x

Pengunjung melintas di etalase sebuah gerai pakaian wanita di Mall Plaza Indonesia, Jakarta, 18 Mei 2015. Bank Dunia mencatat, pertumbuhan kelas menengah dari nol persen pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada tahun 2011 menjadi 130 juta jiwa dan dip

Iklan

Haryo Kuncoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perkara Data Ketimpangan Ekonomi

Penurunan rasio Gini ini bukan kabar baik. Indeks Gini merupakan indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan secara menyeluruh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia merilis temuan ketimpangan ekonomi antar-penduduk di Indonesia. Salah satu hasil studi tersebut, 1 persen penduduk golongan atas menguasai 50 persen kekayaan nasional. Hasil studi itu juga dibenarkan pemerintah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat rasio Gini Indonesia masih rawan, meski hingga Desember 2015 turun dari 0,413 menjadi 0,408.

Penurunan rasio Gini ini bukan kabar baik. Indeks Gini merupakan indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan secara menyeluruh. Koefisien Gini hanya membandingkan sebaran kelas pendapatan atas, menengah, dan bawah. Ini berarti indeks Gini dapat bernilai tetap meski terjadi perubahan pendapatan pada masing-masing kelas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inilah kabar buruknya. Penurunan angka Gini lebih dipicu oleh fakta bahwa 20 persen masyarakat berpendapatan atas mengalami kemunduran. Hal ini didukung oleh data jumlah orang miskin yang mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen per September 2015. Jumlah ini naik dari sebelumnya sekitar 27,73 juta jiwa atau 10,96 persen pada September 2014.

Memburuknya ketimpangan ekonomi di atas diperkuat oleh data pengangguran. Hanya dalam enam bulan, dari Maret hingga September 2015, tingkat pengangguran terbuka bertambah sebanyak 320 ribu, sehingga berakumulasi menjadi 7,56 juta jiwa atau sekitar 6,18 persen dari angkatan kerja.

Fakta di atas menunjukkan ketidaksinkronan data antara ketimpangan relatif (Gini) dan ketimpangan absolut (kemiskinan). Padahal, keduanya sama-sama memotret kesenjangan sebaran pendapatan. Hal demikian dapat terjadi lantaran cara perhitungan dan pendekatan yang berbeda.

Idealnya, koefisien Gini pada umumnya dihitung berdasarkan pendapatan. Data pendapatan praktis sulit diidentifikasi. Rumah tangga, terutama golongan menengah-atas, memiliki insentif kuat untuk menyembunyikan pendapatan sesungguhnya yang diperoleh. Proksi yang dipakai biasanya adalah pengeluaran. Asumsinya, pengeluaran berkorelasi kuat dengan pendapatan.

Sayangnya, rumah tangga kelas bawah cenderung melaporkan jumlah pengeluaran yang lebih tinggi dibanding pendapatan, sehingga pengeluaran tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat pendapatan. Konsekuensinya, akan terjadi bias. Indeks Gini berbasis pendapatan akan "mengecil-ngecilkan", sedangkan yang berbasis pengeluaran jadi "melebih-lebihkan".

Karena itu, koefisien Gini menjadi sensitif terhadap perubahan pendapatan. Seorang responden yang sedang tidak berpenghasilan saat disurvei akibat PHK, misalnya, jika dimasukkan ke penghitungan Gini, pasti bakal memperburuk ketimpangan ekonomi. Padahal, sebulan sebelumnya, ia punya penghasilan.

Dalam hubungan ini, ukuran yang lebih realistis untuk menggambarkan ketimpangan adalah kekayaan. Kekayaan merupakan akumulasi dari pendapatan. Koefisien Gini yang merujuk pada data kekayaan niscaya lebih representatif. Contohnya, responden korban PHK tadi. Meski ia sedang tidak berpenghasilan, yang bersangkutan masih memiliki kekayaan untuk menopang hidupnya. Sayangnya, data kekayaan tidak tersedia di Indonesia, sehingga profil kesenjangan tidak komprehensif.

Kewaspadaan perlu dicanangkan dalam membandingkan koefisien Gini lintas tahun. BPS senantiasa memperbaiki metode pengumpulan datanya. Sebagai contoh, indeks Gini sejak 2000 dihitung dengan menggunakan data individu.

Demikian pula dalam mengukur kemiskinan absolut, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk atau rumah tangga disebut "miskin" apabila memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. BPS memasang garis kemiskinan pengeluaran makanan ekuivalen dengan 2.100 kalori dan pengeluaran non-makanan minimum atas sehimpun komoditas tertentu.

Data yang disajikan dapat diperdebatkan sesuai dengan definisi "garis kemiskinan" yang dipakai. Sebagai pembanding, Bank Dunia menggunakan batas kemiskinan dengan penghasilan US$ 1 per hari per kapita. Tidak aneh jika data jumlah penduduk miskin yang diterbitkan oleh masing-masing lembaga berbeda-beda.

Kembali pada masalah ketimpangan ekonomi di atas. Suatu ketika, saya pernah menantang ide brilian mahasiswa, bagaimana solusi efektif dan efisien dalam memerangi kemiskinan di Indonesia. Jawaban mereka bermacam-macam, berapi-api, dan semuanya masih berada dalam koridor nalar.

Saatnya saya buka "kunci" jawabannya, bahwa tanpa upaya konkret apa pun, kemiskinan di Indonesia akan hilang dalam sekejap hanya dengan mengubah standar "garis kemiskinan". Mereka pun "heboh" lantaran saya berkelakar dengan data. Namun saya tetap yakin para pembuat keputusan tidak pernah bercanda dengan kebijakan jika sudah menyangkut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

*) Artikel ini dipublikasikan di Koran Tempo edisi Selasa, 5 April 2016.

Ikuti tulisan menarik Haryo Kuncoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu