan-perusahaan taksi besar tersebut terjebak dalam zona nyaman, setelah sukses membangun bisnis dari mulai sebagai taksi gelap menjadi kerajaan bisnis transportasi besar dengan segala pujian, termasuk pujian dari guru bisnis Prof. Rhenald Kasali, Ph.D (dalam buku Myelin, 2010). Sampai pada level itu, pencapaian mereka memang excellent.

Rupanya mereka lengah. "Sukses adalah guru yang buruk," kata Bill Gates, pendiri Microsoft. Belakangan banyak konsumen mengeluh, pesan lewat telepon hampir selalu lama menunggu. Kalau di jalan, jika diberhentikan dari seberang jalan, taksi-taksi tersebut cenderung malas berputar walaupun tidak ada larangan memutar.

Pernahkah para eksekutif di perusahaan taksi tersebut bersedia sedikit tidak nyaman memberikan pelatihan-pelatihan berkesinambungan bagi front liners (para pengemudi) mereka untuk memberikan pelayanan konsumen yang lebih baik? Di mana leadership mereka untuk membuat perusahaan tahan uji dan siap menghadapi persaingan? Dengan membiarkan para pengemudi berdemo sebagai cara menghadapi persaingan bisnis, publik pun bisa mempertanyakan kualitas leadership para supervisor, manajer, dan board of directors perusahaan-perusahaan jasa angkutan umum tersebut -- apalagi yang sudah go public.

Di masa Orde Baru, para bos perusahaan (angkutan) berkolaborasi dengan regulator dan organisasi/asosiasi untuk mengatur pasar. Memasuki zaman reformasi seharusnya mereka melakukan transformasi, terutama ketika perkembangan pasar jasa transportasi sudah berubah dan tuntutan/kebutuhan konsumen makin bervariasi. Komentar-komentar dan tanggapan mereka di media massa belakangan ini mencerminkan para petinggi di ketiga unsur tersebut (regulator, pelaku bisnis, dan asosiasi) masih diwarnai cara berpikir pra-Reformasi.

Situasi yang kurang nyaman sekarang, ketika muncul persaingan non-linier didukung teknologi informasi, sebenarnya bisa mereka jadikan momentum perubahan. Atau jadi peluang untuk mengembangkan kebijakan yang lebih pro konsumen, demi kelanjutan bisnis. Tentu dengan cara yang lebih elegan. Bukan dengan ngotot, melalui tekanan lobi politik dan demo -- di beberapa tempat bahkan terjadi pemukulan terhadap pengemudi Uber atau Grab atau Go-Jek. Gaya premanisme dalam aktiivitas bisnis seperti di masa Orde Baru sudah selayaknya diakhiri, kalau Indonesia minta diperhitungkan dalam percaturan peradaban yang lebih maju.

Budaya perusahaan yang dapat diandalkan mampu mengatasi persaingan dan tantangan perubahan bisnis memerlukan disciplined people, disciplined thought, dan disciplined action, sebagaimana kata Jim Collins dalam buku Good to Great (2001). Ketiganya saling melengkapi. Para pengambil keputusan di perusahaan-perusahaan jasa angkutan publik (taksi) tersebut mestinya yakin, jika layanan mereka prima, jauh diatas rata-rata, konsumen akan tetap menggunakan jasa mereka. Kalau mereka gamang menghadapi persaingan, jangan-jangan ada masalah di internal mereka yang harus diselesaikan.

Lebih jauh dari pembenahan manajemen dan team di perusahaan masing-masing, peluang memenangi persaingan dapat dilakukan secara bersama. Pihak regulator (pemerintah), operator (pemilik perusahaan taksi dan angkutan darat lainnya), dan asosiasi/organisasi (Organda) dapat membangun sinergi membuat program peningkatan pelayanan transportasi publik. Kalau standard kualitas pelayanan transportasi publik sudah dapat ditingkatkan, utamanya pelayanan taksi, percayalah masyarakat konsumen akan memiliki pilihan lebih baik.

Salah satu faktor penentu pilihan konsumen adalah kemudahan. Uber, Grab, atau pun Go-Jek memberikan kemudahan, termasuk ketika harus mencari alamat tujuan. Harga mereka pun tidak jadi naik kalau harus muter-muter untuk menemukan tujuan konsumen. Kalau naik taksi di Jakarta? Argo akan bertambah terus kalau alamat tujuan sulit diketemukan. Mampukah pengemudi taksi di Jakarta, atau di kota besar lainnya, bersikap seperti pengemudi taksi di Singapura, misalnya, yang hanya minta dibayar sesuai ukuran jika ketidaktahuan alamat yang dituju merupakan kelemahan pengemudi?

Soal Grab, Uber, dan Go-Jek perlu ditertibkan, terutama terkait dengan pembayaran pajak, silakan saja berunding.

*) Penulis adalah International Certified Business Coach at Action Coach dan alumni The International Academy for Leadership, Jerman

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler