x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Anggap Ini Soal Pribadi, Ya

Haruskah kita memisahkan respons pribadi dari pekerjaan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebagai orang yang pernah atau tengah merintis karier, mungkin Anda pernah mendengar atasan berbicara kepada Anda atau siapapun: “Jangan anggap ini pribadi, ya.” Bisakah unsur personal diabaikan begitu saja, padahal atasan itu sudah mengumpat, memaki, atau melontarkan julukan-julukan yang tak pantas kepada bawahannya?

Pesan ‘jangan anggap pribadi’ itu, yang biasanya diucapkan dengan nada menekankan, barangkali terkait dengan umpan balik atasan yang terdengar sengit dan tidak enak didengar, mungkin pula Anda tengah berkonflik tapi atasan tidak mau turun gengsi, atau mungkin pula terkait perdebatan di ruang rapat yang cenderung kasar. Ketika orang-orang yang hadir semakin tidak sabar dengan perdebatan yang bertele-tele, ucapan yang cenderung kasar lantas keluar namun kemudian dibungkus dengan frasa “Jangan anggap ini soal pribadi, ya”. Bagaimana mungkin?

Ya, bagaimana mungkin semua itu dianggap semata urusan bisnis dan pekerjaan yang tidak ada kaitan dengan pribadi masing-masing? Apakah kita sebagai manusia dapat dibelah menjadi ‘karyawan’ di tempat kerja dan ‘pribadi tertentu’ ketika sedang tidak bekerja di kantor, pabrik, toko? Padahal kita berada di tempat kerja sebagai manusia seutuhnya, menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari di sini. Di tempat kerja kita berpikir, rapat, bekerja fisik, marah, kesal, senang, dan kelelahan—apakah ini bukan sesuatu yang manusiawi?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu pula, ketika kita bekerja dan kemudian di-phk, apakah ini semata-mata urusan pekerjaan, karena itu direksi mengatakan tanpa rasa empati bahwa perusahaan harus merampingkan karyawan karena pasar sedang lesu? Bukankah kehilangan sumber penghasilan merupakan urusan personal seorang karyawan? Memutuskan hubungan kerja mungkin didasarkan atas pertimbangan rasional, tapi kehilangan pekerjaan sangat terkait dengan urusan pribadi dan rumah tangganya (kita harus mencari sumber nafkah baru, melamar kerja ke sana kemari). Jadi, dua urusan yang terlihat berbeda itu sebenarnya saling bertautan.

Mengabaikan sisi-sisi manusiawi di tempat kerja merupakan kekeliruan. Ketika perusahaan menginginkan karyawan bekerja sepenuh hati, antusias, memberikan yang terbaik, jelas bahwa ini bukan perkara terpenuhinya jam kerja semata. Tapi, tuntutan perusahaan ini melibatkan sisi-sisi emosional karyawan: apakah ia menyukai pekerjaan barunya atau tidak. Ketika seseorang dipindahkan ke tempat baru yang ia tidak sukai, sedangkan manajernya mengetahui hal itu, maka respons karyawan ini bisa beragam: kinerjanya merosot seperti yang diperkirakan manajernya, atau ia akan membuktikan bahwa lingkungan baru tidak akan mampu menaklukkannya (“Manajer itu salah menilai saya!”).

Bila kita tidak betah bekerja di satu bagian, apakah kita benar-benar sanggup menampik perasaan tidak betah itu, sekalipun kita tahu bahwa manajemen menempatkan kita di situ karena kapabilitas kita diperlukan? Bila kita senang bekerja di bagian lain, apakah ini bukan karena tugas itu klop dengan passion kita?

Orang-orang sukses, dalam kenyataannya, adalah orang-orang yang bekerja dengan hati—bekerja menjadi sesuatu yang personal, bertautan dengan cita-cita dan impian pribadi, seiring dengan minat, bukan sekedar mencari uang. Bila perusahaan memahami situasi ini, penempatan seseorang tidak lagi berdasarkan pada rasionalitas ekonomi-bisnis semata tapi sekaligus mempertimbangkan aspek-aspek individual.

Pada akhirnya, tidak ada urusan pekerjaan apapun yang tidak ada kaitannya dengan diri kita sebagai manusia, yang punya rasa senang, kesal, letih, pusing, antusias. Soalnya kemudian, bagaimana meletakkan semua itu secara tepat dalam hubungannya dengan pekerjaan dan bisnis. (ilustrasi: tempo)***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler